-->

Senin, 28 April 2014

REFRAIN _ WINNA EFENDI




PROLOG Tidak ada persahabatan yang sempurna di dunia ini. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankannya. Ini bisa jadi sebuah kisah cinta biasa. Tentang sahabat sejak kecil, yang kemudian jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Sayangnya, di setiap cerita harus ada yang terluka. Ini barangkali hanya sebuah kisah cinta sederhana. Tentang tiga sahabat yang merasa saling memiliki meskipun diam-diam saling melukai. Ini kisah tentang harapan yang hampir hilang. Sebuah kisah tentang cinta yang nyaris sempurna, kecuali rasa sakit karena persahabatan itu sendiri. *** Wish #1: aku ingin cepat-cepat menjadi dewasa.... (Niki) Niki dan Nata berbaring di atas trampolin, benda usang itu bergoncang-goncang mengikuti gerakan mereka. Mereka berdua sedang menatap bintang-bintang yang mulai terlihat jelas setelah matahari tenggelam. Deru mobil dari kejauhan sesekali terdengar, lalu hening, digantikan oleh bunyi jangkrik yang menghinggapi malam. Itu adalah kebiasaan mereka, duduk menunggu matahari terbenam sambil mengobrol tentang segalanya -PR yang belum selesai, ujian esok pagi, hari-hari di sekolah, atau rencana untuk akhir pekan. Mereka melakukannya setiap malam hingga kegiatan itu menjadi rutinitas harian yang tidak pernah terlewatkan. Tiba-tiba, Niki mendesah penuh harapan, lalu bertanya, lebih kepada dirinya sendiri. "Jatuh cinta itu..., gimana rasanya, ya?"
Nata sedikit kelimpungan menanggapi pertanyaan Niki yang tidak biasa. "Memangnya kenapa?" Dia bertanya dengan hati-hati. Niki tersenyum lebar dan memutar tubuh untuk menghadap Nata. "Kayaknya, menyenangkan banget, bisa pergi berdua ke mana-mana, tukeran hadiah, ngerayain hari-hari penting sama-sama, seperti Kak Dhanny dan Kak Sivia." Niki menyebut nama abang Nata, yang akhir-akhir ini sedang dilamun cinta dengan pacarnya. "Huh." Nata mendengus dan menekan kepalanya di bawah lengan. "Itu kan, kelihatan dari luarnya aja. Kalau lagi berantam, Kak Dhanny kerjaannya marah-marah terus. Cemberut sepanjang hari, atau mohon-mohon sama Kak Sivia supaya dimaafin. Kak Dhanny bilang, selalu pihak cowok yang harus ngalah, belum lagu harus inget tanggal-tanggal penting, misalnya tanggal jadian, terus mesti pusing mikirin harus beli kado apa. Bikin kesalahan sedikit, ceweknya bisa ngambek berhari-hari. Jatuh cinta itu ngerepotin, tau." Niki tertawa, sudah terbiasa dengan gerutu khas Nata yang sangat sinis. "Itu kan, karena Nata belum pernah jatuh cinta." Nata meleletkan lidah tak peduli. "Kamu sendiri juga belum, kan?" "Udah." Niki mengerling jenaka. "Sama Kak Dhanny!" "Yeee...." Dengan gemas, Nata menepuk kening sahabatnya, ringan. "Itu sih cinta monyet!" Niki cengengesan, lalu kembali serius. "Makanya, aku kepingin tahu, cinta yang sesungguhnya itu gimana rasanya...." Mereka berdua terdiam, larut dengan pikiran masing-masing.
"Di antara kita berdua, siapa ya kira-kira yang bakal jatuh cinta duluan? Kamu atau aku?" Nata secara otomatis menjawab pertanyaan itu. "Kamu." Niki tergelak. "Mungkin. Tapi, kamu atau aku, kita harus saling cerita, ya? Janji?" Nata hanya tersenyum dan mengangkat bahu, tidak ingin berjanji apa-apa. Niki yang tidak puas dengan jawaban tersebut mengulurkan tangan untuk menggelitik pinggang Nata. Dua remaja SMP itu bergulat di atas trampolin, tertawa keras-keras sambil berusaha saling mendahului, hingga akhirnya Nata setuju untuk mengaitkan kelingkingnya dengan jari Niki. Janji dua orang sahabat untuk selamanya bersama. ** NIKI Jarum jam menunjukkan waktu lima belas menit sebelum pukul tujuh ketika terdengar bunyi gedubrak yang cukup kencang. Suara pintu dibanting, diikuti dengan langkah kaki yang cepat-cepat menuruni tangga. Tidak lama kemudian, sesosok remaja perempuan yang baru beranjak usia tujuh belas tahun melongokkan kepala ke arah dapur dan tersenyum usil pada ibunya. Sang ibu cuma bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Hidup dengan dua putri yang sedang beranjak puber sama saja seperti hidup di medan perang, sewaktu-waktu bisa dengan tak sengaja menginjak ranjau yang meledak hebat. Niki, anak pertamanya yang sudah duduk di bangku SMU sedang heboh-hebohnya melewati masa rebelling yang mengikutsertakan mood swing akut, keinginan untuk jadi seperti teman-temannya yang lain, juga mulai jatuh cinta. Setiap pagi, dia berkutat di kamar mandi setengah jam, meluruskan rambut dengan alat catok, mengaplikasikan lipgloss penuh glitter, sampai mencoba bermacam-macam jenis diet. Belum lagi nilainya yang jeblok lantaran kebanyakan main ke mall, dan gampang melawan kalau dinasihati. Sementara, adik Niki, Acha, yang dua tahun lebih muda, memang cenderung lebih kalem dan dewasa daripada kakaknya. Tetap saja, sesekali kedua putrinya itu bisa bikin kepalanya mau pecah.
"Ma, Niki berangkat dulu!" Niki tampak sudah rapi. Rambutnya yang lurus sebahu dihiasi jepit kuning. Seragam putih abu-abunya sengaja dibuat model ketat zaman remaja sekarang, juga sepatu Converse bergaris kuning dengan pin kecil warna-warni di kaus kakinya. Sebelum sang ibu bisa berkata apa-apa mengenai aksesoris itu, Niki sudah mengecup pipinya dan melesat keluar, tidak lupa menyambar sarapan berupa setangkup roti gandung di atas meja makan. Mama Niki menghela napas lagi, lalu tersenyum. *** Waktu masih berumur lima tahun, Niki sering mengintip mamanya berdandan. Diperhatikannya gerakan Mama ketika memulas bedak tabur di permukaan kulit, merata ke seluruh wajah sampai tidak ada noda yang tersisa. Lalu, sebatang pensil menebalkan garis mata Mama, membuatnya kelihatan lebih besar. Sedikit jepitan selama beberapa detik menggunakan sebuah alat berbentuk aneh, diikuti dengan sikat berujung hitam yang melentikkan bulu mata. Terakhir, tepukan di pipi untuk menyisakan rona kemerahan, juga warna di kelopak mata dan bibir. Niki begitu sering mengamati Mama merias diri sampai hafal rutinitas itu, dan suatu saat ketika Mama sedang pergi, dia memberikan diri menarik laci meja rias yang mengandung banyak alat-alat ajaib itu. Ketika pulang, Mama menemukan Niki sedang asyik berdiri di depan kaca. Wajahnya penuh dengan coretan warna-warni. Lipstik warna merah darah mencoreng bibirnya, belum lagi pipinya yang didempul merah muda sampai terlihat seperti topeng monyet. Di tubuhnya yang mungil, ada atasan kebaya pesta milik Mama, jatuh sampai di bawah lutut dan menggantung di sana. Mama tidak tahu harus marah atau tertawa. Dengan lembut, didudukkannya Niki di atas pangkuannya, lalu menyeka wajahnya dengan sebentuk kapas yang dibasahi minyak bayi. "Anak perempuan seumur Niki masih belum cocok dandan seperti ini." Begitu nasihat Mama waktu itu, sebelum menghapus merah yang sangat tebal di muka cemong anak tertuanya.
"Terus, kapan bolehnya, Ma?" Mama berpikir sejenak. "Setelah Niki beranjak dewasa, kalau sudah benar-benar membutuhkan alat rias seperti punya Mama. Mungkin kalau sudah umur enam belas tahun nanti, Niki akan belajar memakainya." "Bisa jadi cantik ya, Ma?" Niki bertanya lagi, memejamkan mata supaya Mama bisa membersihkan seluruh wajahnya. "Kalau Niki dewasa, Niki mau pakai alat-alat ini, supaya cantik seperti Mama." Mama membelai kepalanya, lalu mengikat rambutnya menjadi satu konde mungil di belakang kepala. "Tujuan alat-alat ini bukan hanya untuk mempercantik diri. Kecantikan yang sesungguhnya harus datang dari sini." Ditunjuknya posisi hati, sehingga Niki ikut memegang dadanya. Di ulang tahun Niki yang keenam belas, Mama benar-benar menghadiahinya satu set kosmetik dengan palet warna pastel yang sesuai untuk remaja. Tapi, Mama tidak ingin Niki lupa, bahwa kecantikan tidak datang dari penampilan saja, tapi juga dari hati. *** Niki melempar ranselnya hingga tersampit di punggung dan berdiri di bagian belakang sepeda. Kedua tangannya erat di pundak Nata, dan dia mengkomando dengan suara lantang, "Jalan, Bos!" Nata, yang sudah menunggu dua puluh menit di garasi terbuka rumahnya, menggerutu dengan kesal. "Udah telat masih nganggep gue sopir, pula." Niki menepuk ubun-ubunnya dengan gemas. "Cuma telat sebentar aja, kok. Tadi ada emergency, tau."
Nata memalingkan wajah sekilas sambil terus mengayuh. "emergency apaan? Bad hair day?" Niki tertawa lepas. "Tau aja ih, Nata." Lagi-lagi, Nata menggumam tak jelas, tak dihiraukan oleh Niki. Tentu saja cowok gak akan ngerti, begitu pikir Niki. Memangnya, enak tiba-tiba bangun pagi dengan rambut kriwil yang supermegar, atau kram perut karena datang bulan? Begitu tiba di sekolah, Niki segera ngeloyor masuk kelasnya, dengan ceria mengucapkan selamat pagi. Helena, sang ketua cheerleader, meneliti penampilannya dari atas sampai bawah, lalu mengangguk puas. Niki tersenyum bangga, mengambil tempat duduknya satu baris di depan Nata. Diam-diam, Niki sebenarnya ingin seperti Helena dan teman-temannya. Mereka selalu kelihatan keren. Cantik. Lengkap dengan tas, jam tangan dan sepatu model terbaru, cewek-cewek seperti Helena selalu up-to-date dengan gaya fashion terbaru. Mereka juga jadi bagian elite grup pemandu sorak yang tidak bisa sembarangan merekrut anggotanya. Sejak dulu, impian terbesar Niki adalah menjadi cheerleader. Dia merengek pada Mama sampai akhirnya diperbolehkan les balet. Dia menonton setiap film tentang cheerleader dan dance dengan seksama, menghafalkan gerakan dan koreografinya. Kadang-kadang, dia latihan sendiri di kamarnya, menciptakan gaya tarian baru dan belajar dengan mengamati gerakan orang lain. Salah satu alasan Niki menyukai sekolah ini adalah karena tim cheers-nya yang jadi kebanggaan. Setiap tahun, tim cheers SMU Harapan selalu masuk kategori final kejuaraan cheerleading seluruh Jakarta, malah tidak jarang menyabet juara satu. Ada sesuatu yang magical dengan pompom--persatuan, kreativitas, disiplin ketat, latihan keras, dan kecintaan pada musik dan seni tari. Niki menghargai itu. Ia ingin jadi salah satu dari mereka. Dia masih ingat hari ketika dia mengikuti audisi untuk anggota baru. Kakinya bergerak begitu saja mengikuti hentakan musik, lalu tubuhnya mengikuti gerakan demi gerakan yang sudah dilatihnya selama berbulan-bulan. Lompatan maupun gerakan cartwheel yang
biasanya merupakan tantangan besar bagi gadis-gadis lain tidak jadi masalah buat Niki, dia bisa melakukannya dengan mata terpejam sekali pun. Ketika selesai, Niki tahu dia pasti berhasil. Dia bisa melihatnya dari tatapan kagum para senior, tepukan tangan para anggota lain, dan anggukan samar para guru. Dan sejak saat itu, akhirnya Niki berhasil menjadi bagian dari tim pemandu sorak yang begitu diidolakannya. "Eh, tau gak, hari ini ada anak baru yang masuk, lho!" Vanya, salah satu anggota geng Helena, memutar kursi untuk menghadap Niki. "Katanya pindahan dari New York. Blasteran bule!" "Oh ya?" Niki mengangkat muka sekilas, walau dia sedang sibuk mengerjakan PR Matematika yang lupa diselesaikannya semalam, gara-gara begadang nonton Gossip Girl bersama Acha, adiknya. Helena mengangkat jari-jari lentik yang kukunya habis dipoles cat warna nude. Suaranya rendah dengan nada misterius. "Denger-denger sih... anaknya Vidia Rossa." Kali ini, Niki langsung melupakan PR-nya. Vidia Rossa? Model terkenal itu?! Niki cinta Vidia Rossa. Bahkan, dia punya posternya di kamar, tepat di atas meja belajarnya. Kalau lagi suntuk belajar, Niki akan bengong menatap poster itu sambil berkhayal. Vidia Rossa melenggak-lenggok di atas CATWALK untuk memamerkan koleksi musim gugur Prada, launching koleksi hasil desainnya sendiri di New York tempo hari, yang masuk masalah fashion lokal maupun luar negeri. Vidia Rossa, yang garis wajahnya mirip Claudia Schiffer, tapi dengan keanggunan ala Gisele Bundchen. "Tuh, anaknya baru aja dateng!" Secepat kilat, separuh isi kelas berhamburan keluar untuk melihat rupa anak tunggal Vidia Rossa yang hari ini resmi jadi murid SMU Harapan. Hanya Nata yang bermalas-malasan di mejanya, lebih senang mendengarkan musik dengan iPodnya daripada ikut bergosip.
"Nat, anaknya Vidia Rossa!" Niki masih dengan bersemangat mengguncang lengannya. "Terus kenapa...?" Huh. Niki cemberut, lalu menyusul Helena keluar. Nata tidak akan peduli sekalipun itu anak presiden. Dia melihat seorang gadis dalam balutan seragam merah kotak-kotak, yang menenteng tas Juicy Couture terbaru seperti yang pernah dilihatnya di katalog fashion bulan ini. Gadis itu memang jelas-jelas Indo, dengan rambut kecokelatan sepunggung yang ditarik dengan baret hitam. Tubuhnya sangat tinggi dan sangat kurus, terlihat sedikit canggung ketika berjalan. "Ceking banget, pasti anorexic." Bisik-bisik terdengar di antara kaum perempuan, raut iri dan kagum terlukis jadi satu di wajah mereka. Niki tidak mengindahkannya, dia sudah terbiasa mendengar komentar sinis teman-temannya. Murid-murid laki-laki mulai bersiul dengan kurang sopan, membuat gadis itu mendongak ke atas, ke arah mereka yang sedang bergelantungan di depan kelas di lantai dua. Matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Niki. Niki tersenyum kikuk. Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas, lalu kembali bergegas ke arah ruang TU. *** ANNALISE Wish #2: I want to fit in (Annalise) Jadi anak baru memang menyabalkan; salah satu hal paling menyebalkan di dunia ini selain kepergian Mama berbulan-bulan lamanya dan mendapat label anak aneh hanya karena dia lebih suka membaca daripada hangout seperti remaja lain seumurnya.
Annalise sudah sering pindah sekolah. Saking seringnya, dia sampai tidak ingat sudah berapa kali dia hengkang dari satu sekolah dan masuk ke sekolah lainnya. Beberapa kali keluarganya pindah mengikuti jadwal tour Mama keluar negeri, mulai dari Tokyo, London, New York, sampai balik lagi ke Jakarta, tempatnya dilahirkan. Annalise tidak terlalu ingat tahun-tahun pertamanya tinggal di sini, waktu itu dia masih sangat kecil. Baginya, kota ini besar tapi semrawut. Sarat polusi, macet, dan panas setiap saat. Namun, entah mengapa dia suka tinggal di sini. Begitu banyak hal menarik yang bisa dipotretnya dengan kamera Nikon yang mengganduli lehernya ke mana-mana. Annalise mendengus mengingat momen pertama kalinya dia menyeberangi lapangan basket sekolah baru ini--tadi pagi. Dia berjalan lengkap dengan seragam sekolah lamanya yang berbasis kotak-kotak merah, tas suede krem hadiah dari Mama waktu ke Milan, dan sepatu kets baru yang masih bersih. Terdengar siulan-siulan kurang senonoh dari lantai atas, dan begitu dia mendongak, belasan remaja laki-laki sedang menunduk ke bawah, memperhatikannya dengan seksama. Malah ada beberapa yang dengan cuek memotretnya dengan kamera HP. Dengan ngeri, Annalise mempercepat langkah ke arah ruang tata usaha untuk mengambil buku-buku pelajarannya semester ini. Bunyi suit-suit makin keras mengikuti bayangannya, lalu jadi senyap setelah guru BP yang berdiri di depan ruang TU menghardik mereka dengan galak. Annalise menghela napas lega, untuk sementara dia bebas, tapi predikat anak baru sudah keburu melekat. Dia merasa seperti objek, hanya karena dia bule. Blasteran. Indo. Beda dari yang lain. *** Belum lama dia duduk di kantin sendirian, sudah banyak yang bergosip tanpa berusaha mengurangi volume suara. "Itu anaknya Vidia Rossa, kan? Model terkenal tahun sembilan puluhan!" "Katanya sih begitu. Tadi liat gak dia diantar pakai Jaguar hitam? Pasti tajir banget." "Ya anaknya model dan perancang terkenal, gitu lho."
Kuping Annalise panas mendengarnya. Dia memang berat di nama--mamanya adalah Vidia Rossa Roberts, model senior yang masih sering muncul di vogue walau usianya sudah hampir empat puluh. Model berdarah Russia-Amerika-Indonesia yang namanya sudah malang-melintang di dunia fashion, yang akhir-akhir ini banting setir untuk berkiprah di dunia fashion design. Walaupun itu berarti beliau akan jarang di rumah, lebih sering menghabiskan waktu di atas kursi empuk bussiness class pesawat terbang, menenggak beberapa butir aspirin untuk menghilangkan jet lag di kamar hotel, lalu sibuk mengurus ini-itu dengan partner bisnisnya. Walaupun itu berarti Annalise akan sangat merindukan Mama sampai akhirnya terbiasa dengan ketidakhadirannya. Annalise menarik sejilid buku usang dari tas dan mulai membaca sambil menikmati makan siangnya. Wuthering heights, sebuah judul yang tak pernah bosan dibacanya. Diam-diam dia hilang dalam bacaan itu, barisan kalimat yang bagaikan menghipnotis, untuk sementara membuatnya lupa bahwa dia adalah orang asing di sekolah ini. *** NATA Nata tidak ingat kapan tepatnya Niki mulai berubah. Niki yang dikenalnya dulu adalah anak perempuan bandel yang tidak gentar memanjat pohon jambu di halaman rumahnya. Anak kecil yang cekikikan sambil mengebut dengan sepeda gunungnya, juga tak ragu bermandi hujan dan air banjir yang becek. Mereka sudah bertetangga sejak usia lima tahun, jadi Nata bisa bilang kalau dia mengenal sahabatnya ini luar dalam. "Nataooo!" Nata bahkan menghafal suara cempreng itu dengan baik. Niki berdiri di hadapannya sambil mengunyah batangan snack kismisnya, lengkap dengan seragam cheers yang serbapink. Rambut sebahunya dikucir satu tinggi-tinggi di atas kepala, bibirnya terulas lipstik merah muda senada, dan matanya dibingkai sedikit pemulas.
"Mau latihan cheers atau mau ke pesta, sih?" Nata tidak tahan untuk tidak menyindir pedas. Akhir-akhir ini, Niki jadi gemar dandan. Dia jadi salah satu anggota cheers, jadi tergila-gila dengan warna pink, selalu diet dengan hanya mengonsumsi makanan rendah kalori, dan jadi... centil. Nata masih kurang terbiasa dengan kebiasaan baru macam ini. Niki melengos sambil cemberut. "Hari ini mau nungguin aku selesai latihan, kan?" Nata melirik jam tangannya. Masih ada satu jam. "Ya udah, deh." "Sip!" Dengan senyum lebar, Niki menepuk pundak Nata dua kali sebagai ungkapan terima kasih, lalu menghilang di balik pintu ruang olahraga. Tidak lama kemudian, lagu Avril Lavigne yang sering dipakai tim cheers untuk latihan menggema sampai ke luar. Nata menggaruk kepala dan menyeret langkah ke arah UKS. Tidur siang lagi di ranjang UKS, deh. Kalau tidak, kasihan Niki, nanti pulangnya jalan kaki sendirian. *** Nata bisa bersahabat dengan Niki karena ibu mereka dekat. Sejak keluarga Niki pindah ke seberang rumah Nata, ibu mereka saling mengunjungi sambil membawa anak masing-masing. Kadang kursus masak bareng, kadang ikut kelas aerobik sama-sama, perawatan di salon, arisan atau sekedar mengobrol dengan dua cangkir teh hangat. Anak-anak ditinggal di pekarangan begitu saja, mungkin semacam latihan sosialisasi supaya mereka mudah berinteraksi sejak usia dini. Awalnya, Nata dan Niki tidak acuh terhadap satu sama lain. Nata duduk sendiri dengan robot-robotannya di pangkuan, sedangkan Niki main Barbie lengkap dengan rumah-rumahannya. Acha selalu tertidur di atas sofa, mengisap jempol. Namun, setelah berjam-jam, para Mama mengobrol tanpa ada tanda-tanda akan selesai, Niki sepertinya mulai gerah. "Kamu punya sepeda?"
Nata mendongak ketika ditodong seperti itu. Dari tadi dia sengaja tidak menyapa gadis kecil itu, takut koleksi robotnya dirusak atau terpaksa main Barbie juga. Ih, Nata tidak akan mau ke-gap sedang main boneka perempuan! "Punya sepeda nggak?" Anak itu mengulangi dengan tidak sabar. Nata menunjuk ke arah garasi tanpa berkata-kata lebih lanjut. "Yuk!" Dengan tenaga yang cukup besar untuk seorang anak perempuan, Niki menarik tangan Nata, setengah menyeretnya ke garasi. Niki yang pertama kali mengajarinya bahwa mengayuh pedal kencang-kencang lalu membiarkan sepeda menuruni lintasan curam adalah salah satu hal paling mengasyikkan di dunia. Niki memberitahunya bahwa kenikmatan main ayunan adalah udara segar yang menerpa wajah saat mereka berdiri di atas papan kayu sambil menentang angin. Niki juga yang sibuk bercerita bahwa langit yang paling indah ada tepat sebelum malam beranjak masuk--ketika langit berubah ungu dan merah jambu dengan loreng-loreng merah oranye, dengan mataharinya kembali ke peraduan. Sebagai gantinya, Nata mengajari Niki menangkap kunang-kunang dengan tangan kosong, juga berbagai tempat kesukaannya di kebun belakang dengan gadis kecil itu. Mereka bergantian membonceng sepeda sampai Mama Niki mengajak anak perempuannya pulang. Waktu itu, Nata hanya bisa memandang Niki yang berjalan menjauh, sambil sesekali berbalik dan melambai ke arahnya dengan gigi ompong yang terlihat di balik senyum lebarnya. *** "Anna, seragamnya sudah selesai."
Tiga potong seragam putih abu-abu yang sama persis bentuk dan ukurannya diserahkan dalam bungkusan plastik. Annalise lega besok dia bisa mulai berseragam sama dengan murid-murid di sini. Gara-gara tidak ada seragam yang pas dengan tubuhnya yang tinggi kurus, pihak sekolah terpaksa membuat tiga setel khusus costum-made untuknya. Besok, hari-hari sekolahnya sebagai pelajar SMU di Jakarta akan dimulai. Hari ini, dia setengah membolos, untuk mengurus administrasi. "Bu, bisa minta obat?" Annalise bertanya sopan pada perempuan di balik meja Tata Usaha. "Kepala saya pusing." "Oh, minta saja di UKS. Tuh, di lorong kedua belok kiri." "Terima kasih." Annalise bergegas ke arah yang ditunjuk dengan kepala berdenyut. Tiba-tiba saja kepalanya pusing. Semalaman berkutat mencetak hasil fotonya di ruang gelap membuatnya kurang tidur, dan kalau sedang asyik sendiri, Annalise jadi sering lupa dia punya problem anemia yang cukup parah. Ruang UKS kosong. Ada tempat tidur berkelambu putih di pojok, lengkap dengan kabinet obat-obatan di sampingnya dan sebuah meja kecil. Tidak yakin apa yang harus dilakukan, ia memutuskan untuk menunggu sambil bersandar pada sebuah kursi. Tak lama kemudian, seorang murid laki-laki masuk tanpa mengetuk pintu, membawa iPod hitam special edition U2 dengan volume diputar keras-keras. Dia menyapukan pandangan sekeliling, dan tanpa berkata apa-apa langsung melompat ke atas ranjang UKS. Annalise diam saja, berharap penjaga UKS segera datang. Tidak lama kemudian, terdengar suara murid laki-laki itu yang bertanya, "Sakit apa?" Annalise tadinya tidak yakin dia sedang mengajaknya bicara, tapi berhubung hanya mereka berdua yang sedang ada di sana, dia memberanikan diri menjawab lirih. "Pusing."
"Pusing?" Pipinya memerah seketika. "Ya. Anemia." Tirai yang menutupi tempat tidur disibakkan dengan bunyi berisik. Murid laki-laki itu melongokkan kepalanya untuk melihat Annalise. "Kalau begitu lo pasti lebih butuh tempat tidur ini daripada gue." Dia setengah memaksa Annalise untuk berbaring di sana, tidak menghiraukan tolakan bernada sungkan. Annalise memperhatikannya diam-diam; rambut yang terjuntai berantakan di kerah dan melewati telinga, sepasang mata gelap dengan pandangan tajam, dan ekspresi wajah cuek yang tidak tersenyum. Lalu, pemuda itu mengambil tempat duduk tidak jauh dari sana, memejamkan mata sambil mendengarkan lagu. Bekas tempatnya berbaring hangat, dan Annalise pun turut memejamkan mata. "Kamu sendiri sakit apa?" Pemuda itu menarik sebelah earphone-nya supaya bisa mendengar lebih jelas. "Penyakit malas. Lagi pula, cuma tempat ini yang bisa dijadiin sarana tidur siang yang aman dan nyaman." Annalise tertawa kecil mendengar jawaban yang dilontarkan seenaknya itu. "Lagi denger lagu apa?" Lawan bicaranya menyeringai ketika ditanya begitu. "Mau denger juga?" Annalise menyambut sebelah earphone dengan ragu dan melekatkannya di telinga. Bukan jenis lagu yang biasa didengarkannya, tapi... cukup menarik. Interesting, Annalise menyimpulkan this guy has an interesting sense of music.
Mereka berdua menghabiskan setengah jam di sana, berdiam diri sambil mendengarkan lagu dari album U2--joshua tree. *** "Nataoo!!" Pintu UKS dibuka dengan sembrono, membuat Nata terlonjak sedikit. Niki masuk dengan napas tersengal, ikat rambutnya longgar sehingga helai-helai rambut yang membingkai pipi bulatnya basah oleh keringat. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis berdiri tidak jauh dari tempat tidur UKS yang sempit. Niki mengenalinya sebagai murid baru (anaknya Vidia Rossa!) yang pagi tadi datang dengan seragam sekolah lamanya. Kalau tidak salah namanya Annalise Putri. Nama yang anggun sekali, seperti nama seorang putri. Dalam jarak dekat seperti ini, Niki bisa melihatnya lebih jelas; sepasang alis yang melengkung sempurna, mata hijau tua yang dibingkai oleh bulu mata panjang yang super lentik, dan wajah polos yang pucat tanpa make-up. Fitur-fitur wajahnya begitu menonjol dan tidak proporsional--kedua matanya sipit, sedangkan hidungnya sedikit crooked, persis seperti ibunya, namun entah mengapa dia terlihat menarik. Seperti model, Niki membatin. Di matanya, Annalise terlihat begitu keren dalam balutan seragam sekolah swasta luar negeri. Sebelum Niki sempat berkata apa-apa pada anak baru itu, Nata bangkit berdiri, lalu menghampiri Niki. Seperti biasa, ditariknya tas yang disandang Niki sehingga kini ia membawa dua tas, termasuk miliknya sendiri yang tersampir di punggung. Mereka berdua berjalan menuju lapangan parkir sekolah. Sesekali Niki menengok ke belakang, melihat Annalise yang masih duduk di atas tempat tidur UKS. "Kamu kenal sama anak baru itu?" Nata mengangkat bahu. "Tadi baru kenal waktu di UKS doang kok." Anna. Panggilannya akrab banget, Niki berpikir diam-diam. "Dia sakit?" "Katanya sih pusing."
"Ooo. Dia mirip sama Vidia Rossa, ya? Cantik, ya, Nat! Mudah-mudahan dia sekelas sama kita." Tidak lama kemudian, akhirnya Niki berhenti menyebut nama Vidia Rossa dan mulai sibuk bercerita tentang gaya dance baru yang diciptakannya tadi waktu latihan. Sepanjang perjalanan dengan Niki membonceng bagian belakang sepedanya, bercerita dengan penuh semangat. Nata mendengarkan tanpa antusiasme total, pikirannya merembet ke mana-mana. ** NATA Nata memang tidak ingat kapan tepatnya Niki berubah, tapi dia ingat jelas kapan pertama kalinya dia menyadarinya. Hari itu hari pertama orientasi SMU. Para kakak kelas dengan kejamnya memaksa seluruh murid tahun pertama untuk memakai seragam SMP lama mereka lengkap dengan rangkaian petai terkalung di leher. Yang perempuan harus mengepang rambut jadi tiga puluh bagian--tidak peduli seberapa berantakan yang penting ada tiga puluh set per kepala. Yang laki-laki harus pakai bando perempuan, plus jepitan rambut warna-warni. Pagi itu, Niki muncul sambil merengut. Ia tampil heboh dengan tatanan rambut dikepang rapi kecil-kecil, juga untaian petai yang semerbak. Rok SMP-nya sudah Saracilan dan kependekan, sehingga dia terus-menerus menarik ujungnya dengan tak nyaman. Nata tidak sadar betapa cepat Niki berkembang selama dua bulan libur musim panas kemarin. Padahal, dari dulu Niki kan pendek, kecil, dan pakai kawat gigi. Pokoknya boyish abis. Rambutnya juga biasa dibiarkan pendek dan menjuntai hingga leher, lebih banyak terkena matahari sehingga ujungnya pecah-pecah. "Aneh, ya?" Niki bertanya dengan gemas, menarik-narik rambutnya. "Mana petainya bau banget lagi." Nata ingin tertawa, tapi dia malah tercengang. Niki masih Niki, tapi Niki bukan lagi Niki. Masuk akal gak sih? Maksud Nata, sekarang Niki kelihatan berbeda. Entah sejak kapan kedua tungkai kakinya mulai memanjang, diikuti dengan lekuk pinggang yang sempurna. Kulitnya terasa lembut ketika menyentuh Nata. Rambutnya mulai
dipanjangkan hingga menyentuh bahu, bersih dan berkilau di bawah terik matahari. Nata jadi ingin menyentuhnya, ingin tahu karena kelihatannya halus sekali. Matanya bulat, bibirnya kemerahan, lehernya jenjang. Niki... cantik. Adjektif terakhir itu terdengar aneh di mulut Nata. Karena dia tidak pernah menganggap sahabatnya itu sebagai perempuan sungguhan. Lalu, ada lagi kejadian ketika cowok-cowok kelasnya berkumpul, topiknya tentu saja tidak jauh-jauh dari perempuan. "Cewek-cewek SMU Harapan cantik-cantik, ya." Rizky, salah satu anak baru, buka suara. "Gak nyesel masuk sini." Waktu itu, Nata diam saja, tanpa komentar menonton anak-anak kelas dua main basket di lapangan dari tempatnya bergelayut di pagar lantai dua. Dia paling malas ikut nimbrung masalah perempuan dan penaklukan--kesannya macho tapi norak. "Iya," timpal Debo, salah satu teman sekelas Nata sejak SMP. "Cakep-cakep. Liat sih Helena, mulus banget. Atau si Vanya." Lalu, murid-murid pun ikut berdiskusi dengan seru. "Kalau gue sih lebih suka sama Linny. Seksi." Yang lain sibuk menggoda dan bersiul nakal. "Kalo gue milih Sara. Gue demen cewek yang mungil kayak dia." "Sara biasa aja. Kalo Niki gimana?" Kuping Nata jadi supersensitif mendengar nama itu disebut.
"Niki? Nikola ciputra ya...?" Salah seorang dari mereka mulai memperhatikan gerak-gerik Niki yang sedang mengobrol seru dengan teman-temannya di tepi lapangan. "Manis. Ceria, kayaknya orangnya asyik." "Tipe gue banget tuh!" "Niki, kan, teman dekat Nata sejak kecil." Kiki, yang memang sudah mengenal Nata dan Niki sejak SD berkomentar. "Gimana menurut lo Nat?" Nata mengangkat bahu dengan cuek, tapi hatinya sedikit berdebar. "Biasa aja. Gue udah terlalu lama sahabatan sama dia." "Jadi boleh kita kejar, ya?" Nata tidak terlalu mendengarkan lagi. Dia tidak ingin mengakui bahwa dia juga merasa Niki menarik. Kenapa, ya? Padahal, dari dulu Nata biasa aja di dekat Niki. Cewek itu yang berubah... atau Nata yang berubah? *** Pikiran Nata buyar seketika begitu Niki melompat dari sepeda dan meraih tasnya. Pelukan di pinggangnya melonggar begitu saja. "Thanks, Nat! See you tomorrow." Sebelum masuk ke rumah, Niki sempat melambai dan tersenyum lebar. Bau cologne bayi yang dipakainya masih menusuk hidung Nata, membuatnya sedikit kepayang. Pintu rumah Niki sudah tertutup rapat, tapi Nata masih bengong sambil menuntun sepedanya. Iya, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Nata masih tidak tahu perasaan apa itu. Tapi, kenapa hatinya jadi berdebar tidak keruan? *** Wish #3: aku ingin melihatnya tersenyum (Annalise) Namanya MaNata Stevano Aditya Haling. Annalise mendengar orang-orang memanggilnya Nata, jadi dia pun mencoba menyebutkan nama itu diam-diam, untuk mengetes bunyinya. Nata. Nata. Dengar-dengar, dia sangat pintar. Nilainya tidak pernah kurang dari angka delapan, walaupun dia jarang belajar dan lebih sering ketiduran saat pelajaran. Gayanya cuek dan sepertinya sifatnya agak pendiam. Annalise mengambil tempat duduknya di sebuah bangku kosong di baris kedua paling belakang. Hari ini, resmi jadi hari pertamanya belajar di sekolah baru. Tasnya sudah terisi beberapa buku tulis kosong dan daftar pelajaran per minggu, juga sekotak pen warna biru yang khusus dibelinya. Murid-murid lain masih berkeliaran di luar sebelum bel berdering, beberapa duduk di atas meja sambil mengobrol. Annalise tahu dia masih jadi pusat perhatian. Diam-diam, dia menyalahkan bentuk tubuhnya yang kurang normal dan penampilannya yang sangat jauh dari raut Asia. Juga nama Mama yang sangat, sangat tenar. Dengan gugup, Annalise mengeluarkan buku-bukunya. Merapikan mereka di atas meja, menyusunnya berdasarkan urutan pelajaran. Memasukan beberapa ke dalam laci, lalu berubah pikiran. Duh, kapan sih bel akan berbunyi? Di depan kelas, Annalise melihat Nata. Dia sedang bercanda-canda dengan murid sekelasnya, seorang gadis berambut poni yang lengan kemeja putihnya digulung dan
dijepit bros pink--gadis yang kemarin membuka pintu UKS, lalu pulang bersama Nata. Dia menyambut uluran tangan Nata, menerima earphone dan memasangnya di telinga. Tiba-tiba, Nata mendongak. Pandangannya dan Annalise bertemu tanpa sengaja. Annalise jadi salah tingkah, lalu menunduk malu. Ketika ia mengangkat muka, Nata sudah mengambil kembali earphone-nya dari gadis itu. Tiga detik kemudian, bel pertama berbunyi. Nata mengambil tempat duduk tepat di belakangnya. Annalise menyembunyikan wajahnya yang memerah walau dia yakin Nata tidak akan bisa melihatnya. Cewek yang tadi berdiri di samping Nata justru duduk di samping Annalise. Dia memperhatikan Annalise sejenak, lalu pertanyaan itu tersembur begitu saja dari mulutnya, "Kamu beneran anaknya Vidia Rossa, kan?" Pertanyaan itu terdengar sungguh polos sehingga insting pertama Annalise adalah ingin tertawa daripada tersinggung, tapi jika dia tertawa pasti akan tidak sopan sekali. Jadi sambil menahan tawa, Annalise mengangguk serius. Nata berkomentar singkat dari belakang. "Niki fans beratnya Vidia Rossa." Gadis itu--Niki, mengangguk antusias. "Bisa minta tanda tangannya gak yah?" Annalise tersenyum dikulum, lagi. "Sekarang, Mama lagi tour ke Paris. Nanti ya kalau udah balik, aku mintain tanda tangannya untuk kamu." Mata Niki membulat kagum. Annalise sadar sesuatu, lalu menjulurkan tangannya. "Oh ya, aku Annalise. Pleasure to meet you." Niki menyambut jabatan tangannya dengan senyum lebar. "Aku Alyssa. Panggil aja Niki." Nata menggeleng-geleng ringan. "Hati-hati sama Niki, nanti diterkam. Dia mengoleksi segala hal yang berbau Vidia Rossa."
Yang diledek memukul lengan Nata dengan lembut, lalu mencubitnya. Annalise merasakan kedekatan mereka, mungkin mereka teman baik, atau bahkan... pacar? "Niki sahabat gue, sejak kecil." Nata berkata lagi dengan tiba-tiba seakan bisa membaca pikirannya. Annalise bersemu merah sekali lagi, lalu mengangguk mengerti. "Kemarin, belum sempat tur keliling sekolah, kan?" Niki berkata sambil tersenyum. "Nanti, pas istirahat siang, aku tunjukin tempat-tempat rahasia sekolah ini, dari tempat makan bakso paling enak sampai tempat bolos paling oke." Annalise menyanggupi tanpa banyak bicara. Sejujurnya, dia tidak berharap banyak untuk persahabatan ini, toh Annalise tidak terbiasa memiliki sahabat. Setiap pindah sekolah, selalu ada teman-teman lama yang ditinggalkannya, juga orang-orang baru yang harus dikenalnya. Awalnya dia terus berkoresponden dengan beberapa teman lamanya, tetapi lama-kelamaan rutinitas menulis e-mail untuk satu sama lain semakin berat dan mereka hilang kontak begitu saja. Sejak saat itu, Annalise tidak ingin terlalu dekat dengan remaja-remaja seumurnya--dia benci rasa kehilangan ketika akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal. "Kamu mau ikut ekstrakulikuler apa?" Gadis di sampingnya mulai berbicara lagi. Sepretinya, dia tidak pernah kehilangan energi. "Di sini ada kelas melukis, memasak, olahraga, band, sampai cheerleading." Sambil membusungkan dada, Niki melanjutkan dengan nada bangga, "Aku anggota cheers. Kamu mau ikutan? Dengan postur tubuh seperti kamu, pasti gampang banget jadi anggota." Annalise tidak ingin menjawab bahwa jadi pemandu sorak adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Mereka semua tidak tahu seberapa buruknya dia dalam olahraga, apa pun jenisnya. Dia tidak bisa memegang raket dengan benar, selalu gagal memasukkan bola ke dalam gol maupun keranjang, selalu lari paling lambat, dan dengan ceroboh jatuh karena tersandung kaki sendiri. Jadi cheerleader? Bisa-bisa semua orang mati ketawa melihatnya berlaga di atas panggung dengan pompom rafia warna-warni dan gerakan patah-patah. "Ada kelas fotografi?"
"Ada." Nata yang menjawab. "Tahun ini anggota klub fotografi mau bikin galeri kecil untuk pentas seni." Hati Annalise melambung, dan segera dia teringat pada kameranya yang sudah lama tidak menjepret foto. "Kalau begitu aku akan bergabung dengan klub fotografi." Niki kelihatan sedikit kecewa. "Padahal, kamu pasti cocok banget jadi cheerleader." "Nanti aku foto kalian para cheerleader aja deh." Annalise menawarkan, dan dengan cepat semangat Niki pulih. "Kamu bisa jadi modelnya." Tangannya sudah gatal ingin memotret. When you take a photograph of someone, you take a potrait of their soul, begitu ayahnya sering berkata. Annalise ingin mengunci ekspresi di wajah Niki, semangatnya yang berkobar-kobar dan wajah polosnya yang manis. Wajah orang-orang asing di sekitarnya, yang merupakan objek fotografi paling menarik. Lalu, wajah Nata, sorot matanya yang tajam, garis wajahnya yang tegas, dan senyumnya yang belum pernah benar-benar tampak sebelumnya. Jika dia tersenyum, Annalise ingin menyimpan kenangan ekspresi itu melalui lensa. *** Wish #4: menggaet putri model internasional dalam tim cheers (Helena) Helena membuka halaman demi halaman majalah Vogue-nya yang terbaru, diam-diam matanya mengikuti gerak-gerik gadis yang sedang asyik tenggelam dalam bacaannya di sudut perpustakaan yang sepi. Annalise Putri, sang murid baru itu, tampak tidak memedulikan keadaan sekelilingnya. Beberapa hari ini, dia memang lebih sering terlihat sendirian, atau sesekali bersama Niki dan teman cowoknya, Nata. Helena mengulang kata-kata yang ingin diucapkannya kepada Annalise sekali lagi dalam kepala, lalu berjalan menghampiri meja Annalise. Bunyi keras hak sepatunya
yang mengetuk lantai sama sekali tidak menyebabkan Annalise mengangkat kepala, sepertinya bakan tidak sadar Helena telah berdiri di hadapannya. Helena berdehem. Baru setelahnya Annalise mendongak dengan ekspresi terganggu yang samar. Delicate, Helena memutuskan kata itulah yang tepat untuk menjelaskan rupa Annalise, walau dia sendiri enggan mengakuinya. Annalise terlihat seperti porselen, mudah pecah jika disentuh. "Hai." Helena menyapa dengan senyum terbaiknya. Biasanya, murid-murid lain akan segera meleleh ketika melihat senyum itu, mungkin bangga karena gadis sepopuler dirinya mau menyapa mereka. Namun, Annalise hanya menatapnya dengan ekspresi yang sama, sama datarnya dengan ekspresi yang pernah diberikan Nata saat Helena menyapanya pada hari pertama mereka bertemu. Pipi Helena memanas, dan dia memutuskan untuk langsung ke inti pembicaraan. "Gue dateng khusus untuk mengundang lo masuk ke tim cheerleader. Biasanya, orang-orang harus ngelewatin audisi ketat untuk bisa gabung ke tim kita, tapi gue bersedia untuk ngasih lo sebuah kesempatan langka." Mata Annalise mengerjap seakan tidak percaya. Untuk sesaat, Helena merasa yakin dia telah berhasil menggaet anak Vidia Rossa ke dalam grup elitenya, yang terdiri dari anak-anak paling populer di sekolah mereka. Awalnya, dia memang antipati terhadap Annalise karena perhatian murid-murid SMU Harapan berpindah dari dirinya. Tapi, Helena tahu, dengan titel Annalise sebagai anak supermodel internasional yang terkenal, grupnya akan semakin solid. Dia sendiri, sebagai tombak, sudah lama berkiprah sebagai model print media maupun iklan televisi sejak usianya lima tahun, mengikuti jejak karier sang ibu yang pernah menjadi model terkenal juga pada masa jayanya. Tapi, Annalise tidak berkata apa-apa, seakan sedang memikirkan jawaban yang tepat untuknya. "Gimana?" desak Helena. "Kalo ikut tim gue, lo gak akan lagi sendirian di perpustakaan yang sumpek seperti sekarang. Lo akan dapet akses ke semua a-list parties yang ada, dan hangout dengan orang-orang terkenal. You won't regret this." Yang tidak disangkanya adalah senyum sopan Annalise yang disusul dengan gelengan kepala. "thanks for the invite, but no."
Tidak? Helena berkedip dan membuka matanya perlahan, ingin memastikan penolakan itu. Mayoritas populasi sekolah ini memilih popularitas dibanding nilai bagus. Kesempatan semacam ini hampir tidak pernah diberikannya secara cuma-cuma kepada siapa pun, bahkan setelah mereka memohon. Masih banyak gadis di sekolahnya yang berusaha sebisa mungkin untuk menjadi bagian dari gengnya, tapi Annalise masih berkutat dengan ekspresi yang sama, menandakan pembicaraan mereka sudah selesai. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya, Helena memaksakan senyum dan berkata, "Too bad." sebelum meninggalkan perpustakaan dengan langkah panjang. Sialan, dengusnya berulang-ulang dalam hati. Sial. Memangnya dia kira, dia siapa? Mentang-mentang anak orang terkenal. Tidak banyak orang yang berkata tidak pada Helena. Dan, ketika dia bertemu dengan orang-orang yang melakukannya, Helena tidak akan pernah melupakannya. *** Annalise menatap Helena berjalan menjauh dengan bingung. What's with everybody? Kenapa mereka niat sekali mengajaknya bergabung dengan tim cheerleading? Setidaknya, dia yakin motif Niki lebih bersahabat daripada Helena karena di mata Niki dia hanya melihat excitement dan ketulusan, sedangkan dalam ekspresi Helena dia melihat sesuatu yang lain. Annalise sering melihatnya dalam pandangan mata orang-orang yang ditemuinya sejak kecil saat ia mengikuti Mama untuk sesi pemotretan--baik itu para wartawan yang menguntit, sesama model, atau manager Mama yang sering berganti-ganti. Kemungkinan besar perkataan Niki benar, mereka semua menginginkan Annalise dalam tim cheerleading karena postur tubuhnya yang jangkung--hampir melebihi seratus delapan puluh sentimeter di usia enam belas, dan dia tahu perkembangannya tidak berhenti sampai di situ saja. Sejujurnya, Annalise tidak pernah nyaman terperangkap dalam tubuhnya sendiri--terlalu jangkung sehingga dia cenderung membungkuk ketika berbicara dan berjalan di samping orang-orang yang lebih pendek daripada dirinya. Belum lagi berat badannya yang tidak pernah meningkat drastis apa pun yang dimakannya, a blessing for most people, a curse for her. Kadang, Annalise merasa dirinya hanya dibalut kulit dan tulang.mengapa dia tidak bisa lebih seperti mamanya? "Anna!"
Seruan itu membuatnya tersentak lagi. Niki sedang berdiri di pintu perpustakaan melambai-lambai riang sambil berusaha meminta maaf kepada penjaga perpustakaan yang menegurnya karena terlalu ribut. Nata berdiri di belakangnya, memunggungi pintu dengan sebuah bola basket di tangannya. "Main yuk!" Annalise tersenyum lagi, kali ini tanpa paksaan. Entah mengapa dia merasa gembira berada di antara Nata dan Niki, padahal mereka belum saling mengenal dengan baik. Niki selalu mengikutsertakannya dalam segala sesuatu, sedangkan Nata mendukung dari belakang. Mereka berdua tidak pernah menganggapnya selebritas, bersikap apa adanya, tanpa pretensi. Annalise menutup buku Anna Karenina yang sedang dibacanya, lalu beranjak keluar dengan perasaan ringan. *** DHANNY Dhanny terbangun oleh bunyi berisik yang muncul dari lantai bawah. Ia mengucek mata untuk mengusir sisa tidur, lalu beranjak bangun sambil mengusap rambutnya yang mencuat ke mana-mana. "Nat!" Dipanggilnya adik bungsunya melalui tangga yang meliuk ke arah ruang keluarga di lantai dasar. Tidak ada jawaban. Tanpa mengenakan kaus untuk menutupi dadanya yang telanjang, dia menelusuri tangga dengan langkah lebar-lebar. Siapa sih yang mengganggu tidurnya pagi-pagi begini? Sudah pukul sepuluh lewat sih, tapi hari Sabtu kan jatahnya tidur sampai siang. Nata tidak ada di bawah, tapi seorang gadis sedang membuat minuman di dapur. Dia berdiri membelakangi Dhanny, mengenakan sepasang faded denim dan kemeja putih
yang agak gombrong. Rambutnya panjang mencapai punggung. Dhanny mengerenyit. Siapa nih orang asing yang tiba-tiba ada di dalam rumah? Tiba-tiba, cewek itu berbalik dengan gelas minumannya, dan hampir menjatuhkannya karena kaget. Tidak lama kemudian tampaknya dia baru menyadari bahwa Dhanny masih mengenakan piyama tidur kotak-kotak tanpa kaus, dan pipinya memerah. "Kamu siapa?" Dhanny bertanya dengan suara berat oleh kantuk. "Nata mana?" Gadis itu menunjuk tanpa suara ke arah perpustakaan keluarga, yang juga dijadikan ruang kerja dan belajar. Dia lalu berlari keluar, melupakan gelasnya. Dhanny mengambilnya dari atas dipan. Teh herbal dengan banyak es batu. Sambil mengingat-ingat wajah gadis tadi, Dhanny menyeruput tehnya tanpa banyak bicara, lalu menjulurkan lidah. Pahit. *** Annalise baru menyadari bahwa dia meninggalkan gelas minuman yang tadi dibuatnya di atas dipan. Tapi, kembali ke dapur untuk mengambilnya akan terlihat konyol sekali, jadi dengan serba-salah dia kembali menarik kursi dan mencoba berkonsentrasi dengan buku pelajarannya. "Kenapa, kok buru-buru?" Niki yang kebingungan melihat gelagat Annalise bertanya penasaran, bertopang dagu sambil mengerjakan bagiannya dalam tugas kelompok sejarah yang jadi PR mereka minggu ini. Mereka bertiga sedang berkumpul di rumah Nata untuk menyelesaikannya. Annalise menggeleng cepat. Dia masih ingat muka cowok yang masih ngantuk tadi, menyapanya santai dengan keadaan setengah telanjang. Ini pertama kalinya dia melihat seorang laki-laki selain Papa bertelanjang dada, dan tiba-tiba saja dia jadi malu setengah mati. Rambut laki-laki tadi dipotong cepak dengan gaya tentara, ujungnya yang memanjang berdiri lancip. Usianya kurang lebih dua puluh, terlihat seperti Nata dalam
versi dewasa. Tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya, dia bertanya pada Nata, "Kamu punya kakak laki-laki, ya?" Nata mengangkat muka sebentar untuk menjawab, "Iya." "Tadi kamu ketemu Kak Dhanny?" Niki mulai menginterogasi dengan senyum nakal, sejenak melupakan tugas yang masih belum diselesaikannya. "Kaget ya? Kak Dhanny memang ganteng, sih." Dhanny Jonathan--alias Kak Dhanny, adalah cinta monyet Niki. Bagi Niki, tetangga sebelah yang lebih tua beberapa tahun darinya itu selalu jadi sebuah misteri. Dhanny akan pergi dengan teman-temannya yang keren sampai malam, bisa mengendara mobil ke mana-mana sendirian, dan sering latihan basket di garasi luar, sambil memamerkan lemparannya yang jitu. Sementara, dia dan Nata hanya bisa bersepeda keliling kompleks, mengerjakan PR bareng, atau nonton di mal dan pulang sebelum pukul sembilan. Membosankan. "Nat, Kak Dhanny udah punya pacar belum sih?" Tiba-tiba, Niki ingin tahu. Nata mengangkat bahu dengan tak acuh. "Kayaknya, gak ada. Banyak, sih, yang suka nelepon, tapi belum ada yang dikenalkan secara resmi. Waktu Nata dan Niki masih SMP, Dhanny pernah punya pacar yang cantik, namanya Sivia. Niki yang mengidolakan Dhanny sempat kecewa bukan main, tapi dengan cepat berbalik mendukung pasangan itu dan menjadikan mereka sebagai ikon cinta yang sempurna. Ia memata-matai mereka berdua, menyaksikan Dhanny menggandeng Sivia, sampai ciuman pendek mereka di depan pintu, ketika mereka kira tidak ada yang melihat. "Ngomong-ngomong, Kak Sivia ke mana ya sekarang?" Nata berhenti menulis sesuatu di bukunya. "Gak tau, gak pernah denger kabarnya lagi."
Tepat satu setengah tahun setelah Dhanny dan Sivia jadian, Niki tiba-tiba menyadari bahwa gadis itu sudah tidak pernah muncul lagi. Biasanya setiap Sabtu, mereka akan keluar bersama, kadang bahkan memberikan tumpangan pada Nata dan Niki supaya bisa ke mall. Tapi Sivia sama sekali tak pernah datang lagi, dan baik Niki maupun Nata tidak pernah benar-benar menyanyakannya pada Dhanny. Cowok itu pun sepertinya tidak ingin membahasnya. "Menurut kamu, kenapa ya dia gak pernah datang lagi ke sini?" "Mungkin putus." Annalise merasa kurang nyaman mendengarkan kisah pribadi seseorang yang tidak dikenalnya, tapi dia diam saja. Niki menarik napas panjang. Nata menatapnya dengan pandangan aneh. "Kenapa, sih, lo penasaran banget sama urusannya Kakak? Gue aja sebagai adiknya nggak pernah nyanya-nanya begitu." Niki cemberut mendengar sindiran Nata. "Heran deh Nata, selalu pedes omongannya. Kak Dhanny kan udah seperti abang betulan buat aku, jadi wajar dong kalau aku peduli?" Nata menggeleng. "Menurut gue, itu bukan urusan kita." "Terserah." Niki berhenti menulis dan berpura-pura sibuk membaca komiknya, sebuah aksi ngambek setiap kali Nata membuatnya kesal. Nata menghela napas, lalu beranjak untuk mengambil segelas teh dingin, minuman kesukaan Niki. Hitung-hitung sesajen, supaya Niki tidak marah terlalu lama. Annalise terdiam, kali ini tidak berusaha melerai. Tanpa disadarinya, ia kembali memikirkan spekulasi Niki mengenai kisah cinta Dhanny. Cowok tadi... pasti menyimpan sebuah luka yang kelam.
*** Wish #5: kembali ke masa lalu (Dhanny) Dhanny membuka sedikit tirai di kamarnya, menjulurkan kepala untuk mengintip Nata dan Niki yang sedang mengantar kepergian teman mereka, gadis yang tadi ditemuinya di dapur. Gadis itu melambaikan tangan melalui jendela belakang mobil hitamnya sebelum pergi. Niki lalu mengikuti Nata ke kebun belakang untuk santai-santai di trampolin usang kesukaan mereka. Waktu masih kecil dulu, Niki paling senang merepotkan dia dan Nata. Mereka kakak beradik sibuk menemani Niki main, walau Nata paling ogah main boneka-bonekaan. Nata dan Dhanny juga yang mengajari Niki main sepatu roda dan skateboard walau Nata kesal kalau Niki jatuh lalu menangis. Lalu ketika mereka beranjak dewasa, Dhanny mulai menemukan teman-temannya sendiri, meninggalkan Nata dan Niki yang baginya seperti anak kecil dibanding teman-teman barunya. Namun, sekarang Nata dan Niki sudah besar. Nata saja kini sudah hampir setinggi dirinya, dengan pendapatnya sendiri, tindakan memberontaknya, dan kesukaannya pada musik. Sementara Niki, dia sudah tumbuh menjadi perempuan muda yang bersemangat. Dhanny selalu menganggapnya sebagai adik yang disayanginya, apalagi dia tidak punya saudara perempuan. Wajah gadis indo tadi kembali muncul di benaknya. Sosok dan posturnya sedikit mengingatkan Dhanny akan seseorang di masa lalu yang menguak luka lama. Dhanny menutup tirai, lalu mendesah. Kalau sedang sendu begini, kadang-kadang dia akan teringat pada Sivia. Waktu SMU dulu, mereka juga pernah seceria Nata dan Niki, mengira bahwa mereka bisa mengatasi apa saja. Butuh sebuah pengorbanan bagi Dhanny untuk menyadari bahwa cinta tidak seperti dongeng yang selalu berakhir bahagia. ***
Nata berhenti memetik gitar ketika pintu kamarnya diketuk dua kali. Pasti Dhanny. Hanya abangnya yang punya kebiasaan itu; orangtuanya selalu menerobos masuk kamar Nata tanpa merasa perlu mengetuk dulu. "Mau makan, nggak? Mami sama Papi belum pulang. Macaroni and cheese, yuk?" "Boleh." Nata meletakkan gitarnya dan mengikuti Dhanny ke dapur. Makaroni keju adalah makanan favorit mereka berdua. Setiap kali orangtua mereka pergi, Dhanny dan Nata pasti camping di depan televisi sambil makan sebanyak-banyaknya. Nata tidak banyak komentar saat Dhanny menyetel saluran ESPN sambil menunggu makanannya matang. Dia memang tidak terlalu suka nonton acara olahraga. "Tadi, cewek bule yang datang ke sini itu siapa?" "Annalise." Nata menjawab tanpa menoleh. "Murid baru di kelas kita, pindahan dari Amerika. Anna itu anaknya Vidia Rossa, model terkenal yang digandrungi Niki." "Oh, pantesan anaknya juga kayak model," komentar Dhanny. "Niki pasti seneng banget. Kalian masih sekelas, kan?" "Iya," kata Nata, sambil meraih mangkuk makaroni yang masih hangat. "Sekarang Niki cantik, ya. Pasti banyak yang naksir." Nata spontan menoleh. Jadi bukan hanya dia yang menyadari perubahan pada gadis yang satu itu. "Kami cuma sahabatan kok," jawabnya defensif tanpa berpikir dua kali. Sekilas ekspresi bingung melintasi wajah Dhanny, tapi lalu dia tersenyum. "Aku, kan, nggak bilang apa-apa." Melihat Nata mulai memerah dan tidak nyaman, Dhanny
menggoda lagi, "Memangnya kalian pacaran? Atau jangan-jangan kamu lagi yang naksir sama dia." Kali ini, Nata benar-benar terpojok. Dia pura-pura sibuk dengan acara televisi, padahal dari tadi dia sama sekali tidak memperhatikan tim sepak bola mana yang sedang memimpin skor. "Kalau memang suka, harus dikejar." Dhanny berkomentar iseng, geli sendiri melihat perubahan sikap adiknya yang biasa datar menjadi salah tingkah dengan muka semerah kepiting rebus. "Nanti keduluan cowok lain, lho." "Sudah kubilang kami cuma sahabatan," bantah Nata. Dhanny terSarah menertawakan polah Nata. "Oke, oke." Mereka berdua mencoba duduk diam sambil mengunyah makaroni, tapi tawa kecil Dhanny masih belum surut juga. Ekspresi Nata berubah keruh, lalu dia melemparkan sebuah bantal ke arah abangnya dengan kesal. "Udah ah, Kak! Jangan ketawa lagi!" Dhanny malah jadi tidak mampu menahan tawa, dia tergelak bebas sambil menikmati ledakan emosi yang jarang muncul pada wajah adiknya. Gemas, malu, dan gengsi sekaligus. Nata benar-benar kena batunya. ** FRIENDSHIP Niki menunduk dan menyentuh ujung sepatunya dengan jari-jari terentang. Latihan cheers hari ini lebih berat dari biasanya, sebagian besar karena pertandingan basket antar-SMU yang diselenggarakan setiap tahun sudah dekat. Mereka semua harus berlatih ekstra keras untuk formasi piramida baru yang akan dilakukan pada pertandingan tersebut. Niki mengusap keringat dan merasakan otot-ototnya meregang, lalu bangkit untuk membereskan barang-barangnya.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Vanya, Linny, dan Sara sedang duduk bersila, membolak-balik halaman majalah Elle terbaru yang dipesan khusus dari luar negeri. "Liat deh, flats Chanel keluaran terbaru. Ini model sepatu yang dipake anak baru itu, kan?" "He eh. Sayang anaknya sombong banget. Belagu, nggak pernah mau gabung sama kita-kita. Mentang-mentang nyokapnya model terkenal." Niki mengangkat muka, sedikit terganggu dengan topik obrolan itu. "Maksud kalian Annalise?" Linny mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah permen karet. "Iya, temen sebangku lo itu." "Anna memang pendiam, tapi nggak sombong seperti yang kalian bilang. Mungkin karena dia belum terbiasa di lingkungan baru, namanya juga baru pindah ke Jakarta setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri." Vanya mengerenyitkan alis tanda tidak setuju. "Lo tau nggak sih, Helena pernah ngajak dia buat gabung tim cheers dan responnya nyebelin banget. Padahal kan, maksud kita-kita baik. Ya nggak, Priss? Helena yang baru saja menyelesaikan stretching-nya hanya tersenyum. "No big Vanyal-lah, kalau masalah ini. Yang penting gue udah mencoba ramah sama dia." "Gue gerah aja ngeliat orang kayak begitu. Sok tajir, borju, trus pilih-pilih temen. Gue jadi skeptis, bener nggak sih dia anaknya Vidia Rossa?" Sebelum Niki sempat protes, Linny sudah menyambung, "Kita semua nggak pernah denger dia nyebut nama Vidia Rossa sekali pun. Pas pertemuan guru murid tempo hari, nggak ada pihak orangtuanya yang dateng. Setiap hari pulang-pergi dengan sopir. Nggak ada yang tau di mana dia
tinggal, dan sama siapa. Lo kan temennya, Ki, masa, sih, dia nggak pernah cerita apa-apa?" Niki menelan kembali pembelaan diri yang sudah berada di ujung lidah. Selama ini, setiap kali dia bertanya mengenai Vidia Rossa, Annalise cenderung menghindari pertanyaannya dan hanya menjawab seperlunya. Jika tidak ditanya, Annalise hampir tidak pernah bercerita mengenai keluarga maupun dirinya sendiri. Kalau dipikir-pikir, selama beberapa saat mereka berteman, Niki tidak tahu banyak hal mengenai Annalise. "Kita, kan, nggak punya bukti kalau semua itu bohong," protesnya lemah. Helena menyentuh lengan Niki, lalu berkata lembut, "Kita bukannya nuduh Annalise bohong, Ki. Justru karena nggak ada bukti itulah, kita jadi curiga. Kita cuma mau nolong, kok, mau jadi temannya. Tapi, kita nggak bisa bantu seseorang yang nggak mau jadi temen kita." Niki tidak lagi mendengarkan ketika teman-temannya melanjutkan gosip mengenai anak kelas sebelah yang katanya menderita bulimia dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Pikirannya penuh dengan tanda tanya besar. Dia tidak percaya Annalise berbohong, tapi juga sepenuhnya mengerti alasan Helena berkata begitu. Tanpa sepatah kata lagi, Niki menyandang tasnya dan beranjak ke luar. *** Nata sedang berbaring di atas bangku panjang di samping kebun sekolah dengan kedua mata terpejam ketika Niki menghampirinya dengan sebutir apel hijau, snack hariannya setiap selesai latihan. Gerak-geriknya gelisah dan tidak bisa diam, mengganggu Nata yang separuh terlelap. Akhirnya, Nata mengambil posisi duduk dan merengut ke arah Niki. "Kenapa, sih?" Niki tidak segera menjawab. Tidak lama kemudian, ia membalikkan pertanyaan lain. "Nat, menurut kamu, Anna bohong nggak, sih, sama kita?"
Pembicaraanya tadi dengan Helena dan teman-temannya mengalir keluar begitu saja dari mulutnya. Nata berdecak tidak setuju, geram karena sejak dulu dia tidak suka Niki bergaul dengan geng tersebut. Menurutnya, cewek-cewek seperti Helena selalu menganggap diri mereka lebih baik dari orang lain. Tapi, Niki tidak terlalu menghiraukannya, karena tanpa Helena, Niki tidak akan bisa bergabung dengan tim cheers yang begitu diidolakannya. "Menurut lo, Anna itu pembohong, bukan?" tanya Nata akhirnya. Setelah terdiam beberapa saat, Niki menggeleng. "Aku cuma ngerasa dia nyembunyiin banyak hal dari kita." "Menurut gue, semua orang pasti punya masalah yang nggak ingin diceritakan sama orang lain, begitu juga dengan Anna. Kita nggak perlu mikir macem-macem." Niki mencerna kata-kata Nata, lalu menggumam, "Aku ngerti. Yang penting, kita akan selalu ada buat dia saat dia membutuhkan teman, iya kan, Nat?" Nata mengangguk, kemudian kembali berbaring untuk melanjutkan tidur siangnya. Jika seseorang memiliki sesuatu yang ingin dirahasiakan, dia tidak akan memaksa untuk mengetahui apa itu. Lagi pula, dia mengerti, karena dirinya sendiri mempunyai sebuah rahasia yang tidak ingin diungkapkannya kepada siapa pun. *** Wish #6: bertemu mama (Annalise) Annalise melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya dengan resah. Sebentar lagi bel pelajaran kelima akan berdering. Sejujurnya, dia sudah tidak sabar lagi untuk segera pergi dari sana.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ketujuh belas. Angka yang menunjukkan kedewasaan, dan merupakan hari yang biasanya dirayakan secara besar-besaran oleh kebanyakan remaja seumurnya. Namun, yang Annalise inginkan bukan pesta mewah dan gaun lansiran rumah mode ternama, hanya seseorang yang menghabiskan hari istimewa itu bersamanya. Waktu Annalise masih kecil, Mama selalu menemaninya merayakan hari ulang tahunnya. Untuk memperingati hari spesial itu, biasanya Mama akan memasak, sesuatu yang jarang beliau lakukan. Mereka berdia akan membuat kue cokelat dan meniup lilin bersama-sama, lalu menonton film-film lama sampai malam. Tapi, pada hari yang sama empat tahun yang lalu, Mama harus menghadiri sebuah fashion show penting di Paris. Sejak saat itu, Annalise tidak pernah lagi merayakan hari ulang tahunnya bersama Mama. Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi nyaring dan murid-murid mulai berhamburan masuk ke kelas, diikuti dengan Nata dan Niki yang sedari tadi sedang mengobrolkan sesuatu mengenai acara pentas seni. Annalise tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang mereka katakan hingga Niki menyentuh pundaknya ringan, membuatnya terlonjak kaget. Nata dan Niki bertukar pandang sekilas. "Ada apa, Ann? Kok, kayaknya cemas banget?" Suara Niki yang terdengar khawatir membuatnya kian gelisah. Annalise tidak tahu apakah dia harus memberi tahu kedua teman barunya perihal rencananya untuk membolos pelajaran. Dia ingin sekali menjemput Mama, yang semalam menelepon untuk memberikan kabar baik mengenai kepulangannya ke Jakarta. Semangat Annalise melambung jika mengingat Mama sepertinya sengaja memilih hari ulang tahunnya sebagai hari kepulangan, apalagi sudah hampir dua bulan dia tidak bertemu Mama. "Ada hal penting yang harus kamu lakukan?" Pertanyaan Nata yang tepat sasaran membuatnya terhenyak. Cowok itu berdiri dengan sebelah tangan dalam saku, memandangnya dengan serius. Entah mengapa Annalise
merasa tenang, mengetahui dengan jelas apa yang ingin dan akan dilakukannya. Sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari bibirnya, mengejutkan dirinya sendiri. "Ya. Kalian mau ikut?" *** Mereka bertiga duduk di sebaris bangku kayu di tengah bandara yang dingin, masing-masing menggenggam gelas minuman plastik yang sudah separuh kosong. Sudah tiga jam mereka duduk di sana, tapi yang ditunggu belum juga keluar. "Pesawatnya terlambat, kali." Niki berusaha beralasan ketika melihat muram di wajah Annalise. "Atau mungkin dibatalkan." "Nggak mungkin, Ki." Annalise menunjuk layar besar yang menunjukkan jadwal penerbangan hari itu. "Pesawat dari Paris udah mendarat dari tadi." "Mungkin bukan pesawat yang itu." Nata, yang mulai merasa iba ikut nimbrung. "Gimana kalau kita tanya petugasnya?" Mereka mengelilingi seorang petugas yang tampak kebingungan menjawab pertanyaan mereka. Akhirnya, mereka kembali duduk dengan kecewa. "Kita tunggu sebentar lagi, ya." Niki mencoba menghibur Annalise, lalu cekikikan sendiri. "Kira-kira, bakal gimana ya di kelas? Untung kita bolos pas pelajaran Kimia. Aku paling nggak bisa menghitung rumus-rumusnya yang ngejelimet." Annalise mau tidak mau tersenyum, merasa terhibur oleh kehadiran Nata dan Niki. "Maaf ya, kalian jadi ikut membolos...."
Ekspresi Niki berubah serius. Perlahan, digenggamnya tangan Annalise. "Ann, apa pun yang terjadi, cerita, dong, sama kita. Baik susah maupun senang, kabur dari sekolah atau belajar bareng, libatkan kita, ya. Kita kan sahabat." Dari sudut matanya, Annalise melihat anggukan samar Nata. Sahabat. Kata itu begitu asing baginya, sesuatu yang lebih intim dari kata teman yang biasa digunakan, tapi dia merasa sahabat adalah kata yang tepat untuk menjelaskan hubungan mereka bertiga. "Selama ini Niki khawatir," timpal Nata, "Dikiranya kamu nggak mau temenan sama kami." "Sebenernya kamu juga khawatir, kan, Nat?" sahut Niki tak mau kalah. Mereka tertawa. Annalise menggigit bibir dengan rasa bersalah. "Maaf ya, aku nggak pernah sadar kalian ngerasa begitu. Sejak dulu, aku nggak punya banyak teman. Bisa dibilang, kalian adalah sahabat pertamaku." Tiba-tiba, telepon genggamnya berdering. Suara Tante Nadja, adik Mama yang tinggal bersamanya sejak kepulangan mereka ke Jakarta, terdengar lebih khawatir daripada marah. "Anna, kamu di mana? Pak Saryo bilang kamu nggak ada di sekolah." Annalise menepuk dahi, menyadari kelalaiannya tidak mengabari sopir yang selalu menjemputnya sepulang sekolah. "Maaf Tante, aku lupa telepon. Aku lagi di air port, mau jemput Mama. Tapi, sampai sekarang masih belum keluar." Tante Nadja seperti terhenyak di ujung sambungan telepon. Suaranya melembut ketika kembali bicara. "Anna, barusan mamamu mengabari, katanya nggak jadi pulang hari ini karena mau ke Milan dulu sampai bulan depan." Annalise merasa kebas seketika. "Mama... ada nitip pesan?"
Keraguan tantenya untuk menjawab pertanyaan itu membuatnya yakin bahwa Mama sama sekali tidak ingat pada dirinya. Dengan lemas, ia menutup telepon. "Kenapa?" Niki, yang duduk di sebelahnya segera menoleh untuk melihat reaksinya. "Mama nggak jadi pulang," jawab Annalise. Seperti orang bodoh saja, menunggu berjam-jam lamanya untuk seseorang yang tidak akan datang. Seharusnya, dia tidak terlalu terkejut, karena sudah beberapa kali Mama membatalkan janji sebelumnya. Annalise mencoba meyakinkan Niki dan Nata bahwa dia baik-baik saja, tapi dia tidak mampu memaksakan senyum. Tanpa terasa, pandangannya memburam, dan ia menutupi wajah dengan kedua telapak tangan sambil terisak pelan. Secara otomatis, Niki mengusap-usap punggungnya yang bergetar oleh tangis. Nata juga terdiam, Annalise merasakan tangannya yang besar ikut menepuk pundaknya. "Maaf...." Annalise berkata tersendat sambil berusaha menghapus air mata, tidak mampu mengungkapkan Saracewaannya dengan kata-kata. Tatapan Nata dan Niki tidak menyiratkan rasa kasihan, tetapi rasa sedih... seakan mereka juga merasakannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Niki mendekat untuk memeluk Annalise, menopang sebagian rasa sakit yang dirasakannya. Mereka bertiga duduk berpelukan di tengah bandara, berusaha mengisi kekosongan hati satu sama lain. *** Pak Marwan, sang guru Kimia, berdiri di depan papan tulis dengan raut tidak senang. Tongkat yang sering digunakannya untuk menunjuk rumus diayun ke kiri dan kanan, kacamatanya yang jadul melorot ke hidung. Matanya menyipit penuh konsentrasi, memandang tiga murid nakal yang kemarin membolos mata pelajarannya.
Nata, Niki, dan Annalise berdiri dengan muka ditekuk, tidak berani memandang langsung ke arah Pak Marwan. Namun, begitu beliau berbalik, mereka saling menyikut sambil menyembunyikan tawa. "Apa alasan kalian membolos?" Pernyataan itu diucapkan sebagai pertanyaan. Mereka bertiga kembali memasang ekspresi bersalah, tetapi tidak ada yang menjawab. Baik Nata maupun Niki bungkam. "Kenapa tidak ada yang menjawab? Apa pelajaran saya begitu membosankan hingga kalian semua memilih untuk bolos?" Pak Marwan menepukkan tongkatnya ke telapak tangan, lalu kembali bertanya, "Atau kalian merasa sudah pintar dan tidak perlu ikut kelas ini lagi?" Niki menunduk dan menyilangkan tangan di balik tubuh, berharap mereka tidak dihukum berat. Semalam, dia dan Nata sudah diomeli orang rumah karena pulang malam tanpa mengabari, belum lagi masalah membolos yang ketahuan karena pihak sekolah menelepon orangtua mereka. Ia memberanikan diri mengangkat muka, memasang ekspresi polos. "Maaf, Pak, kami nggak akan membolos lagi." "Iya, Pak." Nata dan Annalise membeo. "Kalian masih tidak mau mengatakan alasan membolos kemarin?" Niki, Nata, dan Annalise bertukar pandang. "Kami nggak merokok, main-main ke game centre, atau melakukan hal-hal yang nggak seharusnya, kok, Pak," Nata berusaha bernegosiasi. "Iya, Pak, kami nggak bohong," tambah Niki. "Swear."
Mata Pak Marwan membulat mendengarnya. Sebelum sang guru tambah mengamuk, Annalise buru-buru menyambung, "Kemarin mereka membolos gara-gara saya, Pak. Saya yang mengajak." Ketika mendengar pembelaan itu, Nata dan Niki segera menyambar, "Bukan, Pak. Kami suka rela kok. Kami yang salah." Pak Marwan menghela napas berat, lalu menggeleng kesal. Tampaknya, tidak ada yang mau mengungkapkan alasan yang sesungguhnya. Walaupun begitu, ia percaya pada ketiga muridnya—Nata dan Annalise selalu mempertahankan nilai baik, sedangkan Niki belajar keras untuk tidak mendapat nilai di bawah angka enam. "Ya sudah. Supaya kalian kapok, saya akan memberikan hukuman berat." Niki memejamkan mata, berharap dia tidak usah disuruh melakukan hal-hal konyol seperti membersihkan WC, membawa papan bertuliskan 'saya tidak akan bolos lagi', atau lari keliling lapangan seperti hukuman yang biasa diberikan guru-guru kepada murid yang nakal. "Kalian harus mencuci bus sekolah yang ada di parkiran. Sampai bersih," ujar Pak Marwan akhirnya. Niki membelalakan mata. "Hanya itu, Pak?" tanyanya lugu. "Ya. Asal kalian janji tidak akan membolos lagi, apalagi saat jam pelajaran saya." Pak Marwan tersenyum tipis sebelum mengeluarkan mereka dari ruang kerjanya. Gini-gini, saya kan juga pernah muda, beliau lantas menambahkan dalam hati. ***
Dengan lengan kemejanya, Niki mengusap keringat yang mengucur. Nata dan Annalise juga bersimbah peluh sambil terus mencuci bus sekolah yang setiap hari digunakan untuk mengantar-jemput murid-murid SMU Harapan. Bus bercat kuning, kotor dengan ban berlumpur dan bagian dalam yang penuh bekas makanan. "Gila ya, jorok banget nih, bus. Nggak tau anak-anak buang apa aja di dalamnya." Niki mengerutkan kening dengan jijik saat menemukan sebentuk permen karet bekas di tepi jendela. "Jangan leha-leha, udah mau gelap, nih," gerutu Nata sambil terus menyorokkan kain untuk membersihkan kaca depan. Lahan parkiran sudah kosong dan hampir semua murid sudah pulang, sedangkan mereka masih belum menyelesaikan hukuman. Niki menghela napas, tidak berhenti mengeluh sembari melakukan tugasnya. Sekarang, dia tahu mengapa Pak Marwan memilih tugas ini sebagai hukuman. Tadinya, dia mengira hukuman ini akan lebih ringan dari mencuci kloset atau lari keliling lapangan, tapi ternyata mencuci bus adalah pekerjaan yang memakan waktu dan tenaga. Tahu begini, tadi dia akan mencoba bernegosiasi dulu dengan Pak Marwan. "Udah untung nggak dimarahi lebih lama," celetuk Nata, seakan bisa membaca pikirannya. Niki menjulurkan lidah. "Mendingan diomelin berjam-jam, deh, daripada harus banting tulang kayak gini. Yang menikmati juga bukan kita, tapi anak-anak yang pulang pergi naik bus ini." Annalise bergerak ke sampingnya untuk membantu. Tiba-tiba, ia berhenti, lalu memandang Niki sejenak dan tertawa kecil. Nata pun ikut menatapnya dan entah mengapa tersenyum lebar. "Ada apa, sih?" Niki mengusap wajahnya dengan bingung. Hal itu hanya membuat kedua temannya tertawa lebih keras. Penasaran, ia berjalan menuju kaca spion dan memperhatikan refleksi wajahnya sendiri yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat letih dan kusam, berdebu, dan penuh keringat. Tanpa disadarinya, riasan mata tipis yang tadi dikenakannya bagaikan lumer dan mengaliri sisi-sisi wajahnya seperti dua riak sungai. Tatanan yang tadi pagi terlihat cantik kini berantakan.
Biasanya, Niki akan langsung panik dan buru-buru membersihkan wajahnya, tapi ketika menyadari keadaannya sekarang—basah kuyup dengan peluh, lelah dan kotor, ia justru mengejutkan dirinya sendiri dengan tertawa. Nata menyemprotkan percikan air dari selang untuk menggodanya, dan Niki berteriak kecil. Dia segera melupakan riasannya yang hancur untuk membalas Nata, dan menarik Annalise bersamanya. Mereka bertiga masing-masing memegang lap, saling mengejar, saling membantu, saling bercanda hingga yang terdengar di parkiran itu hanya tawa. *** Nata menetap ban sepedanya yang kempes dengan kecewa. Sepeda itu tadi pagi masih terparkir rapi di bagian belakang sekolah, tapi sekarang roda di depannya telah rusak tak berbentuk. "Ini, sih, kena paku," komentar Niki. Sebuah paku yang lumayan besar memang mencuat keluar dari salah satu bagian roda yang tak begitu kelihatan. "Kita pulang jalan kaki aja, deh." "Aku antar,yuk." Tiba-tiba, Annalise menawarkan dengan sedikit malu-malu, menunjuk Pak Saryo yang telah menunggu di depan gerbang. "Beneran?" Niki langsung ceria mendengar prospek akan diantar pulang dengan mobil Jaguar hitam yang beberapa minggu ini jadi objek kekaguman seluruh sekolah. "Iya. Kalau kalian mau, kita bisa mampir di rumahku juga." Niki bersorak gembira, dan Nata menyikutnya sambil tersenyum. "Niki, sih, kayak kejatuhan durian runtuh."
"Hehehe." Yang disindir tersenyum lebar, lalu menggamit tangan Nata dengan lengan kiri dan tangan Annalise dengan tangan kanan. "Yuk, jalan." Seperti prediksi Nata, Niki girang bukan main saat menginjakkan kaki di karpet rumah selebritas. Dia tidak henti-hentinya berkomentar mengenai ini-itu, mulai dari pajangan antik koleksi keluarga Annalise, sampai foto-foto Vidia Rossa yang memenuhi dinding. Annalise tersenyum sendiri melihat Niki yang ekspresif, sedangkan Nata hanya mendengus, tapi terlihat sama kagumnya. Selama tinggal di sini, rumah Annalise belum pernah kedatangan tamu. Rumah ini lebih sering kosong daripada berpenghuni, dan seandainya ada pun, dia pasti hanya sendirian bersama tantenya dan beberapa orang pembantu. "Boleh lihat kamar kamu, nggak?" Annalise terperanjat, sedikit ragu untuk menjawab. Dia tidak terbiasa mengundang orang masuk ke kamarnya, tapi tidak tega melihat raut Niki yang begitu antusias. Ketika menginjakkan kaki di atas karpet biru yang melapisi kamar Annalise, Nata tampak yakin bahwa seumur hidupnya, dia belum pernah melihat kamar semewah itu. Dinding kamar tersebut dicat biru muda, dihiasi beberapa lukisan dan foto dalam bingkai kaca yang terlihat eksklusif. Sebuah ranjang double bed megah dengan seprai satin terletak di satu sisi. Meja belajar lengkap dengan rak buku yang memuat karya-karya sastra favorit Annalise terletak tidak jauh dari built-in dressing room dengan pakaian cantik yang tergantung rapi. Lantainya terbuat dari marmer dan jendelanya besar dengan tirai bermodel Victorian, menutupi sebuah balkon luas yang menghadap ke arah kolam renang. Sudah bisa ditebak, desain kamar Annalise, seperti ruangan lain di rumah ini, adalah rancangan desainer inteNatar yang sudah berpengalaman dan punya taste yang tidak biasa. Di sudut kamarnya, ada sebuah papan khusus tempat Annalise menempelkan foto-foto hasil jepretannya. Nata sedang membungkuk di hadapannya, mengamati lembaran polaroid hitam putih yang ditempel dengan paku payung. "Ini bagus," katanya, menunjuk selembar foto. Objek foto itu adalah Vidia Rossa. Foto itu diambil Annalise diam-diam ketika mamanya sedang melukis di patio. Jika sedang
senggang, Mama hobi sekali melukis. Ekspresi Mama saat menggambar selalu istimewa—kombinasi antara emosi damai dan dreamy sehingga Annalise tergoda ingin menangkapnya dengan lensa. Saat itu, Mama tidak sadar sedang dijadikan objek foto, sehingga hasilnya sangat berbeda dari foto-foto modelling Mama. "Ini Mama kamu, kan?" Niki menarik lembaran itu dari tangan Nata. Annalise tidak pernah menunjukkan hasil fotonya kepada siapa pun, kecuali orang tuanya dan Tante Nadja. Sudah bertahun-tahun sejak Mama dan Papa bertanya mengenai karyanya yang terbaru sehingga Annalise lebih senang menyimpannya dalam sebuah album di bawah tempat tidurnya. Dia jadi canggung saat mendengar Nata dan Niki mengomentari fotonya seperti itu. "Sudahlah, jangan asal sentuh barang orang." Nata mengambil kembali foto itu dan menempelkannya di tempat semula. "Maaf, ya." "Nggak apa-apa, kok." "Serius, Ann, kamar kamu keren banget," puji Niki, matanya berbinar saat melangkah ke arah balkon dan merasakan sepoi angin. "Coba aku punya rumah sebagus ini. Rumah kamu jauh lebih keren dari rumah-rumah selebritas yang biasa kutonton di MTV." Annalise ikut tersenyum. Niki pasti tidak tahu betapa sepinya berada di rumah sebesar ini sendirian, membuat rumah ini terasa lebih besar dari sebenarnya. "Kamarku sempit, nggak ada setengahnya dari kamar kamu," sambung Niki, masih dengan nada riang. "Waktu kecil, aku dan adikku Acha berbagi, tapi untungnya sekarang kami punya kamar sendiri-sendiri. Di sini, pasti menyenangkan, ya, luas sekali! Ada kolam renang, gym pribadi... itu tempat apa?" Annalise ikut melongok untuk melihat pojokan teduh yang ditunjuk Niki. "Itu patio tempat Mama melukis." Tanpa kehadiran Mama, tempat itu terlihat sepi, tidak terpakai.
"Mama kamu masih belum pulang, ya?" Niki bertanya dengan suara pelan, seolah takut menyakiti perasaannya. Annalise menggeleng. "Mama memang jarang pulang. Sibuk dengan jadwal fashion show yang padat,belum lagi ngurusin butiknya yang baru. Aku sih, udah terbiasa kalau Mama pergi berbulan-bulan lamanya, kadang hanya kembali beberapa hari, terus langsung pergi lagi." Sebenarnya, Annalise sedikit berbohong. Dia tidak pernah benar-benar terbiasa dengan kepergian Mama. Setiap kali Mama pergi untuk jangka waktu lama dan tidak menghubunginya, Annalise merasa sedih. Setiap kali melihat sepasang anak dan ibu yang sedang bercengkerama, dia membenci Mama karena dia tidak bisa memiliki hal yang sama. Tapi, rasa benci itu pupus tergantikan oleh rasa rindu, dan Annalise hanya ingin Mama pulang. "Jadi, kamu hanya sendirian di sini? Gimana dengan..." Kalimat itu tidak terselesaikan oleh Niki, yang kini terlihat serbasalah. Annalise mengulas senyum, mengerti siapa yang dimaksud oleh Niki. Dia tidak pernah sekali pun berbicara mengenai keluarganya kepada orang lain, tapi kini rasanya Nata dan Niki bisa menjadi pengecualian. "Orangtuaku bercerai waktu aku masih kecil. Sekarang, Papa udah menikah lagi dan tinggal di Bali." Perceraian lima tahun yang lalu itu ditutupi sedemikian rupa hingga tidak terendus media. Mama tidak ingin privasinya terganggu sehingga lebih memilih membohongi publik walau pada akhirnya dilanda gosip yang lebih besar karenanya. Annalise tahu betapa besar perceraian itu melukai Mama, sampai kadang melupakan bahwa Annalise juga terluka oleh perpisahan orangtuanya. Lalu, dia baru menyadari kalau Niki dan Nata tidak lagi berbicara sehingga Annalise tertawa. "Kok, kalian jadi diam begitu, sih?" Tanpa diduga, Niki maju untuk memeluknya erat-erat. Dengan sungguh-sungguh, Niki berkata kepadanya, "Kalau kamu kesepian, masih ada aku dan Nata. Kamu nggak sendirian."
"Iya, nggak perlu sungkan-sungkan," tambah Nata. Annalise mengangguk dengan haru, tidak menyangka mereka akan bereaksi begitu. "Thanks, ya." Mereka beranjak ke dapur untuk membuat snack, dengan Niki yang bercerita ringan tentang apa saja dan Nata sesekali menimpali. Langkah-langkah kaki mereka bertiga memenuhi seluruh ruangan, dan untuk pertama kalinya Annalise merasakan suasanya yang hangat di rumah ini. Kali ini, yang menggema juga bukan sepi, tapi tawa. *** SEKOLAH KECIL NIKI DAN NATA Hari ini, sepulang sekolah, Annalise mendapat undangan dari Niki untuk mampir di rumahnya. "Hari Selasa itu hari mengajar," ujar Niki dengan lagak penting. "Mau liat Nata ngajarin anak-anak kecil yang bandel, kan? Pengalaman langka, lho." Nata dengan cuek terus mendorong sepedanya keluar gerbang sekolah, melengos mendengar kalimat Niki. Tapi, dia sempat berbalik dan berkata pada Annalise, "Datang aja. Jarang-jarang bisa liat Niki dikerjain sama anak kacil." Niki cengengesan, lalu menarik lengan Annalise sebelum dia mampu berkelit. Mereka bertiga berjalan pulang ke arah rumah Niki yang tidak terlalu jauh dari sekolah.
Kawasan perumahan tempat mereka tinggal terlihat asri dan terawat. Rumah Niki hanya berjarak beberapa meter dari rumah Nata, mungil dan sederhana, bercat kuning gading dengan pekarangan yang tidak terlalu lebar, tetapi dipenuhi oleh tanaman berbagai rupa dan bunga warna-warni. Garasinya dibiarkan terbuka dengan barisan kursi-kursi plastik yang disusun rapi. Sekitar dua puluh anak antara usia lima sampai dua belas tahun memenuhi ruangan tersebut, memandang seksama ke arah papan tulis putih yang digantung di dinding. Pakaian mereka tidak bisa disebut layak, sedangkan kulit mereka gelap dan kotor. Wajah mereka terdapat ekspresi keras layaknya orang-orang yang sudah terbiasa menghuni jalanan, tetapi dalam pandangan mereka terpancar kepolosan dan tawa. Ketika Niki masuk, anak-anak kecil itu langsung beranjak untuk mengerubunginya. Annalise berdiri dengan tidak nyaman di depan garasi,tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. "Mama Niki membuka sekolah khusus untuk anak-anak yang kurang mampu," Nata, yang berdiri di sebelahnya, menjelaskan dengan suara pelan. "Keluargaa anak-anak ini nggak mampu membayar biaya sekolah, jadi mereka bisa belajar gratis di sini setiap minggu." "Kamu juga membantu di sini?" Annalise memandang dengan takjub ketika anak-anak kecil itu dengan riang berbalik menghampiri mereka dan menarik-narik celana panjang Nata. "Kak Nata, hari ini kita nyanyi lagu apa?" Mereka ribut berteriak-teriak, membuat Annalise terdorong ke belakang. "Hari ini, kita ada guru baru," Nata berkata dengan sabar pada mereka. Annalise belum pernah melihat ekspresi lembut yang kini ada di wajah Nata. "Kakak siapa?" Salah satu dari mereka, seorang gadis kecil berambut pendek yang kasar karena terbakar matahari, mendongak untuk memandang Annalise. Annalise tersenyum kaku, lalu berjongkok sehingga pandangan mereka setara. "Namaku Annalise," dia berkata.
"Kakak bule, ya?" Anak laki-laki yang tampak bengal dengan kepala botak, ikut nimbrung. Annalise tidak tahu bagaimana harus menjawab dengan diplomatis. "Emmm, bisa dibilang begitu." Tanpa memedulikan jawaban Annalise, anak-anak itu malahan berteriak ramai. "Horeee! Kita punya guru bule!" "Kamu bisa jadi guru bahasa Inggris," kata Niki padanya, lalu kembali sibuk meladeni murid-muridnya yang ribut sendiri. Ia memegang sebuah buku matematika, bersiap-siap untuk mengajarkan perkalian pada sekelompok anak. Mama Niki tampak sedang menjelaskan kalimat dalam bahasa Indonesia melalui tulisan di papan. Adik perempuan Niki, Acha, sedang mengajari beberapa anak untuk membaca dari sebuah buku dongeng yang sudah usang. Hati Annalise menghangat melihat mereka semua, lalu ikut duduk di salah satu bangku pendek untuk membantu. Awalnya, senyum-senyum ceria anak-anak ini membuatnya ingin menangis. Tapi, sekarang, dia justru tersenyum bersama mereka. Dia mengamati Nata yang sedang duduk di pojokan dengan gitarnya, anak-anak yang mengelilinginya bernyanyi mengikuti nada. Seakan merasakan Annalise sedang memperhatikannya, Nata mengangkat wajah dan membalas senyumnya. *** POMPOM UNTUK NATA Wish #7: Niki hadir di sini (Nata) Nata memandang sekeliling dengan ragu. Tangannya yang erat menggenggam gitar mulai berkeringat karena gugup melihat orang-orang sudah berkumpul di arena podium.
Acara 17 Agustus sekolah tahun ini mengusung tema 'persatuan', yang berarti berbagai grup ekskul akan menampilkan acara. Tim basket unggulan sekolah mereka sedang berlaga di lapangan melawan tim dari SMU lain, grup ekskul seni bergabung dengan murid-murid kelas fotografi untuk membuat sebuah galeri mini di ruang-ruang kelas yang kosong, grup drama mengadakan pentas teater, dan masih banyak lagi. Tahun ini, kebetulan Nata yang didaulat untuk memeriahkan acara dengan pertunjukan musik solo di atas panggung walaupun dia menolak mentah-mentah lantaran benci harus tampil di depan khalayak umum. "Ayolah, Nat," waktu itu Niki yang merengek memaksanya setuju, "terima aja tawaran itu, kesempatan bagus lho." "Gue gak siap." Nata menggeleng dengan alasan stadarnya. Sebenarnya, Nata sudah punya ancang-ancang beberapa lagu ciptaannya, dan dia bukannya kurang latihan. Hanya saja ada satu hal yang ditakutkannya. "Kamu demam panggung, ya?" Niki menebak jitu dengan raut jenaka. Sejak kecil, Nata tergagap-gagap jika harus tampil di depan umum. Dia paling benci pidato dan public speaking saat dia harus menatap kerumunan orang yang sedang memperhatikannya. Ditembak begitu, Nata agak gelagapan. Niki tersenyum maklum dan mendorong gitar kembali ke pangkuan Nata. "Kamu pernah bilang mau jadi pemusik profesional, kan? Lagu-lagu kamu bagus tau. Kamu nggak bisa selamanya sembunyi begitu. Siapa tahu di sana kebetulan ada pencarian bakat yang lagi nyari idola baru. Kamu harus bisa ngatasin ketakutan itu." Nata termenung, sedikit kaget melihat betapa dewasanya gadis di hadapannya sekarang. Niki tertawa lebar, merasa sudah meyakinkan sahabatnya. "Kenapa, kamu kaget ya denger aku ngomong kayak gitu?" Mendengar omongan Niki, Nata malah ingin merangkulnya, tapi tentu saja (dan untung saja) tidak dilakukannya. "Kamu bakal datang kan? Nonton solo gue." "Ya, pastilah. Pukul berapa?"
"Jadwalnya, sih, sekitar pukul sepuluh." Raut Niki berubah, penuh rasa bersalah. "Yaah. Kayaknya nggak bisa Nat, aku harus cheer untuk tim basket. Pertandingannya mulai pukul sembilan." Nata ikut merengut. "Kalo gitu, gue nggak mau tampil." Walaupun terdengar kekanakan, Nata tetap bersikukuh. "Cuma gara-gara gak ada dukungan moral? Nat, kamu harus naik panggung itu! Nyanyiin lagu kamu! Tunjukin sama semua orang kalo kamu mampu." Niki mengguncang sedikit bahunya, mulai memaksa lagi. "Buat apa?" Toh, Nata tidak pernah peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya. "Selain untuk ngeramein acara sekolah, tentunya kamu juga nggak mau ketahuan demam panggung kalau harus nyanyi di depan umum, kan?" Niki dengan kesal berusaha memberi alasan. "Ayolah, demi aku. Ya, Nata, ya?" "Kenapa, sih, malah kamu yang ribet?" Niki meletakkan kedua tangan di bahu Nata, dengan serius berkata sambil menatapnya dalam-dalam. "Karena kamu bisa, Nat. Aku tau kamu bisa." Jadilah Nata menyanggupinya begitu saja. Sekarang, dia jadi menyesal, tapi sudah terlambat karena acara sudah mau di mulai. "Nat, giliran lo lima menit lagi." Septian menepuk bahunya sesaat sebelum menghilang di balik tirai panggung. Lima orang anggota band sekolah yang sedang memainkan lagu The Click Five hampir menyelesaikan encore mereka yang kedua. Kerumunan murid-murid sudah ramai memenuhi kursi penonton. Nata melayangkan pandangan sekali lagi, mencari-cari sebuah sosok yang diharapkan ada. Tapi, yang dilihatnya hanya
Annalise, yang melambai sekilas dengan Nikon tergantung di lehernya dan beberapa teman sekelas lain yang ikut menyanyikan lirik lagu. Duh, kenapa, sih, lo harus maksa gue ikut sedangkan lo sendiri gak ada di sini? Nata mengumpat, merasakan adrenalin dan keringat mengucur di belakang lehernya. Penontonnya banyak banget lagi dan sudah ada tanda-tanda penutupan lagu. "Sekarang, mari kita sambut MaNata Stevano, salah satu gitaris solo kita!" Tiba-tiba saja namanya disebut, diikuti dengan sorakan riuh-rendah para penonton yang sebagian besar adalah perempuan. Nata ingin muntah. Dia ingin kabur. Tapi, Septian sudah menepuk punggungnya dan menggiringnya ke panggung. Nata duduk di sebuah kursi yang dipasang di belakang mikrofon, kepalanya tertunduk. "Duh, mati deh gue," bisiknya sebelum mulai. Jari-jarinya lemas dan basah dengan keringat dingin. Ki, lo di mana? *** Wish #7: keberanian untuk Nata (Niki) Niki mengacungkan pompomnya sambil meneriakkan Liv-Liv terakhir, dan merasakan adrenalin mengaliri darahnya, memompa jantungnya dan membuatnya tersenyum lebar. Tim basket putra sekolah mereka baru saja menyelesaikan permainan, dengan skor enam poin di atas skor lawan. Tim lawan tadinya membantai habis-habisan tim SMU Harapan, tapi permainan mereka agak menurun di sesi kedua sehingga tim sekolah Niki dengan mudah mengejar skor. Permainan diakhiri dengan satu lemparan mulus dari tim lawan, yang sayangnya memantul di ring dan tidak jadi masuk.
Inilah yang disukai Niki dari cheerleading. Dia bisa menjadi pendukung, penggembira dan pemanis sekaligus. Tanpa kehadiran mereka, tim-tim basket pastinya akan ngoyo dan tidak bersemangat, begitu juga dengan penonton yang senang melihat gaya para gadis cantik di sisi lapangan. Seandainya permainan anggota tim buruk, para cheerleaders-lah yang menyoraki dan memberi dukungan moril, sedangkan jika mereka menang cheerleaders juga yang meningkatkan atmosfir kemenangan. Niki suka menjadi bagian dari sesuatu sepenting ini. Jam karet di lengannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Nata sudah mau naik panggung. Padahal, tadi dikiranya pertandingan basket akan selesai sebelum pukul sepuluh,tapi dengan salah satu anggota tim lawan yang sempat cedera, break yang diambil jadi lebih lama. Dengan panik, Niki minggat dari tepi lapangan dn berlari menuju aula, tempat sebuah panggung besar telah disiapkan dengan speaker dan dekorasi megah. Panggilan Helena yang memintanya tinggal tidak dihiraukannya. "Nata, Nata...." Niki menggumam sambil terus berlari, menyeruak di antara kerumunan murid-murid berbaju bebas yang memadati sekolah. Tenaganya rasanya terkuras habis, badannya bersimbah keringat dan rambutnya bau matahari hasil kelamaan terpanggang di lapangan. Duh. Nata pasti kecewa kalau aku nggak datang, hanya itu yang terpikir oleh Niki sepanjang permainan basket berlangsung. Padahal, Niki yang sibuk menceramahinya supaya mau naik panggung. Padahal, Nata sudah berusaha sebisa mungkin mengatasi fobianya tampil di depan umum. Padahal, Nata sudah berlatih berminggu-minggu lamanya untuk lagu-lagunya. Padahal, Nata melakukannya demi Niki. Samar-samar, Niki melihat Nata berjalan memasuki panggung, dan ia menyelinap masuk, berjingkat ke kursi penonton paling depan. Sekilas, dilihatnya wajah Nata,
kebingungan, gugup, dan kelihatan kelabu seperti sedang sakit, tidak juga menyadari bahwa Niki ada di antara kerumunan. Aduh, Niki cemas setengah mati, takut Nata akan lari keluar sewaktu-waktu atau menyanyi sumbang saking gugupnya. Tiba-tiba, Niki mendapat ide brilian. Jika tim basketnya membutuhkan dukungan dan semangat, kenapa Nata tidak? Nata kan juga atlet--di bidang musik. Dia pantas mendapat penghargaan atas usahanya dan Liv-Liv yang sama kencangnya dengan mereka yang menggiring bola di lapangan. Sambil menarik napas dan meneguhkan tekadnya, Niki mengacungkan pompom merahnya sekali lagi, tinggi-tinggi di udara. Sebagian penonton mengalihkan perhatian ke arahnya, membuat Nata ikut menengok juga. Sekarang saatnya. Dengan suara lantang, Niki meneriakkan kata-katanya satu per satu. "R! I! O! Nata!" Mukanya merah karena jengah, apalagi dia satu-satunya gadis pemandu sorak di sana yang masih lengkap berseragam merah putih. Rambutnya diikat tinggi-tinggi di atas kepala, ditutupi headband merah, tangannya menggerakan pompom dengan semangat. Belum lagi gerakan melompatnya yang heboh, menyerukan nama Nata seperti yang biasa dilakukannya untuk anggota tim basket di lapangan. Dia pasti terlihat aneh. Bodo amat, karena yang paling penting adalah menyemangati Natam "Gitaris paling oke! Nata, maju terus!" Pada awalnya, penonton hanya tergelak melihat aksinya, tapi lama-kelamaan mereka ikut menyebutkan namanya. "Nata! Nata! Nata!" Nama itu bergema di seluruh ruangan, seperti sebuah mantra yang harus diucapkan. Nata melongo di tengah panggung, untuk sesaat begitu kaget sampai tidak bisa bicara. Ditatapnya Niki yang masih sibuk melagakan gerakannya yang radikal dan berlebihan. Wajahnya yang tadi pucat karena nervous berubah merah karena malu. Malu setengah mati jadi objek di tengah panggung dengan seluruh isinya meneriakkan namanya.
"Nata! Nata! Nata!" Dan, ketika seruan itu mulai surut, Niki menatap Nata dengan pandangan paling menggemaskan yang pernah Nata lihat. Kedua mata gadis itu berbinar, pipinya bersemu karena lelah, dan senyumnya lebar, seakan ingin mengatakan, "Aku percaya, Nata. Kamu pasti bisa." Mau tak mau, Nata tersenyum. Ada rasa tenang yang menyelimutinya ketika dia mulai memetik senar gitar dan melantunkan liriknya untuk melengkapi nada. Kalau tadi gak ada lo, Ki... Bahkan, Nata tidak berani membayangkan bagaimana penampilannya nanti seandainya sahabatnya itu tidak ada di sini. Jadi, kali ini, dia akan melakukannya untuk Niki, seperti yang sudah dijanjikannya. *** OLIVER Wish #9: mengenal gadis mungil berpompom merah (Oliver) Oliver berjinjit sebisanya, mencoba mencari sekelibat dodok gadis berkuncir satu yang barusan mengundang tepuk tangan spektakuler karena aksi cheers-nya di samping panggung. Ia pertama kali melihatnya tadi pagi di barisan para cheerleaders tim SMU Harapan yang menjadi lawannya di pertandingan basket kali ini. Entah mengapa, ada sesuatu mengenai gadis itu yang mengusik perhatiannya.
Oliver ingin mengajaknya kenalan setelah pertandingan selesai, walau harus menelan rasa malu karena timnya kalah. Namun, gadis itu sudah keburu pergi. Hampir saja ia kehilangan jejak, tapi Oliver berhasil diam-diam mengikuti gadis itu sampai aula. “Hai.” Gadis itu melongok bingung. “Yang tadi di lapangan basket.” Oliver mencoba mengingatkan, mengangkay sedikit jersey basketnya. Angka 7—Oliver Stevent. Untungnya gadis itu ingat. “Oh, iya. Kamu kapten tim basket SMU Pelita, kan?” “iya. Aku Oliver.” Dijulurkannya sebelah tangan, yang disambut dengan satu jabatan ringan. “Niki.” Sang gadis menyebutkan nama. Jadi namanya Niki—dilihat daari dekat ternyata lebih manis lagi. Niki tersenyum dan bertanya basa-basi, “Kamu mau nonton pensi juga?” Oliver menggeleng cepat. “Ah, bukan. Aku sengaja ngikutin kamu ke sini.” “Oh ya?” Niki tampak bingung lagi. “Ada apa?” “Mau ngajak kenalan.” Dengan satu kalimat itu, wajah Niki bersemu merah. Melihat lawan bicaranya salah tingkah dan tidak berkomentar apa-apa, Oliver jadi tersenyum sendiri. Langsung ke titik pembicaraan adalah salah satu taktik kenalan yang selalu berhasil.
“Sekolah kamu bagus,” pujinya, berusaha menetralkan suasana. Niki mengangguk canggung, berusaha menguasai diri. “Iya, tim basketnya oke banget,” selorohnya asal. Oliver tertawa, menyadari bahwa dia sedang disindir tentang kekalahannya hari ini. “Lain kali, pasti tim basket sekolah kami yang menang,” sahutnya. “Coba aja kalau bisa.” Niki ikut tersenyum, bahasa tubuhnya kini lebih rileks. “Kita lihat tahun depan,” balas Oliver. Mereka berdua terdiam, saling berhadapan dengan senyum bodoh di wajah masing-masing. Sebelum terlambat, Oliver segera mengungkapkan maksudnya, “Aku bisa ketemu kamu lagi? Boleh minta nomor telepon?” Niki tidak menjawab, semburat merah di wajahnya kembali lagi. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya, ternyata pemuda yang tadi membawakan permainan solo gitar di atas panggung. “Yuk, cabut,” kata cowok itu. Niki mengangguk sekilas. Sebelum pergi, dia tersenyum pada Oliver. “Oke, kalau kita ketemu lagi.” Diberikannya lambaian selamat tinggal, lalu berbalik dan menghilang di antara kerumunan. Oliver terpaku, kata-kata itu terngiang di kepalanya. ***
“Siapa, tuh?” Nata menggamit lengan Niki, menariknya ke kantin untuk membeli sebotol minuman dingin. Lagu-lagu itu berhasil dibawakannya, dengan baik—thanks to Niki—dan anehnya, dia tidak merasa gugup lagi. Setelah beberapa detik pertama, Nata seperti tersedot masuk ke dunianya sendiri, melupakan orang-orang yang ada di ruangan itu dan hanya bisa mendengar suaranya sendiri bergabung dengan tangga nada. Ketika mendengar tepuk tengan yang bergemuruh, rasanya seperti baru menaklukan dunia, padahal yang ditaklukannya hanya panggung dan dirinya sendiri. “Kapten tim basket SMU Pelita,” jawab Niki sambil meneguk air putih dinginnya cepat-cepat, lalu mengipasi diri dengan selembar kertas. “Tadi tim mereka kalah dibantai sama tim sekolah kita.” “Terus, ngapain dia ada di sana?” “Katanya, sih, mau ngajak kenalan.” Hah? Nata hampir memuncratkan minuman di mulutnya. “ Terus gimana?” “Gimana apanya?” Niki bertanya balik dengan cuek. “Namanya Oliver. Dia minta nomor teleponku.” “Terus lo kasih?” “Enggak.” “Bagus, deh.” Mendengar respon pasif itu Niki memonyongkan bibir. “Gimana sih, Nata? Masa begitu bagus? Ini, kan, pertama kalinya ada cowok ngajak aku kenalan!”
“Lo bangga karena ini pertama kalinya, begitu?” Nata menghabiskan isi botolnya dalam sekali teguk, lalu melanjutkan, “Gak semua cowok di dunia ini baik, Ki. Lo harus hati-hati, apalagi sama model cowok yang sembarangan ngajak cewek kenalan.” “Negatif banget, sih, pikirannya,” Niki merengut, “Kamu, sih, nggak percaya sama cinta pada pandangan pertama>” Sudah ratusan kali Niki mengangkat topik itu, yang bagi Nata lebih terdengar seperti dongeng yang tidak akan pernah terjadi. Dongon yang membodohi orang! “Gue kasih tau ya, Ki,” dia memulai nasihatnya, “di dunia ini nggak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama. Yang ada juga nafsu atau suka pada pandangan pertama, yang lalu disalahartikan sebagai cinta.” “Kamu ngomong begitu karena belum pernah ngalamin,” tuduh Niki. “Memang lo pernah?” tantang balik Nata. “Belum. Tapi, nggak ada salahnya percaya, kan?” Nata menghela napas. “Terserah lo deh. Yang jelas, gue gak percaya ada cinta yang seperti itu.” “Gak romantis, iya gak, Ann?” Niki berbalik memandang Annalise yang baru saja duduk di sampingnya dengan semangkuk bakso kuah. “Apanya?” Annalise yang baru bergabung bertanya tak mengerti.
“Nata nggak percaya sama cinta pada pandangan pertama,” Niki mengadu, “Kalau kamu gimana?” Annalise tiba-tiba tersedak kuahnya, terbatuk cukup lama sebelum bisa menjawab. Wajahnya merah—entah karena matahari terik, bakso yang kepedesan, atau fakta bahwa dia tidak ingin menjawab pertanyaan polos yang dilontarkan Niki itu. Akhirnya, dia menepuk dada sambil menengahi bijak, “Pendapat orang kan beda-beda, Ki. Mungkin Nata orang yang realis, sedangkan perempuan kan, lebih romantis.” “Maksudnya, pemimpi,” Nata mengoreksi, “tanpa nlogika.” Niki mendengus lagi. Annalise tersenyum, sudah terbiasa melihat dua sahabat itu bertengkar tak keruan. “Ini tentang cowok yang tadi ngobrol sama Niki di aula, ya?” “Iya,” jawab Niki ogah-ogahan. “Namanya Oliver.” “Cakep,” komentar Annalise.” “Iya, kan? Jadi nyesel nggak ngasih nomor telepon ke dia tadi,” ujar Niki antusias. Nata melengos mendengar pembicaraan dua gadis yang mulai seru membicarakan cowok ganteng. Dihabiskannya beberapa potong gorengan di piringnya, gusar masih mencongkel hatinya. Kadang-kadang, bukan maksudnya untuk ketus seperti itu, hanya saja Nata tidak tahan untuk menasihati Niki yang sering kekanak-kanakan. Akhirnya, malah membuatnya kesal sendiri, dan Niki jadi ngambek. Padahal, maksudnya tadi mau berterima kasih karena telah membantunya mengatasi demam panggung, tapi malahan bertengkar dengan gadis itu. Dia memandang Niki sekilas. Kata „terima kasih‟ itu berhenti di bibirnya, belum sempat terucapkan. ***
Annalise memperhatikan deretan foto-foto berbingkai yang dipajang di dinding kelas, juga judul dan namanya yang tercetak kecil-kecil di bawahnya. Famili—by Annalise Putri. Tajuk itu digunakannya untuk foto mamanya yang dilihat Nata dan Niki waktu sedang berkunjung ke rumahnya. Tadinya, dia tidak cukup percaya diri untuk memamerkan hasil jepretannya di lorong sekolah, untuk dipertunjukan kepada semua orang. Tapi, Nata dan Niki terus membujuknya, meneguhkan hatinya. “Foto-foto kamu bagus sekali, pasti banyak orang yang suka.” Niki selalu bilang begitu walaupun Annalise merasa hasil karyanya masih amatiran. Nata hanya meneliti detail-detail di fotonya dalam diam, lalu mengembuskan napas kagum dan berkata, “Foto-foto ini punya nyawa.” Karena itulah Annalise memberanikan diri menyumbang beberapa foto kolseksinya untuk galeri mini sekolah mereka. Foto-foto hitam putihnya kini dimuat di antara lautan foto-foto lain dengan beragam tema dan warna. “Ini karya kamu?” Suara seseorang mengejutkannya. Dhanny, abang Nata, tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya, menatap foto yang sama dengan yang sedang dipandangi Annalise. Selembar foto bertajuk Friends yang dilapisi dengan bingkai kaca. “Iya,” jawabnya, canggung. Objek foto itu adalah sebuah kincir angin plastik yang sering dimainkannya sejak kecil. Kemarin, ia menemukannya di kolong ranjang, sudah berdebu, tapi masih bisa berputar dengan baik. Annalise membersihkannya dan meletakannya di tepi jendela, supaya benda itu bisa kembali berputar karena angin. Ketika Nata dan Niki datang waktu itu,
Annalise memotret mereka dari balik sayap-sayap kincir angin. Di foto itu, Niki sedang tertawa, sedangkan Nata tersenyum. Dhanny menyentuh foto itu, ujung jarinya membelai wajah Nata dan Niki yang hanya samar-samar terlihat di balik gerakan kincir angin. “Foto yang bagus.” “Terima kasih.” Annalise dan Dhanny tidak berkata apa-apa lagi, sama-sama mengetahui sesuatu tentang Niki dan Nata yang belum mereka sadari. *** Wish #10: berbaikan dengan Niki (Nata) Nata berhenti di depan trampolin, lalu menjatuhkan diri ke permukaanya, membuat Niki yang sedang duduk bersila di atasnya ikut terguncang-guncang. Niki, yang sore ini mengenakan celana pendek warna pink terang dan jaket hoodie putih dengan topinya menutupi kepala, sedikit merengut melihat Nata ada di sana. Dia masih sedikit kesal akibat obrolan tadi siang di kantin. Nata membetulkan posisi duduknya di atas trampolin, memainkan nada pada gitarnya dan bersenandung ringan. Trampolin yang dipasang di kebun belakang rumahnya ini adalah tempat favoritnya dengan Niki. Waktu kecil, dia merengek supaya dibelikan sebuah trampolin besar. Setiap hari mereka berdua melompat-lompat diatasnya sampai capek, kemudian berbaring terlentang di sana sambil menengadah memandang langit yang membentang luas. Kini mereka berdua sudah terlalu besar untuk berbagi ruang di trampolin itu, tapi tetap saja mereka suka melakukannya.
“Berisik.” Niki menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinganya, aksi memboikot yang membuat Nata tersenyum. “Udah dong, ngambeknya.” Disenggolnya Niki sedikit, tapi yang disikut bergeming. “Ki, gue serius nih. Gue punya sesuatu buat lo.” “Apa?” Dengan cepat, Niki mengulurkan tangannya, bersiap-siap menerima sesuatu. Nata tersenyum lagi. Ulah gadis ini selalu membuatnya kewalahan, tapi Niki tidak pernah berhenti membuatnya tertawa. :Ini bukan hadiah semacam itu.” “Bisa dimakan, gak?” “Gak bisa!” Dengan gemas, Nata menjitak kepala Niki ringan. “Cuma lagu, kok.” “Lagu?” “Iya.” Niki memeluk lutut, memandang Nata yang sudah siap dengan gitarnya. “Tadi, kan, kamu udah nyanyiin lagu untuk pentas seni. Ada lagi?” Nata menggeleng. “Lagu-lagu yang tadi gue nyanyiin buat kepentingan sekolah. Tapi, yang ini gue mau nyanyiin buat lo.” “Buat aku?” Niki mengerjapkan mata, berubah bersemangat.
“Iya, karena lo udah ngedukung gue untuk tampil di panggung. Mau dengerin, gak?” Nata bersehem sedikit, lalu mulai memetik gitarnya, memainkan versi akustik dari salah satu lagu favorit Niki. And friends come and go, But people like you are hard to find, And times just goes to show, I wouldn’t change a thing I owe it all to yo I always know, How lucky I am to have you here beside me, So before I go, I wanna say Thank you, thank you, thank you (Thank You - Katana) Nata terus bermain sambil bersenandung, dengan Niki yang mendengarkan tanpa berkedip. Seulas senyum hadir di wajah keduanya, sebentuk tenang yang sangat nyaman. Akhirnya, Nata memang tidak berhasil mengucapkan terima kasihnya pada Niki, tapi dia tidak perlu melakukannya, karena Niki sudah tahu. Niki sudah memiliki lagu itu. *** ES KRIM MATCHA DAN NOMOR TELEPON Oliver menunggu di dalam mobilnya, satu tangan memeluk setir dan satunya lagi sibuk merapikan rambut menggunakan refleksi kaca spion yang ada di hadapannya. Sudah hampir pukul tiga, sebentar lagi murid-murid SMU Harapan pasti akan bubar. Dia berharap Niki ada di antara kerumunan murid yang akan keluar melewati pagar depan itu.
Ucapan Niki yang ambigu dan penolakan halus untuk memberikan nomor teleponnya membuatnya makin penasaran. Biasanya, jika gadis-gadis remaja berhadapan dengannya, mereka akan berubah malu-malu dan lebih sering tertawa centil sambil memutar rambut dengan jari. Kebanyakan dari mereka akan segera menuliskan nomor telepon mereka di secarik kertas, menyelipkannya di saku jaket Oliver atau bahkan ada yang pernah menuliskannya di jendela mobilnya dengan sebentuk lipstik merah. Tapi, gadis yang satu ini tidak begitu, dia dengan mudahnya mengucapkan selamat tinggal dan langsung pergi seakan tidak peduli jika tidak pernah melihatnya lagi. Oliver belum pernah merasa ditolak seperti ini, dan seperti kata orang, penolakan berarti pengejaran yang lebih kukuh. Egonya telah tersentil oleh seorang cheerleader SMU seberang. “Kamu Oliver Stevent, kjan?” Bau parfum yang menyengat—Britney Spears Fantasy yang teramat manis aromanya—menyumbat hidung Oliver. Dia menengadah dan menurunkan kaca mobil lebih rendah lagi. Seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu dengan roklipit superpendek sedang membungkuk menatapnya, tiga orang gadis lain di belakangnya berbaris seperti pengawal. “Aku Helena, kapten tim cheers yang kemarin Sabtu hadir di pertandingan,” Gadis itu mengulurkan sebelah tangan. Oliver menjabatnya ringan, tapi tangan sang gadis yang dingin dan rikuh tidak segera melepaskan tangannya. Helena tersenyum menggoda, mengelus-elus helaian rambutnya yang dicat kemerahan. “Ada apa datang ke sini? Mencari seseorang?” Right on cue, pikir Oliver, karena saat itu dilihatnya Niki sedang berjalan keluar dengan ranselnya, seorang gadis bule yang sangat tinggi di sampingnya dan cowok yang kemarin solo dengan gitarnya sedang membopong alat musik itu di belakangnya. Cepat-cepat, Oliver keluar dari mobil, lalu berlari menghampiri mereka. “Hai!” sapanya ceria. Langkah Niki terhenti, menatapnya aneh walau di bibirnya tersungging senyum senang. “Halo, Oliver.” Oliver senang Niki mengingat namanya. “Kok, ada di sini?” “Aku nyari kamu.” Didengaranya Helena terkesiap sedikit, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan yang termanikur rapi. Tiga gadis di belakangnya meniru gerakannya hampir serentak. Niki juga tampak kaget, tapi lalu dengan sigap memperkenalkan dua orang temannya. “Kenalin dulu, ini Annalise, dan ini Nata, teman-teman sekelasku.” Oliver menyambut jabatan tangan Annalise, lalu Nata—entah kenapa yang ini malah tampak kurang senang. “Ada apa ya nyari aku?” Oliver mengantongi kacamata hitam Oakley-nya di saku, lalu menunjuk mobilnya. “Kuantar pulang, yuk.” “Tapi, aku pulang dengan teman-temanku.”
Penolakan lagi. Oliver tersenyum, tidak menyerah. “Kalau begitu aku datang lagi besok.” “Eh, tunggu!” Seperti yang diduga, Niki berlari mengejarnya, meninggalkan sekelompok temannya yang terlihat agak kaget juga. “Nggak usah,” katanya, “aku bisa pulang sendiri kok.” Oliver menatap gadis mungil yang menggenggam tali ranselnya erat-erat, dengan tegas mengatakan tidak. “Kamu tahu nggak kenapa aku datang ke sini?” Niki menggeleng. “Minggu lalu, kamu bilang kamu akan ngasih nomor telepon kalau kita ketemu lagi.” Rona merah jambu mewarnai pipi Niki sekarang ketika dia teringat janji itu. “Jadi kamu datang untuk minta nomor teleponku?” Oliver angkat bahu. “Kalau boleh, aku juga mau nganter kamu pulang. Boleh, kan? Pasti sampai di rumah dengan selamat, kok. Gratis es krim, lagi.” Niki tertawa. “Kalau aku bilang enggak, besok kamu bakal datang lagi?” “Seterusnya sampai kamu bilang iya.” Niki menggelengkan kepala, mendesah dengan canda. “Bukan main. Masa‟ aku harus pindah sekolah supaya gak dikuntit?” Oliver membalasnya dengan tawa juga. “Gak usah seekstrem itu, cukup satu jam saja hari ini dan aku nggak akan ganggu kamu lagi.” Niki tampak memikirkannya sejenak, lalu akhirnya mengalah. “Ya udah, deh. Satu jam. Tumpangan pulang, plus es krim.” “Sip!” Oliver menyeringai menang. Niki berbailk untuk memberi tahu Nata dan Annalise, juga menyadari bahwa Helena masih menyaksikan interaksi itu dengan mata terbelalak. Dari dulu, teman-teman cheerleader Niki memang selalu bilang bahwa kapten tim basket SMU Pelita sangant populer. Ganteng, kaya, dan charming. Sekarang, mereka melihatnya dalam jarak dekat, sedang flirting dengan Niki. “Nat, Anna, aku pulang sama Oliver ya hari ini.” Niki melihat raut wajah Nata berubah, sedangkan Annalise hanya tersenyum maklum. “Pulang sama dia?” Nata jadi berang. “Lo gak takut diapa-apain?” Niki memasang tampang penuh permohonan. “Nata... Jangan kayak nenek-nenek, deh. Cuma satu jam, kok. Terus aku langsung pulang.” “Tapi, lo kan gak kenal dia!” “Ya itu tujuannya dia dateng, mau ngajak kenalan.”
Annalise segera menyentuh lengan Nata. “Kayaknya, dia bukan orang jahat, kok, Nat. Niki juga pasti bisa jaga diri.” Tanpa membaca situasi dan usaha Annalise membujuk Nata, Niki malahan semakin menambah minyak pada api. “Iya! Aku bukan anak kecil lagi.” Ekspresi Nata sulit dibaca, tapi akhirnya dia mengangguk enggan. Niki tersenyum lebar dan berlari ke mobil Oliver, membiarkan pemuda itu membukakan pintu mobil untuknya dan mempersilakannya masuk. Tidak lama kemudian, mobil itu meluncur pergi, Nata dan Annalise memandangnya sampil menghilang di tikungan. “Gue Cuma nggak percaya sama cowok itu,” kata Nata ketika dia melangkah lagi untuk mengambil sepedanya. Annalise berjalan di sampingnya, mendekap beberapa buku pelajaran sambil larut dalam pikiran. “Aku ngerti kamu khawatir,”katanya lembut. “Tapi, Nat, mungkin saja ini cinta pertamanya Niki.” Nata terhenyak. *** Wish #11: nomor telepon Niki (Oliver) Seumur hidupnya, Niki belum pernah naik mobil senyaman ini; sedan BMW biru tua dengan inteNatar yang sudah dimodifikasi sehingga kursinya lebih lebar dan nyaman. Ada satu set perlengkapan televisi dan GPS dengan voice command, juga CD player yang sekarang memutarkan lagu In A Rush milik Backstreet. Niki mengalihkan pandangannya dari sebuah miniatur oemain basket di atas dashboard ke arah Oliver yang sedang menyetir dengan tangan kanan. Sang kapten basket SMU Pelita memang tampan, yang satu ini tidak perlu diragukan lagi. Tubuhnya tinggi dan ramping model atlet, berisi tapi tidak terlalu kekar seperti ahli angkat besi. Rambutnya dipotong rapi dan tidak menyentuh telinga, ditata dengan gel seadanya sehingga memberikan kesan berantakan. Kulitnya kecoklatan hasil latihan rutin di bawah sinar matahari, sedangkan senyumnya ramah, mencerminkan kesan easygoing. Pemuda ini mengingatkan Niki pada Kak Dhanny yang selalu wangi, rapi, dan bersih. Kalau boleh jujur, Niki senang bertemu dengannya lagi. Ia sempat, menganggap ajakan kenalan waktu itu tidak lebih dari candaan belaka walau sempat menyimpan secercah harapan bahwa cinta yang manis suatu hari akan datang kepadanya. Ketika ia mulai melupakan kejadian tersebut, tiba-tiba saja Oliver kembali muncul di hadapannya, menawarkan kesempatan kedua. Niki menganggapnya sebagai sebuah pertanda. Mereka berhenti di depan sebuah kafe gelato. Lagi-lagi, Oliver membukakan pintu mobil untuknya, sebuah aksi yang memberi nilai plus di mata Niki. “Mau es krim apa? Kutebak ya, rasa cokelat.” Niki menggeleng. “Aku suka es krim matcha. Green tea gelato.”
Kening Oliver sedikit berkerut. “Oh ya? Nggak nyangka.” “Bukan berati aku nggak suka cokelat, lho.” Candaan ini dibalas oleh senyum Oliver. Mereka berdua menempati sebuah meja kosong di pojok, masing-masing asyik dengan pilihannya. Diam-diam, Niki agak deg-degan; dia belum pernah pergi berdua dengan cowok selain Nata. Kalau sedang berduaan dengan cowok yang baru saja dikenal, enaknya harus ngobrolin apa, ya? Gimana harus bersikap? “Cowok yang tadi pacar kamu, ya?” Niki mengangkat muka, melupakan sejenak monolog senyapnya. “Yang mana? Nata?” “Iya, cowok yang bawa gitar itu. Kayaknya, dia kurang senang ngeliat aku.” Niki tergelak kecil. “Ah, perasaan kamu aja kali. Nata emang orangnya begitu, agak galak, tapi sebenarnya perhatian. Dia sahabatku dari kecil.” “Mungkin dikiranya aku playboy yang nggak bisa dipercaya,” canda Oliver. Niki berhenti menyuap es krimnya, lalu bertanya dengan lugu, “Memangnya kamu begitu?” Wajahnya begitu polos sehingga Oliver tertawa. “Ya nggaklah. Aku nggak punya pacar, kok.” Dalam hati, Niki meras sedikit lega. Tapi, ia tak bisa menahan diri untuk meledek dengan nada skeptis,”Masa orang seperti kamu nggak punya pacar?” “Orang seperti apa?” Oliver balas bertanya, seakan ingin memancing reaksinya. Wajah Niki memerah lagi dan ia menunduk maul, merasa salah bicara. “Yah... orang yang populer seperti kamu. Banyak lho teman-temanku yang bilang kalau kamu cowok iVanyal yang diinginkan cewek-cewek.” “Menurut kamu, aku begitu...?” “Nggak tahu. Aku kan, belum kenal kamu.” Oliver tersenyum lebar, dan kali ini Niki melihat lesung pipit samar di pipi kanannya. Senyum tampak sangat natural di wajah itu. Perlahan, Oliver menjulurkan sebelah tangan dan menyentuh sudut bibir Niki, mengusap lembut dan bertahan di sana selama beberapa saat sebelum menariknya kembali. Niki agak terkejut dan sedikit menarik tubuhnya ke belakang dengan salah tingkah. “Sori, aku nggak bermaksud apa-apa. Tadi ada bekas es krim di wajah kamu....” Niki mengangguk samar, mengutuk diri sendiri karena bersikap begitu kaku. Sepanjang perjalanan pulang, Oliver memutarkan lagu-lagu top forty yang juga menjadi favorit Niki. Perlahan, tetapi pasti, rasa canggung di antara mereka melumer, terganti oleh pembicaraan seru. Niki bercerita mengenai sekolahnya, perlombaan cheerleading
yang akan diadakan bulan Desember, dan segudang aktivitas lain yang biasa diikutinya. Oliver tertawa mendenghar jokes-nya, juga berbagi cerita mengenai dirinya sendiri. Melalui ceritanya, Niki mengetahui kalau Oliver adalah anak tunggal, dan ulang tahunnya hanya berbeda lima hari dengan Nata, sama-sama berzodiak Capricorn walau sifat mereka berbeda jauh. Niki hampir saja merasa kecewa ketika perjalanan mereka berakhir, seperti Cinderella yang sudah harus berlari pulang pada pukul dua belas malam. “Thanks yah udah nganterin aku pulang.” “tunggu. Kamu lupa sesuatu.” Niki merogoh saku bajunya, memeriksa apa yang kelupaan. “Apa?” “Nomor telepon.” Niki tertawa sumringah, bersiap-siap mengeluarkan pulpen untuk mencatat nomor teleponnya pada secarik kertas. Namun, sebuah ide iseng muncul, dan dengan raut nakal, dicoretkannya deretan angka itu dengan lipstik pink yang selalu dibawanya ke mana-mana. Mengikuti gaya flirty perempuan-perempuan yang pernah dilihatnya dalam film, diselipkannya kertas tersebut dalam saku kemeja Oliver. “Supaya aku nggak berutang lagi sama kamu,” ujarnya sebelum masuk ke dalam rumah, meninggalkan Oliver yang memandangnya dengan ekspresi melongo bercampur kagum. *** Wish #12: cerita kakak (Acha) Acha yang sedang mengerjakan tugas Fisika di atas meja makan melirik kakak perempuannya dengan bingung. Ada sesuatu yang aneh dengan kakak hari ini, dia menyimpulkan. Sepulang sekolah tadi, Niki langsung berlari ke kamarnya sambil menyenandungkan lagu favoritnya. Tidak lama kemudian, dia mondar-mandir di depan meja telepon, sampai akhirnya duduk termenung dengan raut dreamy di wajahnya. Mama yang melihatnya Cuma geleng-geleng sambil tersenyum kecil, sedangkan Acha masih tidak mengerti juga apa yang telah terjadi pada kakaknya. Setiap kali telepon berdering, Niki akan terlonjak dari kursinya dan mengangkatnya dengan waswas. Wajahnya berubah kecewa jika telepon itu ternyata bukan untuknya. Ketika telepon itu masih juga tidak berdering untuk jangka waktu yang lama, akhirnya Niki menyerah dan duduk di samping adiknya. “Acha” “Hmmm?” “Mau denger cerita, nggak?” Acha meletakkan pulpennya, berhenti menuliskan rumus-rumus yang membuat otaknya ngejelimet. Sejak kecil, Niki selalu bercerita mengenai apa saja. Kadang-kadang, Niki suka membangunkannya di tengah malam, lalu membisikkan sebuah rahasia di telinganya. Acha menyukainya, hal itu membuatnya merasa penting dan dipercaya.
“Cerita apa?” Dulu cerita Niki penuh dengan dongeng fantasi tentang seorang pangeran rupawan yang menyelamatkan seorang putri dari negri yang sangat jauh. Hari ini, Niki bercerita tentang seorang murid laki-laki sekolah sebrang yang tampan, yang mengantarnya pulang dan meminta nomor teleponnya. “Jadi yang dari tadi kakak tunggu itu telepon dari dia?” Ekspresi Niki sarat dengan kebahagiaan dan rahasia. “Iya. Namanya Oliver.” “Orangnya seperti apa?” Niki menjelaskan rupa pangeran tampannya—tidak berkuda putih, tapi lengkap dengan sedan biru yang mewah. Kapten tim basket, walau sempat kalah di pertandingan kemarin. Senyum yang menarik, suara tang menggetarkan, sosok yang sempurnya. “Memangnya ada, ya, orang yang sempurna di dunia ini?” Acha ingin tahu. “Sempurnya itu relatif,” jawab Niki, senyum itu masih enggan meninggalkan wajahnya. Telepon berbunyi. Segera setelah satu dering, Niki menyambar gagangnya. Tiba-tiba, ekspresinya berubah cerah, dan dia mengedipkan sebelah mata pada Acha sambil terus mengobrol di telepon. Ini dia, bisiknya sambilk menunjuk-nunjuk telepon. Oh. Acha ikut tersenyum, akhirnya mengerti. Kakaknya ternyata sedang jatuh cinta. *** KISS Wish #13: segala sesuatunya untuk tidak berubah (Nata) Nata gondok setengah mati. Pasalnya, dari satu jam yang lalu, yang dibicarakan Niki Cuma satu hal—Oliver. Setelah diantar pulang waktu itu, mereka ternyata membuat janji untuk bertemu lagi. Kesalnya lagi, akhir-akhir ini Niki selalu pulang bareng cowok itu. Wajahnya selalu berbinar-binar ketika bel terakhir berdentang tepat pukul tiga sore, lalu dia langsung melesat keluar ke arah parkiran. “Jadi, hari Sabtu nani aku nggak bisa pergi bareng kalian.” Niki menyelesaikan kalimatnya. Mereka bertiga baru saja menyelesaikan kelas lab Biologi, dan kini merapikan alat-alat yang tersebar di atas meja sebelum pulang. “Masa aku dan Nata jadi Cuma pergi berdua...?” Annalise mengeluh kecewa. Hari Sabtu nanti mereka bertiga sudah janjian untuk nonton film action terbaru di mal, sekaligus mencoba tempat makan sushi yang baru buka di sana.
“Maaf...” Niki melekatkan kedua telapak tangannya di depan dada untuk memohon maaf. “Sekali iniii... aja. Kali ini penting.” Nata membuang muka. “Kalau begitu, hari ini aja kita nontonnya, sehabis pulang sekolah bisa langsung ke mal.” “Iya, ide bagus tuh,” dukung Annalise. Lagi-lagi, Niki membungkuk minta maaf. “Aduh... hari ini aku juga nggak bisa. Mau pulang bareng Oliver, sambil coba yogurt smoothie di counter Boost Senayan City yang baru buka.” Kali ini Nata menggeram tak sabar. “Jadi, kapan dong, kita bisa ngumpul bareng?” Sudah seminggu Niki tidak bertandang ke rumahnya. Padahal biasanya cewek itu selalu datang setiap sore setelah makan malam, entah hanya untuk mengobrol atau minta diajari Matematika. Sekarang, boro-boro menelepon atau menumpang sepedanya Nata, setiap pagi dan sore selalu diantar jemput oleh „sopir‟ barunya. “Hari Minggu, deh!” Niki berjanji. “Minggu pagi. Nanti kubuatin apple struddle untuk kalian berdua.” Belum sempat Nata berkata apa-apa, sedan biru itu meluncur memasuki parkiran sekolah. Dengan semangat, Niki langsung menarik tasnya dan berlari kecil untuk menyambutnya. Nata menghela napas. Bagian belakang sepedanya kosong. Walaupun dulu setiap hari punggungnya habis ditepuk-tepuki dan dia harus mendengarkan celoteh ringan tentang hal-hal yang gak penting, rasanya Nata lebih senang begitu daripada hanya bersepeda pulang sendirian. *** Wish #14: ..... (Nata) Sore hampir berganti malam. Warna biru langit sudah pecah, berganti dengan kombinasi ungu oranye yang menyerupai palet warna dari olesan kuas. Nata menemukan Niki sedang tertidur di atas trampolin mereka, sebelah tangannya menggenggam plastik berisi satu gelas stereofoam dengan label Boost tercetak di tengah-tengah. Niki tadi berlari ke sini untuk menunggu Nata selesai makan malam, rencananya ingin membawa oleh-oleh satu gelas smoothie buah untuk Nata. Niki merasa bersalah, sudah lama dia tidak menghabiskan waktu berdua saja dengan sahabatnya itu. Padahal, dulu, mereka tidak terpisahkan. Akhir-akhir ini, dia juga kangen mendengar nyanyian Nata yang srak-serak basah diiringi petikan gitar yang lembut. Setelah setengah jam menunggu, Niki jadi bosan. Angin sepoi-sepoi membuatnya mengantuk, dan dia terbuai dalam lelap di bawah langit sore. Nata ingin membangunkannya, tapi tidak jadi. Ingin juga mengisenginya dengan menggambar kumis di atas bibirnya dengan spidol, tapi tidka tega. Jadi dia hanya duduk menatap Niki yang tertidur, menjulurkan sebelah tangan untuk membelai helai-helai halus yang membingkai wajahnya.
Wajah Niki yang sedang tertidur seperti anak-anak. Seperti seorang anak perempuan yang baru saja mendapatkan lolipop kesukaanya, lalu mengisapnya habis sampai tertidur. Seperti seorang gadis kecil yang menyimpan senyum dalam tidurnya, dan akan bangun bersamanya juga. Entah apa yang membuat Nata tergugah. Seulas senyum lembut menyelinap di wajahnya yang biasa berekspresi keras. Dia menunduk, ragu-ragu sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Niki dan mengecup bibir gadis itu pelan. Dengan wajah memerah, dia kembali ke posisi duduknya, menyentuh bibirnya sendiri sambil tersenyum. *** Wish #16: melihat Niki tidak jadi pergi (Nata) Nata menyingkap tirai jendela kamarnya sambil setengah mengintip. Tidak menemukan apa yang dicari, kembali ditutupnya tirai tersebut sambil mengembuskan napas yang memburu. Lima menit kemudian, ia kembali mengintip. Begitu seterusnya sampai deru mobil terdengar samar-samar di kejahuan. Mobil BMW biru tua milik Oliver berhenti tepat di depan rumah Niki. Nata melihat gadis itu setengah berlari keluar, mengenakan terusan merah jambu dipadu dengan sepatu berwarna senada, rambutnya diurai hingga menyentuh bahu. Wajahnya dihiasi senyum lebar penuh antisipasi, seakan dia sudah menunggu kedatangan Oliver sejak tadi. Oliver membukakan pintu mobil untuk Niki, lalu berjalan memutar ke arah pintunya sendiri. Nata melihat sebuket mawar merah dalam genggamannya. Cih. Hanya playboy yang membawa bunga untuk cewek, hatinya tidak tahan untuk tidak berdesis sinis.
Mobil itu berjalan menjauh, meninggalkan Nata yang masih terpaku di depan jendela dengan tatapan kurang senang. Akhirnya, disambarnya telepon dan segera menekan nomor Annalise. "Kita cabut, yuk." *** Wish #17: percakapan bersama Nata (Annalise) Annalise agak terkejut ketika Nata meneleponnya barusan. Tadinya, ia mengira janji mereka untuk nonton bareng dibatalkan, berhubung Niki tidak bisa hadir. Sejam kemudian, mereka berdua sudah berdiri bersebelahan di hadapan poster-poster film di sebuah teater bioskop. Nata tidak bicara, dengan kedua tangan dalam saku bajunya—hari ini ia mengenakan kaus band warna hitam dan jeans belel serta sepasang sandal. Annalise menunduk menatap pakaiannya—skinny jeans dan atasan lengan panjang putih berkerah sabrina, dengan rambut dibiarkan tergerai. Dia hanya mengambil pakaian yang paling praktis dari lemarinya, dan kini sedikit menyesali pilihannya yang sederhana. Apalagi, ini kali pertama dia pergi berdua dengan cowok, tepatnya... dengan Nata. "Mau nonton apa?" Nata menunjuk pada barisan poster film di balik lemari kaca, tampaknya tidak terlalu bersemangat untuk memilih. Annalise mengulum senyum, tiba-tiba saja menyadari mengapa Nata begitu uring-uringan hari ini. "Sebenarnya, Nat, you look like you'd rather be anywhere but here." Ketika mendengarnya, Nata langsung mengangkat wajah dengan raut bersalah. "Sori, Ann. Mood gue lagi jelek banget." Annalise menggeleng. "Nggak apa-apa, kok. Kita ngopi aja, yuk?"
Mereka masuk ke sebuah kedai kopi mungil di sudut lantai tiga, tempat yang lengang tanpa pengunjung, hanya seorang barista yang menunggu di balik counter dengan wajah bosan. Annalise meletakkan bawaannya di atas meja dan Nata melihat sudut kamera Lomo merah yang menonjol dari tas itu. "Gue jadi penasaran... sejak kapan, sih, lo hobi motret?" Annalise tersenyum sendu, mengingat kali pertama ia memegang sebuah kamera dan merasakan berat benda itu di tangannya yang mungil. Membiarkan tangan yang kokoh membimbing jemarinya untuk menekan tombol, dan suara yang berisik di telinganya, tahan napas... dan, klik. "Umur delapan tahun. Papa memberikan aku hadiah kamera pertamaku." Dulu, Papa sering menyebutnya 'asisten cilik'. Mereka memotret Mama, pura-pura mendandaninya dalam kostum, lalu menjepret aksi konyol itu. Mereka memotret langit sebelum berubah gelap, bayangan pohon yang memanjang, sepeda pertama Annalise, boneka beruang kesayangannya, mobil baru Papa. Annalise senang memperhatikan Papa bekerja dengan kameranya, di bawah lampu suram kamar gelap tempatnya mencuci foto, mengamati buram berubah bentuk. "Aku suka konsep fotografi—seakan-akan momen yang ditangkap lensa akan tetap di sana untuk selamanya." Dan, mereka memang tetap ada, bahkan saat dunia berputar dan berubah, kenangan yang tercetak pada lembaran foto itu tidak pernah berubah. Photographs last for a lifetime. "Papa selalu bilang, manusia akan menua, tempat bisa berubah, kita bisa melupakan. Karena itulah kamera digunakan, untuk merekam hal-hal yang tidak dapat diingat manusia dengan sempurna." Ia mengangkat kamera, menahannya tepat di depan wajah Nata. Nata bergeming, tidak tersenyum dan tidak memintanya untuk berhenti, hingga Annalise menekan tombol shutter.
Klik. "Kamu sendiri, sejak kapan suka musik?" tanyanya. Nata mengangkat bahu. "Nggak inget tepatnya kapan. Keluarga gue fanatik musik—selalu ada musik yang diputar di rumah. Mulai dari oldies, jazz, rock sampai pop. Dulu, bokap gue pernah jadi drummer, lho." Annalise tidak bisa membayangkan ayah Nata yang sekarang bekerja di sebuah kantor pengacara terkenal, ternyata pernah jadi anggota band kawakan. "Tapi, buat gue, musik itu sebuah bentuk obsesi. Gue merasa tenang kalau ada musik, mungkin dengan cara yang sama, seorang atlet bisa nyaman berada di lapangan, atau seorang pelukis saat megang kuas." Jawaban gamblang itu sama-sekali tidak mengejutkan Annalise. Sebaliknya, dia mengerti. Fotografi dan musik sama-sama merupakan bagian dari seni; keinginan untuk menyampaikan sesuatu. Obsesi untuk mencari nada yang tepat, atau menciptakan bait lagu yang sempurna. Sama seperti keinginan memotret objek yang istimewa atau mengabadikan satu fragmen kenangan. "Niki selalu bilang gue kelihatan kayak orang yang berbeda kalau lagi pegang gitar," kata Nata. "Kurasa, buat sebagian orang, seni menjadi bagian penting yang sulit dipisahkan dari diri mereka. Seni juga merupakan bentuk pelarian, cara untuk melampiaskan emosi. Mungkin karena itulah, seni terkadang bisa mengubah orang." Nata mengangguk-angguk setuju terhadap observasi itu, lalu berkomentar, "Lo lebih dewasa dari kebanyakan orang yang gue kenal, Ann."
"Dan, kamu nggak sesinis yang orang lain kira." Annalise membalas kalem sambil tersenyum. Nata tertawa. "Gue bukannya sinis, tapi prinsipil. Gue nggak suka orang yang suka pura-pura, dan gue terbiasa ngomong apa adanya ke semua orang. Kadang, itu disalahartikan sebagai sarkastis." "Kamu punya sisi lembut kalau berhadapan dengan Niki," kata Annalise pelan. Nata terdiam di balik kepulan kopi tubruknya, tidak membantah pernyataan tersebut. Raut wajah itu membuat Annalise turut larut dalam hening. Diam-diam, dia sadar, hening semacam ini, hanya Niki yang mampu mengisinya. *** Pada waktu yang sama, Oliver dan Niki sedang menikmati makan malam, setelah satu jam puas bermain bowling di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Niki mengetuk-ngetuk jari di atas meja sambil menikmati sepiring salad buah, hentakan itu seirama dengan detak jantungnya yang tidak keruan. Oliver tidak pernah berhenti mengejutkannya; mulai dari serangkai mawar segar hingga perlakuannya yang gentleman membuatnya merasa bagaikan seorang putri. Akhir-akhir ini, mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Dalam waktu singkat perkenalan mereka, ternyata ia dan Oliver sering sependapat mengenai banyak hal. Mereka sama-sama tidak menyukai pelajaran Matematika dan lebih memilih pelajaran olahraga daripada harus menyelesaikan soal rumit yang berkaitan dengan angka. Mereka memiliki selera musik yang sama, juga menyukai genre film serupa. Niki merasa dapat mengobrol dan berdiskusi mengenai banyak hal bersama Oliver. Percakapan mereka selalu menyenangkan, diselingi dengan tawa dan canda. Oliver mengangkat beberapa potong kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. "Minggu depan, tim basketku tanding dengan tim basket sekolah putra di Tangerang. Mau datang nonton?"
Niki tersenyum mendengar ajakan itu. "Kalau aku datang, memangnya kamu bisa menang?" "Kalau kamu datang, seenggaknya aku akan lebih terpacu untuk menang." Dia menjawab dengan mudah, membuat Niki memukul lengannya dengan canda. "Gombal!" ucapnya di tengah tawa. Tanpa disangka, Oliver meraih kedua tangannya yang sibuk memukul, lalu meremas jari-jarinya lembut. Niki terdiam, pipinya memerah karena malu. Tapi, kali ini, dia tidak melepaskan pegangan itu. *** Wish #18: supaya... hujan ini tidak pernah berhenti (Niki) Gerimis. Niki menatap rinai hujan mengalir turun seperti butiran salju. Ia menempelkan telapak tangannya ke kaca mobil, merasakan permukaannya yang dingin dari rintik-rintik kecil yang mulai mengaburkannya. "Kamu suka hujan?" Oliver bertanya dari tempat duduknya di balik kemudi. Air keruh kecokelatan mulai menggenang di sisi-sisi jalanan, campuran dari air got yang meluap karena hujan. Mereka sudah terjebak dalam kemacetan selama hampir dua jam, dan langit semakin gelap tak berawan tanpa tanda-tanda hujan akan berhenti. Niki tersenyum tipis dan menggeleng. "Enggak. Aku nggak suka hujan sama sekali. Mendung, kelabu, membosankan karena gak bisa main di luar." Oliver ikut mengangguk mendengar jawabannya. "Sama, aku juga. Gak bisa basket outdoor, jalanan becek dan macet di mana-mana, kayak sekarang."
"Iya, pokoknya nggak ngenakin." Oliver tersenyum melihat gelagat Niki."Terus, kenapa sekarang kamu memperhatikan hujan sampai segitunya?" Niki memejamkan mata, mendengarkan riuh bunyi hujan yang mulai deras di sekitarnya. Merasa aman karena dia terlindung di balik kap mobil. "Nata yang suka hujan," jawabnya. "Setiap kali hujan, Nata pasti akan menengadahkan kepala memperhatikan langit dan menjulurkan tangan untuk menyentuh hujan." "Nata, teman kamu itu?" Niki mengangguk. "Kebiasaan yang aneh, kan? Sejak kecil dia begitu." "Kalian pasti udah lama sekali saling mengenal." Lagi-lagi, Niki mengiyakan. "Kami tumbuh besar bersama. Sering main dan belajar bareng karena rumah kami berseberangan." Dengan nada hati-hati, Oliver mencetuskan rasa penasarannya. "Cuma teman?" Niki membelalak dan tertawa spontan. "Maksudnya...?" Oliver mengangkat bahu. "Siapa tahu..."
"Serius, kami hanya sahabat." Senyum Niki semakin lebar, diam-diam senang ditanya seperti itu. Dia dapat dengan mudah menangkap nada cemburu dan ingin tahu dari lawan bicaranya. Tiba-tiba saja, mesin mobil berhenti. Hujan mulai turun dengan deras, dentum airnya menghantam kaca jendela danatap mobil dengan kerasnya. Oliver memucat, mencoba menstater kendarannya berulang-ulang, tetapi tidak berhasil. "Kenapa?" Niki bertanya dengan panik, mulai khawatir seiring dengan bunyi klakson mobil-mobil di belakang mereka yang dengan tak sabar meminta mereka untuk meminggirkan mobil. "Mobilnya mati," desis Oliver bingung. "Mungkin karena mesinnya kemasukan air." "Jadi gimana?" Oliver memandang sekeliling, sulit melihat melalui kaca yang buram oleh air hujan. Air sudah naik hingga hampir melewati ban, hasil dari hujan yang tidak berhenti sejak beberapa jam yang lalu. Bentuk mobilnya yang dimodifikasi sehingga lebih rendah dari kebanyakan sedan lain juga memperparah keadaan. "Kamu tunggu di sini." Sebelum sempat Niki memprotes, Oliver sudah berlari ke luar dan menerobos hujan. Tidak lama kemudian, mobil didorong manual oleh beberapa orang yang sedang nongkrong di warung sekitar. Oliver kembali masuk ke mobil dalam keadaan basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kita harus nunggu mobil derek." "Basah-basah begitu, nanti kamu masuk angin." Oliver mencoba tersenyum, tapi tubuhnya mengigil. "Nggak apa-apa."
Mobil derek baru datang tiga jam kemudian. Mereka berdua berdiri di emperan, melihat mobil tersebut di angkut dan dibawa pergi. Beberapa kendaraan bermotor lainnya juga mogok di tengah jalan, menambah kemacetan di sore yang kelabu ini. Niki memasukkan kedua tangan ke dalam saku terusannya, kini ikut basah karena hujan kiand eras. Oliver melepaskan jaketnya yang basah dan melingkarinya di pundak Niki, mereka berdua gemetar kedinginan. "Kamu nggak apa-apa kan?" Suara Oliver terdengar aneh karena gigi yang gemeletuk, membuat Niki ingin tertawa. Pipinya sendiri sudah seputih kertas, dengan rambut lembap dan bibir pucat. "Dingin, ya?" Oliver bertanya lagi. Niki hanya bisa mengangguk singkat. Oliver menariknya mendekat, lalu merapatkan tubuh untuk menghangatkannya. Hati Niki berdesir, dengan malu-malu, ia mendongak. Oliver tersenyum, lalu meraih tangan Niki dan memasukkannya ke dalam kantong jaketnya, masih dengan tangannya yang membungkus jemari gadis itu. Mereka berdua seperti itu untuk sementara waktu, menyaksikan hujan berderai-derai, tetapi Niki merasa hangat luar dalam. *** FEVER Wish #19: mengetahui rahasia Niki (Nata) Nata meletakkan beberapa buku pelajaran di atas meja belajar Niki, menyingkirkan bungkusan obat yang sudah tak terpakai dan segelas air yang sudah setengah kosong. Niki terbaring lemas dengan wajah pucat di atas tempat tidur, mengenakan piyamanya yang kebesaran dan bersembunyi di balik selimut tebal. Sudah dua hari dia sakit, akibat kehujanan akhir pekan lalu. Waktu itu, Niki pulang tengah malam dengan tubuh basah
kuyup, tapi di wajahnya tersungging senyum lebar yang terlihat sangat bahagia. Entah apa yang telah terjadi; Nata gengsi menanyakannya walaupun ingin tahu, padahal dia sudah khawatir setengah mati. "Gue bawain catatan pelajaran yang ketinggalan hari ini," Nata berkata sambil menjatuhkan tasnya di atas karpet dan berjalan menghampiri sisi tempat tidur. Niki mengerang tanpa suara. "Kenapa sih orang lagi sakit harus disuguhi PR dan catatan pelajaran?" tolaknya kesal. Nata tidak menjawab. Diulurkannya sebelah tangan untuk meraba kening Niki, merasakan panasnya. "Masih demam, nih," dia menganalisis, "udah makan obat? Buburnya udah dihabisin?" Niki memasang raut cemberut. "Nata cerewet, ih." Nata balas memasang muka berang. "Mau cepat sembuh, nggak?" Niki memang ingin cepat sembuh, karena kangen pada latihan cheers dan acara senam pagi sebelum kelas pertama setiap hari. Dia kangen makan bakso kuah superpedas Mbok Nah di kantin,dan mencicipi lemper ayam serta jajanan lainnya setiap jam makan siang. Ia bersin sekali, lalu sibuk menyeka hidung dengan selembar tisu. "Lagian kenapa sih, bisa sampai flu berat begini? Memangnya lo mandi hujan semalaman?" Nata melanjutkan, memberikan pertanyaan sebagai umpan untuk memancing cerita mengenai kejadian Sabtu lalu. Tapi, Niki malah tersenyum lagi, seakan-akan sedang mengingat kembali momen-momen manis yang hanya menjadi miliknya dan Oliver. "Kan, udah kubilang, mobil Oliver mogok jadi kita harus nunggu mobilnya diderek di tengah hujan. Udah, cuma itu." Dia menjawab dengan kurang meyakinkan, membuat Nata makin curiga.
"Cowok itu nggak macem-macem sama lo, kan?" Dipandang begitu, Niki jadi salah tingkah. Pipinya sedikit bersemu, tapi ia menggeleng mantap. "Enggak sama sekali. Oliver baik banget, kok. Pas kami lagi nunggu, dia ngasih jaketnya supaya aku nggak kedinginan. Ini pertama kalinya lho, Nat, ada cowok yang care banget sama aku." Enggan mendengar pujian mengena Oliver yang selalu mahabaik dan mahasempurna, Nata akhirnya mengalihkan pembicaraan, menyerahkan sebutir obat flu pada Niki yang meminumnya dengan ogah-ogahan. "Anna titip salam. Dia ada klub fotografi hari ini, jadi baru bisa menjenguk besok." Niki menyambut selembar foto yang dititipkan Annalise untuknya sambil tersenyum. Foto itu adalah foto yang diambilnya dengan kamera Lomo minggu lalu—saat Niki sedang kepedesan dengan sepiring pempek, dan Nata duduk di sebelahnya, ikut kerepotan memesankan segelas teh dingin. Di baliknya, tertulis get well soon dalam tulisan tangan Annalise yang rapi. "Aku bosan, Nat. Di rumah sepi, apalagi Acha juga pergi ke sekolah. Coba kamu dan Anna bisa bolos buat nemenin aku." "Huuu." Nata geleng-geleng mendengar usulan itu dan menyentil kening Nikidengan ujung jari. Tapi, tiba-tiba saja, dia teringat sesuatu. "Eh... tunggu sebentar, ya." Niki menyibakkan selimut dengan penasaran. Nata cepat-cepat menuruni tangga dan berlari ke rumahnya sendiri sebelum ke kamar Niki, terengah-engah dan mengepit satu set permainan Monopoli di bawah lengan. "Karena lo nggak bisa keluar, gue temenin main, deh." "Monopoli!" Niki berseru riang, ikut duduk di atas karpet sambil memasang papan karton dan menyusun uang-uang kertas di atasnya. Dia jadi ingat, dulu setiap salah satu di antara mereka sakit, mereka akan mengeluarkan permainan Monopoli dan bermain
berdua di dalam rumah. Kadang, Nata juga akan menyelinapkan es krim untuk Niki yang sedang sakit walau mereka tahu makanan tersebut dilarang. Nata dapat membaca senyum Niki itu, lalu berkata, "Setiap kali kita main Monopoli, lo selalu kalah." Sejak kecil begitu. Niki merebut dadu, lalu melemparnya asal di atas karpet. Angka tiga. "Itu kan karena aku lagi sakit, atau lagi kurang beruntung." Nata mengambil gilirannya. Angka enam. "Monopoli nggak ada hubungannya dengan keberuntungan. "Yang penting senang." Niki berargumen, lalu sibuk memajukan patung manusia plastik yang menandakan posisinya. "Itu, kan, intinya semua permainan?" Nata mengangkat bahu dan melangkah. Niki berseru heboh ketika masuk penjara, dengan boros membeli semua perhotelan tanpa banyak pikir, dan merengut jika kena denda, seolah lupa akan sakitnya. Diam-diam, Nata tersenyum sendiri melihat polah gadis itu. Saat-saat seperti ini adalah yang paling menyenangkan, ketika dia bisa memiliki Niki untuk dirinya sendiri. Pikiran yang agak egois, memang, tapi, itulah yang dia rasakan kini. *** Wish #20: bertemu Niki (Oliver) Oliver berhenti di depan rumah bercat gading itu, memandang ke arah jendela kamar lantai dua yang bertirai merah muda. Sambil mengusap hidung dengan sapu tangan, dia menekan bel. Otaknya penuh dengan wajah gadis itu. Senyumnya, tawanya, suaranya, juga sentuhan tangannya. Dia tidak sabar ingin bertemu lagi walau dalam keadaan seperti ini.
Pintu terbuka. Seraut wajah yang tidak asing menyambutnya, dari datar menjadi tidak ramah ketika melihat Oliver. "Niki ada?" Nata yang membuka pintu dengan terpaksa menjawab, "Ada di atas, lagi istirahat." Ada penekanan pada kata terakhir yang diucapkan dengan nada kurang senang. "Bisa ketemu sebentar?" Walaupun enggan, Nata mempersilakan Oliver masuk untuk menunggu dan ia menaiki tangga untuk memberi tahu Niki. Masing-masing memikirkan hal yang sama—kenapa dia bisa ada di sini? Tidak lama kemudian, Niki turun sendirian, mengenakan sehelai sweatshirt hijau muda dengan leggings hitam. Rambutnya tergerai dan wajahnya agak pucat walau dengan sedikit sapuan lipgloss pink di bibir. "Kamu sakit?" Oliver tidak tahan untuk tidak menyentuh pipinya, lalu merasakan hangat dari temperatur tubuh Niki yang meningkat. "Demam dan flu. Kamu?" Niki memperhatikan Oliver yang juga kelihatan lemas, dengan mata kuyu dan kantung hitam di bawah mata. "Sama." Mereka berdua tertawa geli, menertawakan nasib yang sama akibat berbagi beberapa jam di bawah hujan. "Kok, gak istirahat?"
"Mau ngecek nasib kamu." Niki merasa hatinya melambung. "Aku nggak apa-apa. Mendingan kamu pulang dan istirahat." "Kamu juga, tidur yang panjang." Tangan mereka bertaut, masing-masing enggak melepaskan genggaman. "Bye, Oliver." Oliver berdiri di depan pintu, lalu mengeluarkan setangkai mawar kuning dari sakunya, sedikit layu karena terlalu lama disimpan di dalam saku. "Buat kamu. Mawar kuning untuk menjenguk orang sakit." Niki menganggukkan terima kasihnya. Dia memandang Oliver masuk ke kursi belakang mobil yang dipandu oleh seorang sopir, lalu melambaikan tangan hingga mobil itu menghilang di tikungan. Dia menghirup aroma mawar kuning itu dalam-dalam, lalu tersenyum penuh makna. Nata bersembunyi di balik tangga, berusaha menguping dengan raut wajah masam. *** LOVE Wish #21: menghindari hari valentine (Nata) “Lo tahu gimana rasanya jatuh cinta?”
Hari Valentine sudah tinggal dua hari lagi, dan seisi sekolah heboh mempersiapkannya. Majalah dinding memuat artikel cinta lebih banyak dari biasanya, horoskop di radio isinya tentang asmara semua, dan yang paling parah lagi, seluruh ruangan di sekolah dihiasi dengan ornamen hati dan pita warna pink. Nata bosan melihaat warna itu di mana-mana. Kesal juga melihat oknum-oknum penyebar iklan yang menawarkan jasa mengantar bunga dan cokelat dari kelas ke kelas. “Kayak nggak ada kerjaan lain yang lebih bermutu aja,” begitu katanya setiap kali iklan-iklan sampah itu mengotori mejanya. Niki memutar mata, bosan mendengar gerutuan Nata yang nonstop menjelek-jelekkan hari Valentine. “Itu karena kamu nggak punya gebetan. Makanya, lebih ramah dikit dong, biar cewek-cewek nggak kabur.” Annalise tersenyum geli mendengar ejekan Niki, sedangkan Nata melengos. Dia tahu sejak dulu Niki suka bunga, berharap ada cowok yang memberikannya sekotak cokelat dengan pesan manis. Dia tahu Niki suka segala sesuatu yang romantis. Tapi, segala aksi romantisme itu tidak sesuai dengan dirinya. Tanpa sengaja, pandangan matanya menangkap tulisan di ujung pamflet merah yang terselip di halaman buku pelajaran. Secret Admirer katakan cinta pada cinta rahasiamu! Mukanya memerah dengan sendirinya. Tagline iklan itu membuatnya penasaran. Sialan, Nata memaki dalam hati. Kenapa jadi kepikiran terus? *** Wish #22: mengetahui rahasia Nata (Annalise)
Annalise sedang melewati rak-rak perpustakaan dengan setumpuk buku sastra Inggris di tangan ketika dia melihat Nata celingukan di sudut yang kosong. Ia ingin memanggil, tapi kelihatannya Nata sedang gelisah. Dengan hati-hati, Annalise berhenti dan mengamati Nata dari tempatnya berdiri, bersembunyi di balik rak kayu tinggi. Nata berhenti di hadapan sebuah kotak, lalu mengeluarkan selembar amplop biru dari kantong celananya. Sambil melongok ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada yang memperhatikannya di sana, ia memasukkan amplop itu ke dalam kotak dan segera berlalu dengan langkah terburu-buru. Annalise tidak sadar dia telah menahan napas. Ketika menyadari apa yang sedang Nata lakukan, entah mengapa hatinya berdegup tidak keruan. *** Wish #23: menikmati hari Valentine! xoxo (Niki) Niki merentangkan tangan lebar-lebar sambil menghirup udara segar. Langit pagi sangat cerah—biru dengan awan seputih kapas yang merentang di mana-mana. Hari ini hari yang sudah ditunggu-tunggunya, hari yang identik dengan warna pink, pernyataan cinta dan eksibisi kasih sayang. Beberapa kotak cokelat buatan tangan yang dikerjakannya semalam bersama Acha, Annalise, dan Mama sudah rapi terbungkus plastik bermotif hati. Penampilannya juga spesial untuk hari ini—serba pink dari ujung rambut hingga kaki. Dilihatnya Nata berjalan ke luar untuk mendorong sepedanya sambil menguap lebar-lebar. “Nataoo, kok sepedanya nggak dicat pink aja?” godanya sambil tertawa, disambut oleh pelototan Nata. Sahabatnya ini tidak suka pada ungkapan cinta yang ekstravagan, tidak suka pada public displays of affection, tidak suka pada yang namanya hari spesial untuk memperingati romantisme secara internasional. Lagu-lagu cinta yang sendu saja sudah membuatnya muak, apalagi ini? Niki tersenyum geli ketika memanjat boncengan sepeda Nata, lalu berbisik ringan di telinganya, “Happy Valentine’s Day, Nata.”
Hari ini akan menjadi hari yang istimewa, Niki yakin itu. *** Pelajaran pertama dimulai dengan gaduh karena murid-murid lebih bersemangat mengenai perayaan hari Valentine ketimbang pelajaran Kimia. Pak Marwan mulai kewalahan mencoba menenangkan isi kelasnya. Hari ini seluruh dunia blingsatan untuk sebuah hari yang menurutnya tidak lebih penting dari hitungan mol dan elektron partikel. Nata duduk di kursinya dengan gelisah. Tadi pagi, Niki sempat memeluknya erat dan mengucapkan selamat hari Valentine, bisikannya menggelitik kuping dan membuatnya merinding. Dia hanya bisa berpura-pura cuek dan mengangguk pasif begitu mendengarnya—walaupun ucapan itu membuatnya deg-degan setengah mati. Ada satu hal lagi yang membuatnya tak tenang—program secret admirer konyol yang akhirnya diikutinya. Hatinya mulai berdetak kencang ketika seorang wakil OSIS berseragam pink mengetuk pintu kelas mereka, disambut oleh sorak sorai murid-murid yang sudah tak sabar lagi. “Seperti kebiasaan kita dari tahun ke tahun, hari ini kita akan mengantarkan hadiah dari sang penggemar rahasia,” ujar kakak senior tersebut memulai dengan senyum. Di tangannya sudah ada beberapa kantong plastik yang penuh dengan hadiah dan surat, kebanyakan berbungkus kertas kado merah jambu. Ajang popularitas ini memang terkenal di SMU mereka. Setiap murid yang ingin menyampaikan rasa cinta tanpa mengungkapkan identitas dapat memasukkan surat bertuliskan nama pujaan mereka ke dalam sebuah kotak yang diletakkan tersembunyi di sekolah. Surat tersebut akan diberikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya pada hari Valentine. Nata selalu menganggapnya bodoh dan pengecut, sesuatu yang tidak ada gunanya—tapi toh dia melakukannya juga. Setelah memasukkan suratnya ke dalam kotak, rasanya ingin sekali mengambilnya kembali, tetapi tidak bisa. Untung saja tidak ada yang tahu dia turut berpartisipasi.
“Helena!” Ketika nama itu dibacakan, seisi kelas riuh rendah menyorakinya. Helena, yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, hanya tersenyum bangga dan maju untuk mengambil tumpukan surat dari penggemar-penggemarnya yang sebagian besar adalah murid-murid populer dari kelas sebelah. “Vanya!” Beberapa nama kembali dibacakan—Annalise bahkan mendapatkan lima surat, dan tanpa diduga Nata juga mendapatkan tiga. Niki tersenyum begitu mendengar namanya dipanggil, kemudian beranjak untuk menerima empat amplop yang dilem rapi. Nata melihat miliknya ada di dalam tumpukan itu, dan berusaha menahan diri untuk tidak menaariknya dari tangan Niki, lalu merobek-robeknya supaya perasaannya tidak ketahuan. Namun, dia hanya terpaku di mejanya, meremas erat-erat surat-surat miliknya yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. *** Annalise melihat Nata mengaduk-aduk kuah baksonya tanpa selera, lalu meletakkan sendok di tepi mangkuk. Sedari tadi, dia berusaha memulai percakapan, tapi Nata sepertinya tidak terlalu memperhatikan. “Nat, kok baksonya nggak dimakan?” Ketika melihat Nata masih diam saja, Annalise sedikit kehilangan kesabaran. “Nata!” Kali ini, untungnya Nata merespons. “Huh?” “Kamu kenapa sih?”
Nata tidak ingin mengakui bahwa kegilaan di hari Valentine ini sudah hampir mengganggu mentalnya juga. “Nggak apa-apa.” Annalise tersenyum maklum. “Kalau memang nggak ada apa-apa, kamu nggak bakalan bengong begini.” Nata menegakkan tubuh dan segera menyuap makanannya, baru sadar bahwa bahasa tubuhnya begitu mudah terbaca oleh Annalise. “Niki mana?” “Pulang duluan, ada janji dama Oliver.” Kuping Nata memanas mendengar nama itu disebut. “Lagi?” Ia tak tahan untuk tidak berkomentar sinis. “Hari ini, kan, hari Valentine.” Annalise beralasan seadanya. Dia tidak ingin bilang bahwa Niki sudah mempersiapkan segalanya hingga detail terakhir untuk kencan kali ini, termasuk sekootak cokelat buatannya sendiri yang sudah didekorasi secantik mungkin. Cokelat yang berbeda dari yang diberikannya pada Nata dan murid-murid lain di kelas, karena khusus untuk yang ini, Niki begadang untuk membuatnya. Nata mengangguk tanpa makna, menyeruput kuah baksonya tanpa kata-kata dan menatap lurus ke depan. Annalise menghela napas, lesu. Sejak melihat Nata memasukkan surat yang kini ada dalam ransel Niki, hatinya tidak tenang. Sering kali dia ingin mengaku saja bahwa dia menyaksikan aksi Nata itu, tapi setiap kali ingin buka mulut, dia kembali bungkam. Annalise kerap kali mengingatkan dirinya sendiri bahwa masalah ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Namun, harus diakuinya—ia kecewa ketika melihat surat itu diserahkan kepada Niki. Lalu dia ingin menertawakan dirinya sendiri keras-keras. Dasar bodoh, kamu kira surat itu akan ditujukan kepada siapa? Untuk kamu? Sejak awal, Annalise sudah menduga siapa
penerimanya, tetapi hal itu tidak menghentikan secercah harapan untuk menyeruak masuk ke dalam hatinya. Dan kini, ketika dia sudah yakin akan perasaan Nata pada Niki, dia cukup senang hanya dengan mendampingi pemuda itu memperjuangkan perasaannya. Ah, mungkin itu yang seharusnya dilakukannya. Memberikan dukungan, dan sedikit dorongan. “Nat.” Annalise menyentuh lengan Nata lembut, lalu menarik tangannya. “Menurutku, kamu harus jujur sama Niki.” Nata mengangkat muka, namun tidak segera menjawab. “Maksudnya?” Sebagai teman dekat mereka, Annalise merasa tidak bisa diam saja melihat keduanya tidak sepaham. Entah sudah berapa kali dia harus menengahi pertengkaran mereka ketika Nata uring-uringan karena Niki terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Oliver. Niki pun tampak adem-ayem saja, terlalu terhanyut dalam kisah cintanya sendiri untuk menyadari bahwa kecemburuan Nata punya alasan yang kuat. Annalise memutuskan bahwa basa-basi hanya akan membuat Nata kesal, jadi dia langsung ke topik pembicaraan sesungguhnya. “Aku liat kamu masukin surat ke dalam kotak secret admirer yang ada di perpustakaan.” Wajah Nata menegang. “Surat itu untuk Niki, kan?” Annalise mempertegas. Nata diam saja, raut wajahnya sulit dibaca—sebuah kombinasi antara rasa kesal, malu dan entah apa lagi. “Aku tau kamu sayang sama Niki—sesuatu yang lebih dari sekedaar persahabatan.” Nata tidak tahu bagaimana harus menjawab, sedikit terkejut karena Annalise yang biasanya memilih untuk diam dapat secara gamblang membeberkan rahasianya. “Jadi, gue harus gimana?” Ia bertanya setenang mungkin walau perasaannya sudah campur aduk. “Bilang sama Niki yang sesungguhnya, kalau kamu sayang dia.”
Nata mendorong mangkuknya jauh-jauh, benar-benar kehilangan selera untuk makan. Secara otomatis ia menampik, menggunakan alasan yang selama ini dipakainya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada yang berubah di antara mereka. “Gue dan Niki hanya sahabat, nggak lebih.” “Is that how you reallu feel?” Nata terdiam lagi, tidak tahu bagaimana harus menjawab. “Gue sendiri nggak tahu.” Akhirnya, dia berkaata lirih. Itu jawaban yang jujur. Nata tidak mampu mengartikan perubahan rasa yang dimilikinya untuk Niki. Dia tidak tahu sejak kapan dia mulai berdebar-debar setiap kali berdekatan dengan sahabat perempuannya itu. Dia tidak mengerti mengapa dia merasa kesal ketika Niki bercerita tentang cowok-cowok yang mendekatinya, marah pada teman-teman laki-lakinya yang menggosipkan Niki. Dia tidak tahu mengapa perasaannya terombang-ambing seperti ini. Sukakah? Cintakah? Bukankah Nata kebal terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan cinta? Dia selalu menganggap jatuh cinta sebagai sesuatu yang bodoh dan menyebalkan, yang membuat orang kehilangan akal sehat dan jungkir balik karenanya. Ia merasakan Annalise memperhatikan perubahan raut wajahnya, lalu tersenyum simpul. “Perasaan semacam ini wajar kok. You just have to fight for it.” Untuk pertama kalinya hari ini, Nata mendongak dan berhenti menghindari tatapan Annalise. “Gue nggak bisa,” desisnya. Semuanya tidak semudah itu. Nata dan Niki—mereka sudah terlalu lama bersahabat, dan Nata tahu Niki tidak ingin ada apa pun yang berubah di antara mereka. Dia pun tidak ingin persahabatan mereka goyah hanya karena ada cinta yang menyeruak secara sepihak. Annalise membalas tatapannya. “Cinta itu nggak memiliki, Nat. Semua orang bebas merasakannya, menyimpannya. Tapi, kalau kamu terlalu takut untuk mengakuinya, selamanya kamu bisa terperangkap di dalamnya.”
Wish #24: sebuah pertanyaan (Niki) & sebuah jawaban (Oliver) Niki memeluk karangan mawar merah segar di hadapannya, sesekali menunduk untuk menghirup aroma harumnya. Dia tersenyum lebar kepada Oliver yang sedang menyetir, sebelah tangannya menggenggam jemarinya sepanjang perjalanan pulang. Niki ingat beberapa tahun yang lalu, dia pernah dengan polos bertanya pada Nata, bagaimana rasanya jatuh cinta yang sesungguhnya? Kini dia sudah tahu jawabannya—persis seperti apa yang diimpikannya selama ini. Bahagia. Begitu senangnya hingga tidak bisa berhenti tersenyum. Berdebar-debar hingga mau pingsan rasanya. Oliver sering memujinya. Tidak pernah ada cowok yang begitu blak-blakan memberi tahu Niki bahwa ia cantik, sekalipun belum sempat berganti pakaian, masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut tergerai seadanya, juga wajah yang hampir polos tanpa make-up. Saking terburu-burunya, sore ini Niki hanya sempat mengulaskan pelembap bibir berwarna pink, juga mengoleskan sedikit cologne bayi beraroma lembut kesukaannya. Niki menunduk, wajahnya berser-seri. Di hadapan Oliver, dia terus-menerus tersenyum bodoh dengan wajah hangat yang memerah. Dia ingin berhenti memasang ekspresi konyol seperti itu, tapi dia tidak mampu. Rasanya dia sudah tidak bisa menahan kebahagiaan ini sendirian. Mungkin ini terdengar aneh, tapi Niki ingin cepat-cepat pulang dan memberi tahu segalanya pada Nata. Mobil berhenti di depan rumahnya. Oliver berdiri di depan pintu mobil yang terbuka, seakan menghalanginya keluar. “Niki, aku mau ngomong sesuatu yang penting.” Niki menatap Oliver, menunggu apa yang ingin dikatakannya dengan hati berdebar. “Sejak pertama kali melihat kamu, aku selalu merasa ada sesuatu mengenai kamu yang sangat istimewa..., seakan-akan kamu bersinar di antara orang-orang lain. Aku senang bisa kenal sama kamu, ngobrol dan jalan bareng kamu.”
Oliver menelan ludah, terdiam sejenak seakan sedang mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Kamu... mau jadi pacarku?” Lidah Niki kelu. Dia ingin menjawab, ingin meneriakkan satu kata itu keras-keras, tapi otaknya kosong. Dengan lemas, Niki mengangguk, genggamannya pada ikatan mawar-mawarnya melonggar. Ketika Oliver merunduk untuk mengecup bibirnya, Niki memejamkan mata dan membisikkan jawaban itu untuk mereka berdua. *** Wish #25: sebuah pernyataan (Nata) Nata menunggu di atas trampolin hingga lewat jam makan malam. Matahari sudah terbenam dua jam yang lalu, dan perutnya sudah keroncongan, tapi Niki belum pulang juga. Sesekali deru mesin mobil atau langkah kaki membuatnya terjaga, namun Niki tidak kunjung datang. Kata-kata Annalise tadi siang terus mengganggu pikirannya, membuatnya bingung dan serba salah. Dia sudah memikirkannya matang-matang, memainkan berbagai jenis skenaNata yang mungkin terjadi, juga mempertimbangkan masak-masak segala kemungkinan yang ada jika dia mengakui perasannya pada Niki. Dia rela mengambil resiko itu. Dan yang paling penting, Nata ingin berhenti berpura-pura. Ki, gue sayang lo. Nata mengakuinya. Entah sejak kapan, entah mengapa dan entah bagaimana, dia tidak tahu. Yang diketahuinya adalah, dia mencintai Niki, dan apa pun yang terjadi, dia akan terus menyayanginya seperti itu. Apa pun jawabannya nanti, Nata hanya ingin melepaskan pernyataan itu dari hati kecilnya. Tidak ingin membohongi Niki lagi dengan kedok persahabatan, sedangkan yang diinginkannya adalah merengkuh pundak mungil itu dalam satu dekapan hangat.
Deru mobil terdengar di kejauhan. Nata memasang telinga dan menunggu. Tidak lama kemudian didengarnya langkah kaki Niki mendekat. Sebelum kehilangan keberanian, Nata buru-buru berkata. “Ki, gue pengen bilang sesuatu sama lo. Penting.” Niki mengambil tempat di sebelahnya, memeluk lutut dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tampaknya dia tidak memperhatikan raut wajah Nata yang cemas, juga tidak mendengar urgensi dalam suaranya. “Aku juga, Nat. Tahu nggak? Barusan Oliver minta aku jadi pacarnya, dan aku bilang iya.” Senyumnya melebar, lalu Niki menoleh dan menatap Nata dengan raut tidak percaya. “Can you believe it? Aku dan Oliver. Rasanya nggak nyangka, sesuatu yang dari dulu kuimpikan sekarang jadi kenyataan. Ternyata Prince Charming memang bener-bener ada. Love at the first sight betul-betul ada.” Nata hanya bisa menelan kembali kata-kata yang belum sempat diucapkan. Momen yang dipersiapkannya sejak tadi lenyap begitu saja, tergantikan oleh euforia sepihak yang membuatnya kebas. “Oh ya?” Niki tertawa kecil. “Kok, ekspresinya datar, sih? Mestinya, kamu seneng, Nat, sahabatmu ini udah dewasa. Udah bisa nemuin kebahagiaannya sendiri. Sekarang nggak akan manja dan ngerepotin kamu lagi untuk urusan-urusan kecil, dan kamu nggak usah ngomel lagi karena aku lelet atau berat-beratin boncengan sepeda kamu setiap hari.” Nata tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya, Nata ingin sekali mengatakan bahwa Oliver bukanlah orang yang tepat untuk Niki, juga ingin menyampaikan perasaannya sendiri. Tapi, ekspresi gembira di wajah Niki membuatnya bungkam. Kata-kata yang akan diucapkannya hanya akan melukai gadis itu, dan Nata tidak ingin melakukannya. Dipaksakannya seulas senyum. “Jadi, gue harus bilang apa, nih? Selamat...?”
Niki mengangguk bahagia. “Kamu orang pertama yang kukasih tahu.” Ditariknya Nata mendekat dan dipeluknya eraat-erat. “Thanks ya, Nata. Kamu memang teman yang baik walau suka nyolot, galak dan sensi. Selamanya kamu akan jadi sahabat Niki yang terbaik, ya kan?” Nata tersenyum pahit, untuk segala sesuatu yang sudah terlambat. Niki menggumam pelan, masih dengan Nata dalam rangkulannya. “Inget janji kita waktu itu?” Nata ingat. “Waktu itu gue bilang kalau lo pasti lebih dulu jatuh cinta dibanding gue.” Niki terSarah. “Kamu bener, Nat. Dan ternyata jatuh cinta itu bener-bener menyenangkan. Kamu akan ngerti maksudku kalau kamu mengalaminya nanti.” Nata memandang Niki yang melonjak-lonjak ringan di atas trampolin, wajahnya tidak pernah tampak sebahagia sekarang. Lo salah, Ki. Yang duluan jatuh cinta di antara kita ternyata bukan lo, tapi gue. ** Wish #26: a cure for broken hearts (Annalise) Annalise berdiri di depan pagar rumah Nata, menggenggam erat sekotak cokelat terakhir. Entah apa yang membawanya di sini, dia sendiri masih belum bisa memutuskan apa yang akan dikatakannya pada pemuda itu jika mereka bertemu nanti. Dengan ragu, ia menekan bel, lalu merasa serbasalah ketika Dhanny yang membukanya. “Cari Nata?” tanyanya, sambil mengusap rambut yang masih setengah basah dengan sebelah tangan.
Annalise mengangguk. “Dia ada?” “Lagi semedi di kamar, sepertinya mood-nya kurang bagus. Kamu... tau kenapa?” “Mungkin.” Annalise mengulas senyum melihat ekspresi Dhanny yang khawatir. Ia meniti tangga ke kamar Nata, lalu mengetuk pintunya dua kali. Ketika tidak ada yang menjawab, dia memutar gagang dan beranjak masuk. Nata sedang duduk di atas karpet, memetik senar gitar dengan asal-asalan. “Boleh masuk?:” Nata mengangguk samar. Annalise duduk di sebelahnya dan meletakkan kotak cokelat berpita putih itu di atas meja. “Buat kamu. Aku menyisakannya semalam.” “Jadi ini cokelat sisa?” Nata separuh bercanda, tapi nadanya tanpa humor. Ia lalu mengubah topik pembicaraan; sepertinya hal itu sudah mengganggu pikirannya sejak tadi. “Tadi... gue ketemu Niki.” Nata tidak perlu melanjutkan kalimatnya karena Annalise sudah tahu. Barusan Niki meneleponnya untuk bercerita panjang lebar mengenai Oliver. Karena itulah dia buru-buru datang ke sini. “Sejak dulu Niki pengen punya cowok yang sempurna, yang nggak takut untuk bilang sayang dan ngasih berbagai macam kado. Dan, gue bukan tipe cowok seperti itu.” Nata menjauhkan gitarnya dan tersenyum pada Annalise. “Thanks buat nasihat lo, Ann. Gue tau lo care sama gue dan Niki. Tapi kita berdua Cuma sahabat, nggak bisa lebih dari itu. Nggak akan ada yang berubah.” Annalise bersandar pada tepi tempat tidur Nata, pandangannya menerawang jauh. “Kamu nggak bakalan nyesel?”
“Kalo dia seneng, itu udah cukup buat gue.” Ekspresi di wajah Nata membuatnya merasa sedih. Kata-kata penghiburan yang ingin dikatakannya terasa klise dan kaku di lidah sehingga Annalise tidak jadi mengatakannya. Nat, apa Cuma Niki yang bisa bikin kamu tersenyum? Apakah nggak ada orang lain lagi yang mampu menggantikan posisinya di hati kamu? Annalise ingin menanyakannya. Ingin mengatakan bahwa dia mengerti perasaan Nata, karena dia pun merasakan hal serupa. Tapi, dia malahan berusap, “Apa pun yang terjadi, kita bertiga masih sahabat. Itu yang penting.” Nata tersenyum sendu sebagai balasannya. “Iya, kita bertiga selamanya temenan.” Tanpa sadar, sebutir air mata meluncur turun, dan Annalise mengusapnya sebelum Nata sempat melihat. *** Ifu duduk di depan meja belajarnya, dengan lampu tidur yang dinyalakan remang-remang supaya tidak mengganggu Acha yang sedang terlelap. Sudah hampir tengah malam, tapi dia masih belum bisa tertidur. Rasanya seluruh kebahagiaan hari ini terlalu menyesakkan sehingga dia terlalu bersemangat untuk istirahat. Besok pasti seluruh tubuhnya pegal-pegakl dan jadi mengantuk di kelas. Dia baru saja menghabiskan satu jam terakhir bercerita pada Acha mengenai Oliver, sampai adiknya itu bosan dan tertidur. Bunga-bunga pemberian Oliver sudah ditata rapi di dalam sebuah vas kaca, beberapa tangkai yang sudah layu bahkan sudah dikeringkan untuk disimpan. Niki membelai kelopaknya yang sehalus beludru sembari tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Empat surat dari penggemar rahasianya yang didapatnya di sekolah tadi siang masih belum sempat dibuka. Dikeluarkannya dari ransel dan ditelitinya satu per satu. Salah satu dari keempat surat itu menarik perhatiannya karena amplopnya yang biru di antara warna merah jambu. Amplop itu sederhana, tanpa nama, dan di dalamnya hanya ada selembar kertas tipis. Isinya adalah sepotong sajak yang diketik rapi. Niki bertopang dagu di atas meja, menggunakan remang cahaya kuning untuk membacanya. Bulan emas tinggal separuh Bintang-bintang sangat pemalu Kau terduduk di sampingku Aku lantas mencintai bayanganmu Kau menoleh untuk tersenyum Hatiku berserakan... lebur dan lepuh *** ACCIDENT Wish #27: memenangkan kompetisi basket (Oliver) Niki takjub bukan main saat ia pertama kali menginjakkan kaki di gerbang depan sekolah Oliver. Pasalnya, sekolah elite yang selama ini hanya dikenalnya melalui kabar burung dan omongan orang-orang ternyata memang seperti yang digosipkan. Pagar utamanya tinggi dan kokoh, dipoles mengilap tanpa karat. Pekarangan sekitarnya asri, seperti kampus-kampus luar negeri yang dipenuhi pohon rindang dan kursi taman yang terbuat dari tembaga. Lapangannya dua kali lebih besar dari milik sekolah Niki, dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang indoor yang dapat dilihat melalui kaca transparan besar. Belum lagi gedung-gedungnya yang bercat kuning pucat, semuanya tinggi dan rancangan modern, pastinya karya arsitektur ternama. Masing-masing ruang
kelas memiliki jendela tinggi yang transparan, terlihat seperti rumah kaca dengan ruang belajar luas, lengkap dengan loker pribadi. “Pasti mahal sekali ya, sekolah di sini?” celetuknya polos. Oliver, yang baru saja memarkir mobil di area yang tak kalah lapang, ikut tersenyum. “Yang sekolah di sini kebanyakan anak-anak diplomat, selebritas atau warga negara asing,” jawabnya sambil menenteng duffle bag berisi perlengkapan olahraga./ “Yuk, masuk. Jangan bengong aja di sana.” Niki berusaha keras terlihat biasa di dalam sekolah itu. Bahkan, siswa-siswinya tampak amat modis dalam seragam serbaputih. Banyak murid berambut pirang dan bermata biru di sana-sini, mengingatkannya akan Annalise. Oliver sepertinya sangat populer, karena mereka semua menyapanya dan tak sedikit yang menepuk pundaknya untuk mengucapkan selamat bertanding. “Ayo.” Oliver menggandeng tangannya dan menariknya menuju lapangan basket indoor sekolahnya. Gestur posesif ini membuat Niki senang. Lapangan basket indoor yang luas sudah dipadati orang. Hari ini, tim basket SMU Pelita akan bertanding dengan tim SMU Aksara yang tahun lalu memenangi kompetisi regional. Niki tahu Oliver sudah berlatih keras, dan setiap hari yang diomongkannya hanya pertandingan ini. Sebagai bentuk dukungannya, Niki menawarkan diri untuk datang memberi semangat. Bangku-bangku penonton sudah hampir penuh. Niki menyelinap ke baris ketiga, duduk di ujung sembari memperhatikan Oliver mengenakan jersey putih emas di atas kausnya, lalu membungkuk untuk mengikat tali sepatunya. Tim lawan juga sudah siap, beberapa di antaranya bahkan sudah berlaga di sudut lapangan untuk melakukan latihan kecil. Niki merasa kikuk dalam seragam sekolahnya yang beda sendiri dengan orang-orang di sekelilingnya. Bandana biru muda yang melilit di kepala dan gelang-gelang oversized plastik berwarna pelangi di pergelangan tangannya membuatnya lebig self-conscious lagi, kekanakan dibanding dengan aksesoris platina dan jam bermerek milik siswi-siswi yang duduk tidak jauh darinya.
Tapi, lalu Oliver menangkap pandangannya dan mengedipkan sebelah mata, tidaklupa melambaikan tangan dengan senyum percaya diri. Niki merasa jauh lebih baik setelahnya, walau beberapa gadis berbalik memelototinya dengan sengit. Dia sudah tahu Oliver adalah salah satu That It Guy di sekolah ini—dan dia merasa sangat, sangat beruntung. Peluit dibunyikan dan anggota masing-masing tim berlari kecil ke tengah lapangan. Bola basket dilempar tinggi-tinggi, dan permainan pun dimulai begitu Oliver berhasil menyentuh bola sedetik lebih cepat dari ketua tim basket lawannya. Para pemain bergerak cepat, masing-masing mengambil posisi dan mengikuti arah bola dengan lincah. Decit sepatu dan dentuman bola berbaur dengan seruan dan bunyi peluit. Niki menonton dengan tegang, ikut berseru riuh rendah ketika skor pertama jatuh ke tim Oliver. Mata pemuda itu sama sekali tidak meninggalkan bola, dengan seksama memperhatikan kinerja timnya dan tidak ragu meneriakkan instruksi. Sesekali,dia mengelap keringatnya dengan ujung kaus, gayanya yang tenang dan penuh kalkulasi membuat tim lawan gerah. Baru saja permainan berlangsung lima belas menit, handphone Niki bergetar di dalam tasnya. Terganggu dan tidak berkonsenterasi, Niki membaca pesan singkat yang barusan masuk. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika otaknya mencerna kalimat pendek itu. Sender: Annalise Ki, Nata kecelakaan. Sekarang masuk rumah sakit. Tanpa banyak pikir, Niki melesat dari bangkunya dan berlari ke arah pintu keluar. Dengan panik, ia memanggil taksi dan meminta pengemudinya untuk ngebut menuju rumah sakit. Yang dibayangkannya hanya Nata yang terbaring di atas ranjang rumah sakit, darah memenuhi seprai putihnya. Dia berusaha mengenyahkan pikiran itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat. “Pak, tolong lebih cepat, ya,” pintanya, berdoa dan berdoa untuk keselamatan Nata. ***
Wish #28: supaya Nata baik-baik saja (Niki) Niki menghambur ke dalam ruangan tempat Nata sedang dirawat, menemukan sahabatnya sedang dalam posisi duduk, menggunakan dua bantal besar sebagai penyangga. Perban besar menutupi danhi dan beberapa bagian tubuh lainnya. “Hai, Ki.” Teguran santai itu tidak membuat Niki lega, malahan semakin panik. “Kamu nggak apa-apa kan, Nat? Mananya yang sakit?” Niki membalikkan tangan Nata yang dibalut dengan hati-hati, mencoba mencari bekas luka. “Aduh... kok bisa begini, sih?” “Segitu khawatirnya sama gue?” Nata menggoda, senyumnya senang, bertukar pandangan dengan Annalise yang juga tersenyum geli di sampingnya. “Serius, nih! Yang mana yang luka?” Senyum Nata semakin mengembang. “Cuma lecet-lecet kecil aja, kok. Yang parah di sini.” Ia menunjuk keningnya, “kena enam jahitan.” “Hah?” Niki merinding mendengarnya. “Kok bisa?” Annalise ikut bicara untuk menenangkan Niki. “Nata terserempet mobil sampai jatuh dari sepedanya, tapi hanya lebam dan luka ringan di sekujur tubuh. Luka di keningnya cukup besar, tadi sampai berdarah-darah banyak sekali, tapi untungnya sekarang udah nggak apa-apa.” Niki mengembuskan napas lega. “Bawa sepedanya nggak hati-hati, ya?” tuduhnya curiga. “Ngebut, kan?”
Nata mendelik, kesal dituduh yang bukan-bukan. “Enak aja. Yang ngebut tuh mobil yang nyerempet gue, nikung sembarangan lagi,” gerutunya. “Lo dari mana aja sih, kok datengnya lama?” Mendengar pertanyaan itu, mendadak saja Niki teringat pada apa yang ditinggalnya. Oliver, pertandingan basket, lapangan SMU Pelita. Gawat! Dia benar-benar lupa sama sekali. “Tadi aku lagi nonton pertandingan basket di sekolahnya Oliver.” Niki menggigit bibir dengan rasa bersalah. Mendengar nama Oliver disebut, raut Nata berubah masam, tapi dia tidak berkata apa-apa. Sudah ada lima missed call di handphone Niki yang tidak disadarinya. Niki beranjak keluar ruangan dan menekan nomor Oliver dengan speed dial. Panggilannya terjawab dalam satu kali dering. “Halo? Niki?” Suara Oliver sulit terdengar dalam kehebohan riuh-rendah di ujung telepon. “Kamu di mana, kok tiba-tiba menghilang?” “Sori... tadi aku dapat SMS kalau Nata kecelakaan, jadi aku langsung ke rumah sakit dan lupa ngabarin kamu.” “Oh.” Oliver terdengar kecewa. “Dia nggak apa-apa?” “Luka-luka ringan, dan ada luka yang dijahit.” “Kamu bakal balik ke sini, kan?” Nada suaranya penuh harapan. “Kita menang lho, sayang kamu nggak lihat.”
“Sori,” Sekali lagi Niki meminta maaf, “kita rayainnya besok aja, ya? Aku yang traktir deh.” Ia kian merasa bersalah, apalagi ia sama sekali tidak melihat akhir dari pertandingan itu. Kini dia malahan menolak ajakan perayaan kemenangan Oliver. Hening. Agak lama sebelum Oliver menjawab. “Kamu... mau nemenin Nata di sana, ya?” “Iya,” jawab Niki jujur. “Kasihan Nata sendirian di rumah sakit, belum bisa pulang karena masih harus check-up.” “Oh..., ya udah.” Telepon ditutup. *** Wish #29: Niki (Nata) Rumah sakit setelah lewat visiting hours sangat lengang. Lorong-lorongnya sepi, hanya sesekali terdengar bunyi pintu kaca didorong, dan langkah kaki serta bisikan kecil para dokter dan suster yang sedang jaga malam itu. Dua tempat tidur lain yang berbagi ruang dengan Nata kosong tanpa pasien, membuatnya lega karena memiliki lebih banyak privasi. Nata menatap Niki yang sedang tertidur sambil menelungkupkan tangan di tepi tempat tidurnya. Lembaran kartu Uno berserakan di sampingnya, belum sempat dibereskan. Tadi mereka bermain kartu untuk melewati waktu, tapi yang ada malah Niki kelelahan dan dengan mudah terlelap dalam hitungan menit tanpa pembicaaraan. Nata tidak punya masalah dengan itu, dia cukup senang memperhatikan Niki beristirahat dengan muka angelic seperti sekarang.
Dia gembira karena Niki segera datang ke rumah sakit, meninggalkan pertandingan basket Oliver yang sepertinya cukup penting. Dia juga senang Niki tidak langsung pulang ke rumah atau kembali menemui Oliver, malah mengajukan diri untuk menemaninya semalaman, menggantikan Annalise dan keluarganya yang sudah lama menungguinya di rumah sakit. Dalam hati, dia bersorak—ini artinya Niki memilihnya. Pikiran kekanakan itu membuatnya tak berhenti tersenyum, hampir sama sekali melupakan mobil yang tadi sore menyerempetnya hingga terjatuh ke tepi jalan, membuatnya terpaksa menghabiskan semalam di rumah sakit. “Gue sayang lo, Ki. Sayang banget.” Kata-kata itu belum pernah diucapkannya benar-benar, tetapi sama-sekali tidak terasa janggal. *** Wish #30: menemani Nata di rumah sakit (Annalise) Annalise mengendap masuk ke ruang tepat Nata dirawat, meraih gagang pintu dan memutarnya sepelan mungkin supaya tidak menimbulkan suaara. Barusan dia berbohong pada suster bahwa dia adalah adik Nata, supaya bisa diizinkan masuk. Sebuah kantong plastik bening berisi beberapa batang es krim kesukaan Nata sudah dibelinya dalam perjalanan ke sini. Nata pasti kebosanan bukan main di kamarnya, hanya ditemani satu unit televisi yang menyajikan siaran sinetron sepanjang malam. Niki bilang dia akan pulang pukul delapan, jadi Annalise bermaksud menggantikannya untuk menemani Nata. Langkahnya terhenti. Dia melihat pemuda itu terbaring di atas tempat tidur dalam pakaian rumah sakit berwarna biru muda, di wajahnya sebuah ekspresi lembut yang sulit dijelaskan. Lalu, Annalise melihat Niki yang sedang terlelap, dan sayup-sayup mendengar kalimat yang dikatakan Nata. Dan, dia mengerti. Ia mengambil beberapa langkah mundur yang agak terburu-buru, lantas menabrak seseorang di depan pintu. Ketika menoleh, Annalise bertatapan langsung dengan Dhanny.
*** Wish #31: membaca pikiran seseorang (Dhanny) Dhanny menyandang tas berisi pakaian dan handuk kotornya setelah dua jam penuh bermain futsal. Dia melangkah masuk ke dalam rumah sakit untuk menjenguk adik satu-satunya yang hari ini bermalam di sini. Kasihan, pasti suram banget hidupnya di sini, begitu putusnya, jadi ia pun membawakan beberapa jilid komik baru kesukaan Nata untuk santapan malam ini. Lumayan untuk melewati bosan. Di lantai tiga, dia bertemu dengan seorang suster yang menghalangi jalannya. “Maaf, Dik, jam besuk sudah habis.” “Saya kakaknya,” Dhanny berkata, menunjuk bawaannya, “Saya Cuma sebentar kok, hanya mau membawakan barang.” Suster itu tampak ragu, tetapi luluh melihat senyum Dhanny yang memohon. “Ya sudah, tapi jangan lama-lama ya. Barusan adik perempuannya juga datang berkunjung, mungkin sekarang masih ada di dalam.” Adiknya? Dhanny tidak habis pikir, tapi dia diam saja dan segera berjalan ke kamar rawat Nata. Baru saja ia ingin masuk, tapi pintu terbuka dan muncul salah satu teman Nata—gadis bule itu—dengan ekspresi tidak keruan. Dhanny mengingat namanya. “Annalise?” “Anna.” Dia mengangguk singkat, masih tampak terkejut.
“Ada apa? Nata ada di dalam, kan?” Sebelum Annalise mampu merangkai kata untuk menjawab, Dhanny menjulurkan kepala dan melihat adiknya, yang sedang menarik selimut miliknya sendiri untuk menghangatkan Niki yang sepertinya sedang pulas. “Nggak mau masuk?” Annalise menggeleng. “Aku mau pulang saja.” Alvim mengamati perubahan raut wajah Annalise, tiba-tiba saja mengerti apa yang membuat gadis ini berubah pikiran begitu saja. Digosok-gosokkannya kedua telapak tangan yang mulai dingin karena sejuknya malam. “Kuantar pulang, ya?” Melihat Annalise mempertimbangkan ajakannya dengan ragu, senyum Dhanny mengembang. “Aman kok, pasti selamat tiba di rumah. Tapi sebelummnya, temenin aku makan dulu sebentar.” Annalise terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan senyum kaku dan mengikutinya menuju 24-hour café di lantai bawah. “Percaya atau tidak, rumah sakit ini punya café dengan makanan yang enak banget, walaupun banyak orang bilang makanan rumah sakit nggak bisa dimakan sama sekali.” Dhanny memilih runa casserole hangat dan secangkir espresso, lalu memilih sebuah meja di sudut yang agak jauh dari pintu keluar. Dilihatnya Annalise hanya memesan semangkuk sup krim asparagus dan segelas teh tawar hangat sehingga ia memotong sedikit makananannya dan meletakkannya di piring gadis itu. “Kamu belum benar-benar mengenal yang namanya makanan enak kalo belum nyobain ini.” Sekali lagi, Annalise mengulas senyum tipis, lalu menyesap minumannya. “Di New York ada sebuah kedai yang menjual kudapan seperti ini. They have the best burritos and casserols in town.” Dhanny mengunyah makanannya tanpa suara. “Kamu kangen New York?” Ekspresi Annalise melembut ketika menjawab. “Kadang-kadang. City view di sana sangat indah, terutama Natal di daerah Rockefeller.”
“Kamu pernah memotretnya?” Annalise mendongak, seakan terkejut ditanya demikian. “Pernah, beberapa kali.” Senyum Dhanny melebar. “Kapan-kapan boleh kulihat?” Annalise memiringkan kepala, mengamati pemuda yang begitu ramah walaupun belum pernah benar-benar berkenalan. “Kamu juga suka fotografi?” “Ah, ya. Sebenarnya hanya belajar secara otodidak. Lebih tepatnya bisa dibilang hanya pengagum.” “Pengagum pun harus ngerti fotografi untuk bisa benar-benar mengapresiasinya.” “Betul, makanya aku kagum melihat hasil fotomu waktu pameran tempo hari. Foto-foto itu punya nyawa, terutama foto seorang anak kecil yang sedang tertawa di balik air matanya.” Annalise menunduk, tidak menyangka Dhanny masih mengingat foto-fotonya yang dipajang untuk pensi bulan lalu. “Nata juga bilang begitu... tentang foto-fotoku.” “Kamu dan Niki adalah dua orang yang oenting buat adikku.” Ketika Annalise memandangnya dengan bingung, Dhanny menjelaskan. “Sejak kecil, Nata benci sama yang namanya perempuan. Dia paling ogah deket-deket dengan perempuan, bahkan cenderung menyendiri dibanding bergaul dengan teman-teman seumutnya. Nata orangnya susah bergaul, nggak terbuka dan nggak gampang percaya sama orang. Karena sifatnya ini, orang-orang jadi males ngedeketin, karena mereka sulit ngerti dia. Waktu kecil, temen-temen sekelasnya nggak ada yang mau main sama Nata. Nata juga nggak pernah mau berbagi mainannya sama orang lain. Cuma Niki yang keukeuh ngajak dia main bareng, naik sepedalah, main bonekalah, sampai nangkep jangkrik di pinggir kali. Walau dicuekin Nata berkali-kali, Niki nggak nyerah atau pun marah.”
Dhanny tersenyum mengingat kejadian itu. Niki dengan senyum lebar dan gigi ompong terus-menerus berjongkok di samping Nata, tidak peduli bahwa anak cowok itu tidak memedulikannya dan menyembunyikan seluruh mainannya dari jangkauan Niki. Setiap sore, Niki tetap datang ke rumahnya dan berteriak dengan lantang. “Nata, main yukkk!”, sampai akhirnya adiknya itu memberikan satu mobil mainannya kepada Niki. “Mungkin yang dibutuhkan Nata adalah orang-orang percaya sama dia. Sahabat seperti kamu dan Niki.” Melihat Annalise termenung memikirkan perkataannya, Dhanny bangkit dan tersenyum pada Annalise. “Yuk, kita pulang.” *** MAMA Annalise terjaga dari tidur lelapnya ketika mendengar ribut-ribut di luar kamar. Terang dari lampu ruang keluarga menyisip masuk melalui celah-celah pintu, membuatnya membuka mata untuk melirik ke arah jam weker yang ada di tepi tempat tidurnya. Hampir tengah malam. Ia bangkit dan mengucek mata yang masih sarat akan kantuk, lalu menyeret langkah untuk melihat siapa yang malam-malam begini masih terjaga. Ternyata Tante Nadja sudah mendahuluinya, kacamatanya yang bersiluet tegas terlihat kurang cocok dengan rambut yang berantakan dan muka mengantuk. Annalise berusaha membiasakan pandangannya pada terang yang tiba-tiba menyala, dan melihat sebuah sosok di balik pintu. Perempuan itu mengenakan mantel dengan gaun selutut dalam siluet warna krem, serta sepasang boots suede berwarna senada. Rambutnya diikat dalam sebentuk chignon longgar, dengan kacamata diangkat ke atas seperti bando. Tingginya tidak kurang dari seratus delapan puluh sentimeter, terlihat semakin jenjang dengan hak sepatu yang runcing. Bunyi yang ditimbulkannya cukup membuat Annalise tersadar dari keterkejutannya. “Mama?!”
Tantenya tampak sama kagetnya dengan dirinya. Mereka berdua sama-sama masih mengenakan piyama tidur, dengan keadaan yang disoriented, terlihat seperti dua orang kebingungan yang terkejut luar biasa. Mereka melongo melihat Mama dengan ribut membuka pintu dan menarik masuk kedua kopor besarnya. ”Surprise!!” Mama merentangkan tangan lebar-lebar, tersenyum senang melihat kekagetan yang telah disebabkannya. Beliau berhenti dan memandang Annalise lekat-lekat. Annalise tidak bergerak saat jemari Mama mengusap helai-helai rambut yang berantakan di keningnya, lalu mendekapnya erat. Harum parfum Mama masih tidak berubah—Miracle dari Lancome. Rasanya sudah lama sekali, tetapi anehnya bau itu masih tidak asing di hidung Annalise. Ia memejamkan mata dalam dekapan Mama, terlalu terkejut untuk membalas pelukannya. *** Wish #32: mama untuk tetap tinggal (Annalise) Sudah beberapa hari ini Annalise tidak henti-hentinya tersenyum, tidak kalah dengan Niki yang masih berseri-seri sejak peresmian hubungannya dengan Oliver. “Kalau ada di samping kalian, gue keliatan kayak manusia paling murung di dunia,” begitu komentar Nata ketika melihat kedua sahabatnya memasang ekspresi gembira yang identik. Annalise bertukar pandang dengan Niki dan mereka berdua menyeringai. Nata dan Niki adalah orang pertama yang diberitahukannya mengenai kepulangan Mama beberapa hari yang lalu. Rumahnya tidak lagi penuh dengan kesunyian yang sering kali mengisi percakapan, kini sarat dengan obrolan yang bermakna untuk melepas rindu. Pada pagi hari setelah Mama kembali, Annalise bahkan mengecek kamar Mama
untuk memastikan bahwa kejadian semalam bukan hanya imajinasinya. Bertapa leganya saat menemukan Mama di balik selimut, raut damai dalam nyenyak tidurnya. Annalise tidak pernah berharap lebih dari ini. “Mamamu sekarang akan tinggal di Jakarta?” Ketika Nata menyeletukkan pertanyaan sederhana itu, Annalise terhenyak. Dia tidak berani menanyakan apakan Mama akan tinggal lebih lama di Jakarta kali ini. Dia tidak tahu apakah Mama akan segera terbang ke luar negeri lagi untuk pekerjaan, lantas tidak kembali beberapa bulan lamanya. Dia juga belum sempat bertanya mengapa Mama melupakan hari ulang tahunnya waktu itu, mengapa Mama tidak menepati janji kepulangannya. “Nggak tahu,” Annalise dengan jujur menjawab, “mudah-mudahan kepulangan Mama kali ini for god.” Harapannya ini dikukuhkan juga oleh kegiatan Mama yang tidak sepadat biasanya. Setiap sore, Annalise menemukan Mama sedang melukis di patio rumah mereka, bergulat dengan kuas, palet warna, dan secangkir kopi. Dia akan duduk saja di samping Mama, memperhatikan garis wajahnya dan kadang-kadang memotretnya. Sesekali, mereka mengobrol, bertukar cerita mengenai banyak hal yang tidak bisa diceritakan panjang-lebar melalui telepon. Sore ini, Annalise pun duduk di kursi beranda, melihat Mama menyapukan wanra merah jambu untuk pemandangana matahari terbenam di atas kanvas. “Udah lama nggak ke Jakarta, ternyata Mama kangen juga sama kota ini.” Mama tersenyum sekilas sambil tersu melukis, rambutnya yang panjang tergerai dan melambai ringan ketika ditiup angin. Wajahnya bersih tanpa make-up, sesuatu yang jarang Annalise lihat, tetapi sangan disukainya. Inilah Mama apa adanya, Mama yang dikenalnya. “Kamu sudah terbiasa di sekolah baru? Punya banyak teman?” “Ada dua sahabat baruku, namanya Nata dan Niki. Mereka penggemar berat Mama.”
“Oh ya?” Mama tampak senang mendengarnya. “Mama.” Annalise terdiam sejenak, ragu untuk menanyakan pertanyaan Nata yang membebani pikirannya belakangan ini. Dia takut mendengar jawabannya, tapi lebih takut lagi menemukan Mama mendadak pergi seperti yang sering dilakukannya. ”You’re going to stay, aren’t you?” Kali ini, Mama meletakkan kuas dan mengelap kedua tangan dengan celemek yang melilit di pinggang. Dipandangnya Annalise dengan seksama, tatapan matanya lembut. Mama tidak menjawab, hanya memeluknya seakan tidak ingin melepaskannya lagi. *** PHOTOGRAPHS Tanggal batas terakhir pengiriman materi untuk lomba fotografi sudah dekat. Nata dan Niki sibuk membantu Annalise memilih foto untuk kompetisi tahun ini, yang diusung dengan tema lokalitas. Tadinya, Annalise enggan untuk ikut, merasa bahwa foto-fotonya masih belum pantas untuk dijagokan dalam lomba bertaraf nasional, bersaing dengan ribuan bahkan jutaan remaja lain yang sama-sama punya bakat di dunia fotografi. Namun, tentu saja, Niki mendesaknya untuk ikut mendaftar. Belum lama ini, dia melihat selembar flyer yang mengiklankan lomba ini di mading sekolah, dan dengan persuasif diajaknya Annalise ikut. Hampir separuh siswa dari grup ekstrakulikuler fotografi di sekolah mereka akan berpartisipasi, katanya, dan tidak ada alasan bagi Annalise untuk menolak ikut. Annalise sengaja mengulur-ulur waktu hingga waktunya dekat, berharap mereka akan melupakannya. Namun, Nata, dengan netral sempat berkata padanya, “Kalau lo merasa terbebani untuk ikutan, lebih baik gak usah, daripada terpaksa. Tapi, menurut gue, foto-foto lo nggak kalah dengan milik fotografer andal, dan lo harus percaya pada kemampuan lo sendiri.” Akhirnya, Annalise pun memutuskan untuk ikut. Hanya saja, hingga sekarang dia masih belum bisa memilih foto mana yang akan diikutsertakannya dalam lomba. Tema lokalitas adalah subjek yang tricky baginya, karena fotonya harus mencerminkan kepribadian bangsa dan kultur negara, tetapi juga harus memiliki sisi emosional yang mampu menangkap perhatian para juri. Karena itulah mereka bertiga kini mengobok-
obok seluruh isi lemari foto Annalise, mencoba menemukan sebuah shot yuang sempurna, sekaligus memikirkan objek yang menarik untu dijadikan fokus utama. “Kalau candi-candi atau kerajinan tangan gimana?” Niki mengusulkan, keningnya berkerut selagi ia membuka album demi almbum foto lama milik Annalise. “Misalnya batik, tanah liat, kendi atau anyaman.” “Terlalu biasa,” Nata berkomentar singkat dari sudut ruangan, berkutat dengan rol flm lama yang disimpan dalam kotak. “Pasti banyak banget karya serupa, nanti jadi kurang menonjol.” “Kalau pemandangan alam?” Niki melempar ide lagi, kali ini mengangkat beberapa tumpuk foto sekaligus dan mengaduk-aduknya di lantai. “Biasa juga, kecuali ada fenomena yang fantastis.” Sahut Nata. Annalise tidak terlalu memperhatikan, sedang sibuk menyortir foto-foto hitam putih yang dulu sempat menjadi obsesi eksperimennya bertahun-tahun lalu. “Sawah dan pedesaan?” Niki memutar otak lagi, berusaha keras untuk memikirkan sebuah tema yang unik. “Perkampungan kan sekarang sudah lebih maju, tapi kita bisa menampilkan sisi modern sekaligus tradisional yang gak ditemukan di kota.” “Lumayan sih. Tapi takutnya banyak peserta lain yang memikirkan ide yang sama.” Niki mengerut. “Semua ideku nggak ada yang kamu anggap bagus.” Nata terSarah. “Habisnya kita butuh sesuatu yang bener-bener „beda‟, yang bisa bikin orang tertegun dalam sekali lihat.”
“Iya juga, sih.” Niki setuju, lalu memasukkan hasil sortirannya ke dalam sebuah folder plastik. Ia beralih ke sebuah kotak sepatu tua yang cukup ringan dan tersembunyi di balik lemari, lalu membuka tutupnya perlahan. Isinya adalah puluhan lembar foto dengan fokus sebuah siluet wajah, dan beberapa benda lainnya. Penasaran, Niki menumpahkan seluruh isinya ke dalam pangkuan dan mulai menelitinya. Wajah Nata memenuhi setiap lembaran foto. Ada foto mereka semasa pentas seni catur wulan lalu, foto Nata ketika sedang memegang gitar dan menulis tangga lagu di buku tulisnya, figurnya dari kejauhan saat lomba basket sedang berlangsung, Nata yang sedang tertidur di kelas, juga Nata yang sedang duduk di atas trampolin, beberapa menit sebelum matahari terbenam. Niki menahan napas, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian saat foto-foto itu diambil tanpa sepengetahuan mereka karena hampir di setiap foto, Nata sepertinya tidak sadar sedang dipotret dan tidak melihat langsung ke arah lensa. Niki melarikan ujung jarinya memutari garis wajah Nata di atas foto, memperhatikan dalam-dalam tegas raut matanya, tulang pipinya yang tinggi, dan hidungnya yang sedikit mancung. Kedua ujung bibirnya yang tipis, sedikit melengkung ke bawah ketika tidak sedang tersenyum. Ikal rambutnya yang halus melingkari wajah, lalu bentuk telinganya yang lebar dan berdaun keras. Apakah Annalise mengambil foto-foto ini untuk mengambil detail yang sama? Apakah... “Gimana kalo Pecinan? Foto pasar malam dan wihara di daerah kota pasti mernarik, ya kan?” Tiba-tiba Nata berseru, mengganggu konsentrasi Niki sehingga gadis itu menjatuhkan foto-foto di tangannya. Secara otomatis Annalise mendongak, dan begitu melihat apa yang ada di pangkuan Niki, wajahnya memucat. “Ah, iya, ide kamu bagus juga...,” Niki menjawab, mencoba mengumpulkan kembali barang-barang pribadi milik Annalise yang tidak seharusnya dilihatnya. “Lagi lihat apa, sih?” Nata yang kebosanan bangkit dan menjulurkan kepala untuk melihat foto-foto yang masih berserakan di sekitar Niki. Gerakan ini membuat Niki gugup, dan Nata semakin curiga. Ia tertegun ketika melihat apa yang ada di sana. Annalise pun tampak salah tingkah. “Itu....”
Nata segera mengerti. Ia mencari-cari kebenaran di wajah Annalise, ingin mengetahui apa tebakannya tidak salah, tetapi Annalise menghindari tatapannya dan malah berlari keluar dari ruangan. “Anna...?” Niki yang kebingungan segera berdiri, lalu memandang Nata dengan raut bersalah. “Maaf, aku nggak sengaja....” Nata menghela napas. Dia membungkuk untuk membereskan foto-foto yang berantakan di atas lantai. Apakah Annalise menyukainya? Ia tidak pernah menyangka, karena selama ini Annalise selalu bersikap netral di hadapannya, bahkan lebih sering menjadi tempat curhatnya mengenai Niki. Dia memandang lekat-lekat wajahnya dalam foto—wajah yang sama sekali tidak menyadari apa-apa. *** Wish #33: tidak melukai perasaan Anna (Nata) Niki berdiri dengan serbasalah di antara hamparan foto-fotoyang seharusnya tidak pernah dilihatnya, sedangkan Nata menuruni tangga untuk mencari Annalise. Gadis itu sedang terpaku di balik pantry dapur, dengan posisi membelakanginya. Kedua bahu itu tampak rapuh. Bahasa tubuh Annalise membuatnya tidak berjalan kian dekat. “Ann,” Nata memanggil lembut, “foto-foto itu...” Dia tidak bisa menyelesaikan pertanyaan itu, takut salah bicara. Annalise memejamkan mata, merasa malu pada dirinya sendiri. Jika selamanya dia bisa bersahabat dengan Nata, dia tidak akan pernah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada pemuda itu. Sebisa mungkin dia berusaha menghindari kejadian seperti ini, saat mereka berdua akan berubah canggung dan melupakan kedekatan mereka ketika sedang berteman. mungkin dia memang munafik—ketika Nata tidak ingin berkata jujur pada Niki mengenai cintanya karena alasan yang sama dia justru menasihatinya untuk tidak berbuat demikian. Sedangkan dia sendiri dengan pengecut menyembunyikan
perasaannya baik-baik. Tapi salahkah, bodohkah, jika dia hanya berharap Nata ada di sampingnya dan cukup puas dengan diam-diam menyayanginya? Masih dengan membelakangi Nata, Annalise menarik napas pajang. Kini mungkin yang terbaik adalah mengatakan yang sebenarnya. “Gue....,” Asilla berbalik dan tersenyum, kali ini lebih pasti dari sebelumnya. “Aku sayang kamu, Nat.” Nata tidak jadi menyelesaikan kalimatnya, terdiam dan menganga setelah pernyataan simpel itu keluar dari mulut Annalise. “Maaf kalau aku membuat kamu merasa nggak nyaman. ” Annalise meregangkan pegangannya pada gelas di tangannya, yang tanpa terasa sudah menyisakan bekas di kulit. “Kamu nggak usah bilang apa-apa. Aku nggak butuh jawaban, karena aku lebih suka kita berteman seperti biasa. Bisa, kan?” Nata mengangguk, senyumnya perlahan mengembang. Annalise lega melihatnya. “Ini pertama kalinya ada cewek yang nembak gue langsung seperti ini. I appreciat that, Anna, karena lo jujur sama gue.” Annalise membalas senyuman, walau matanya berkaca-kaca untuk sebuah penolakan yang tidak terucapkan, namun sudah diketahuinya dengan jelas. “Kamu berhak tahu yang sebenarnya.” “Friends?” Annalise mengulurkan tangannya untuk menyetujui janji itu, tapi Nata mendekat dan membuat gestur seakan sedang memeluknya. Annalise menegang ketika kulit mereka bersentuhan ringan, lalu ia menyandarkan kepalanya pada bahu Nata dan membiarkan
pundaknya ditepuk lembut, canggung, tetapi bersahabat. Nata memang tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaannya barusan, tapi pelukannya yang kikuk sudah cukup untuk mengenyahkan ketidaknyamanan di antara mereka. Tidak perlu ada penjelasan. Tidak perlu ada kata maaf. Baik Nata maupun Annalise sama-sama mengerti. *** Wish #34: telling the truth (Annalise) Niki sudah membereskan sebagian foto-foto milik Annalise dan mengembalikannya ke tempat semula . ia menunggu dengan gelisah, merasa bersalah karena telah menguak sebuah rahasia yang mungkin tidak ingin Annalise ungkapkan kepada siapa pun—terutama pada Nata. Apakah Annalise pernah diam-diam mengikuti gerak-gerik Nata dengan ekor matanya ketika mereka berbicara? Sudah sejak kapan ia memendam perasaan itu, dan bagaimana mungkin Niki tidak pernah menyadarinya? Ketika Annalise kembali, Niki menyerahkan kotak foto itu dengan ragu-ragu. Ia menunggu reaksi marah, tapi dia hanya melihat senyum di wajah Annalise. “Kamu nggak marah?” Niki bertanya takut-takut. Annalise tertawa geli melihatnya. “Kenapa harus marah?” “Karena gara-gara aku, rahasia kamu jadi ketahuan.” “Karena kalau bukan karena kamu, mungkin aku nggak akan pernah jujur sama kalian berdua.”
Niki tersenyum, nadanya berubah menggoda. “Ternyata, kamu beneran suka sama Nata. Sejak kapan?” Pipi Annalise memerah malu. “Sejak pertama kali masuk sekolah, mungkin,” ia mengakui. “Apa sih yang kamu suka dari Nata?” Niki berjongkok di samping Annalise, raut wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Dia kan jutek, nyolot, dan sok dewasa. Sikapnya aja yang keliatan cool, tapi sebenernya dia kayak anak kecil.” Annalise tersenyum. “Justru hal itu yang bikin Nata menarik. Hal-hal kecil kayak kebiasaannya ngomel panjang-pendek kalau ngerasa direpotin walau akhirnya dia lakukan juga. Sering kali Nata terkesan cuek, padahal dia sebenernya peduli.” Niki ikut tersenyum dan menyandarakan kepala di bahu Annalise ketika mereka berdua duduk sambil memandang foto-foto yang berhamburan di atas karpet. “Nata memang sejak kecil begitu.” Selamanya aku nggak akan bisa mengenal Nata seperti kamu mengenal dia, Ki. “Kenapa kamu nggak pernah cerita-cerita kalau kamu suka sama Nata? Seenggaknya kan aku bisa jadi mak comblang yang baik untuk kedua sahabatku.” Karena aku udah tahu perasaan Nata yang sesungguhnya. “Oh ya, terus tadi Nata bilang apa?” Dia nggak bilang apa-apa. Aku tahu dia hanya sayang kamu, dan hanya kamu.
Annalise tidak bisa dengan jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan Niki tersebut, karena dia mengerti ada beberapa hal yang harus Nata ucapkan sendiri pada Niki, dan dia tidak berhak menyampaikannya untuk Nata. Jadi, ia pun berujar bijak, “Aku cukup senang kita bisa berteman. Begitu juga dengan Nata.” Tapi, aku iri, Ki. Iri sekali sama kamu. Pikiranitu lepas tanpa bisa ditekan. Niki mengangguk seakan bisa membaca pikirannya, lalu meremas pundak sahabatnya pelan sebagai bentuk simpati. Annalise merasakan kulit Niki yang hangat, merasa begitu dekat dengan kedua sahabatnya sekaligus. Dia tahu, jika harus memilih antara Nata dan persahabatan mereka bertiga, Annalise tidak akan pernah ragu, menentukan pilihannya. *** Sebelum memulai latihan hari ini, Niki menemukan sebuah pesan singkat Oliver dalam handphone-nnya. Ia tersenyum saat membacanya. Ntar selesai latihan, kita pergi ke FX, ya. Ada surprise untuk kamu. Miss you. “Pasti Oliver.” Linny menyikutnya sambil menggoda. “Cie... yang lagi dimabuk cinta....” “Ah, kamu sama Dayat juga kayak gitu, malah sampai ninggalin voice mail yang isinya bunyi-bunyi ciuman semua....” Mereka tergelak. “Ngomong-ngomong tentang Oliver, kemarin gue ketemu dia lho,” Helena tiba-tiba berkata. “Ternyata bokap gue kenal deket sama bokapnya dia. Jadi daripada gue nggak kenal siapa-siapa di acara yang isinya orang tua semua, kita ngobrol semalaman.” Mereka berbaris sembari melakukan pemanasan ringan di tepi lapangan. Niki ingat semalam Oliver memang sempat mengatakan bahwa dia harus menghadiri acara keluarga.
“Dia cerita tentang bisnis perhotelan keluarganya. Sejak kecil dia sering ikut papanya travelling keluar negeri, belajar tentang perhotelan dan seluk-beluknya. Gue nggak nyangka, ternyata dia udah pernah ke Afrika, Mesir, Ukrania, sampe Bhutan segala. Bokap gue bilang, keluarga Damanik bener-bener tajir, termasuk salah satu keluarga terkaya di Asia versi majalah Forbes.” Niki mengangguk, tidak tahu bagaimana harus menanggapi karena dia tidak tahu—menahu tentang Oliver. “Terus, rumahnya luas banget, sampai ada satu ruangan khusus untuk memamerkan lukisan antik punya nyokapnya. Sekali lihat juga tahu harganya ratusan juta rupiah. Selain itu, ternyata Oliver juga bisa golf. Kemarin gue nyoba main mini golf di sana.” “Serius, denger cerita Helen bikin gue tambah naksir sama Oliver. Lo beruntung banget, Ki, dapet calon suami kayak dia,” Sara meledek lagi, “udah ganteng, kaya, romantis... Kalo udah nggak mau, dilempar buat gue ya.” “Huuu..!” Yang lain berseru dengan heboh, sedangkan Niki hanya tersenyum setengah hati untuk membalas candaan itu. Jenis hal-hal lain yang dibicarakannya dengan Oliver seperti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan percakapan Helena barusan. Begitu banyak yang tidak diketahuinya mengenai Oliver, sedangkan dia ingin mengenal cowok itu luar-dalam. Bahkan, dia belum pernah dikenalkan kepada kedua orang tua Oliver, juga menginjakkan kaki di rumahnya. Niki menggigit bibir, tiba-tiba merasa kesal saat menyadari perasaannya. Dia cemburu. *** MILAN
Sore itu, ketika Annalise memasuki rumahnya sepulang sekolah, sayup-sayup didengarnya argumen dari arah patio. Dia mengenali suara Tante Nadja yang bernada kesal. “Bukannya kamu baru beberapa minggu pulang? Kali ini, mau pergi untuk berapa lama lagi, tiga bulan? Lima bulan?” “Jangan sarkastis begitu, Nad. Kamu, kan, tahu aku bukannya pergi untuk senang-senang. “Suara Mama yang membalasnya terdengar defensif. “Butikku akan buka cabang di sana, dan ada proyek baru yang harus kuselesaikan.” “Aku tahu, tapi kamu, nggak bisa terlalu sering dinas ke luar negeri. Bagaimana dengan Annalise? Waktu itu, kamu bahkan lupa hari ulang tahunnya.” “When are you going to forgive me about that? Aku sudah bilang nggak sengaja. Lagi pula, bukankah waktu itu aku kirim hadiah untuk Anna?” Hening. Tidak lama kemudian, ia mendengar tantenya menghela napas. “Hadiah itu nggak sama dengan kehadiran kamu, Vidia. Kamu bukan hanya seorang fashion designer dan model, tapi juga seorang ibu. Annalise butuh kamu.” Argumen itu berlanjut, tapi Annalise tidak ingin lagi mendengarkan. Dia meninggalkan tempatnya bersembunyi dan beralih ke kamar. Kado ulang tahun dari Mama masih tersimpan di dalam lemari.Annalise tidak pernah membukanya, sebagian besar karena ia tahu apa yang ada di dalamnya hanya akan membuatnya semakin sedih. Dalam hitungan hari, Mama akan mengepak koper, lalu mengecup pipinya sebelum mengucapkan selamat tinggal. Terkadang, Annalise takut Mama tidak akan kembali lagi.
Terkadang, ia takut ia akan berhenti membutuhkan Mama. Atau Mama yang berhenti membutuhkannya. *** Annalise berjingkat ke arah kamar Mama, mendorong sedikit pintunya hingga terbuka. Perlahan, Annalise menyibakkan selimut dan berbaring di samping Mama. Sudah lama sekali sejak mereka tidur bersama, padahal waktu kecil dulu dia sering memanjat ranjang orang tuanya di tengah malam. Tanpa disangkanya, Mama belum tertidur. Beliau berbalik sehingga mereka berdua saling berrhadapan, lalu mengusap sehelai rambut yang menutupi mata Annalise dan menyibakkannya di balik telinga, sesuatu yang selalu dilakukannya sejak Annalise kecil. “Mama akan pergi lagi,, kan? Suara Annalise tidak lebih dari sebuah bisikan. Ia ingin mendengar sendiri kalimat tersebut dari mulut Mama, ingin mempersiapkan diri sebelum kepergian Mama kali ini. Tapi, Mama tersenyum. Senyumnya terlihat misterius dalam kegelapan, seakan menyimpan sebuah rahasia. “Milan. And you’re coming with me, Honey.” *** Annalise punya sebuah ritual sebelum tidur—minum segelas susu hangat dengan taburan bubuk sokelat dan marshmallows di atasnya. Kebiasannya ini bermula sejak ia sulit tidur setiap kali Mama tidak ada di rumah. Malam ini, ia kembali tidak bisa tidur. Annalise menemukan tantenya di dapur, sedang duduk sendirian dengan secangkir kopi, berkas-berkas pekerjaan tersebar di atas meja. Kacamatanya bergantung di ujung hidung, meninggalkan jejak tanda sudah lama bertengger di sana. Tante Nadja adalah adik bungsu ibunya, satu-satuna kerabat keluarga mereka di jakarta. Beliau adalah arsitek yang memiliki studio kerja sendiri di rumah. Usianya hampir
empat puluh tahun, dan memilih untuk tetap melajang. Berbeda dengan kakaknya, Tante Nadja berpenampilan bersahaja, berambut pendek dan tak pernah merias diri. Sifatnya tegas, menyerupai seorang anak tertua yang mandiri walau sebenarnya beliau adalah anak bungsu. Ketika Annalise kembali ke Jakarta, Tante Nadja menawarkan diri untuk tinggal bersama mereka dan membawa bisnis kecilnya yang cukup sukses ke rumah itu. Beliau mendongak ketika melihat Annalise, lalu menarik bangku—sebuah undangan untuk bergabung. “Nggak bisa tidur?” Annalise mengiyakan. “Mau cerita?” Tantenya selalu bertanya demikian saat AAnn tampak muram. Beliau adalah teman curhat yang setia, baik saat ia mendapat nilai ulangan yang jelek di sekolah, atau saat hal-hal menyenangkan terjadi. Tante Nadja adalah salah satu orang dewasa favoritnya, seseorang yang selalu mendengarkan dengan sabar dan memiliki nasihat bijak. Annalise menggigit bibir. “Kami akan pindah lagi dari sini. Tante juga udah tahu, kan.” Tantenya mengangguk. “Gimana pendapat kamu tentang kepindahan ini?” Annalise mengangkat bahu. Kemungkinan besar, Mama akan tetap sibuk seperti dulu. Mereka akan teruus berpindah-pindah dari kota ke kota mengikuti tuntutan pekerjaan Mama. Dia akan keluar masuk sekolah baru, berulang-ulang merangka kehidupan baru sedangkan ia bergerak lambat untuk menyesuaikan diri. Tapi, dia ingin memastikan satu hal tidak akan pernah berubah—Annalise dan Mama, satu kubu yang selalu saling mendampingi.
“Kukira kami akan tinggal lebih lama di sini,” Annalise mengaku. Seharusnya, dia tahu kepindahan mereka ke Jakarta juga tidak permanen. Seharusnya, dia tidak usah bersusah-payah mengikuti banyak aktivitas sekolah, tidak perlu repot berpartisipasi dalam sayembara fotografi, toh dia tidak akan ada di sini untuk melihat pengumuman pemenangnya. “Tapi, kepindahan kamu ke sini ada baiknya juga, kan.” Tante Nadja mengingatkan, “kamu jadi ketemu Niki dan Nata.” Annalise tercenung. Tantenya benar. Kedua sahabatnya adalah alasan terbesar dia ingin tetap tinggal. Dia dapat melihat kesedihan yang membayangi raut wajah mereka ketika dia mengabari perihal kepindahannya. Niki bilang, mereka harus menghabiskan hari-hari terakhir Annalise di Jakarta sebaik mungkin, menciptakan banyak kenangan. Kalimat itu membuatnya sedih. “Jadi keputusan kamu udah bulat, untuk ikut ke Milan dengan Mama?” Pertanyaan itu mengejutkan Annalise, dan untuk sesaat ia terdiam. Kepindahan ini adalah sepenuhnya keputusan Mama, tapi mengatakan tidak tak pernah terlintas dalam pikirannya. “Segala sesuatu tentang hidup adalah sebuah pilihan, Anna. Bukannya Tante meminta kamu untuk melawan mamamu atau bebas melakukan apa pun yang kamu mau, tapi kadang kita harus berani memilih dan mempertahankan apa yang kita inginkan. Mama banting tulang demi keluarga dan pekerjaan yang dicintainya, kamu pun harus berjuang untuk apa yang penting bagi kamu.” Annalise mengerti, tapi bagaimana jika keduanya adalah hal yang sama-sama berarti baginya? *** Wish #35: Annalise tetap tinggal (Niki dan Nata)
Niki merapikan terusan yang dipilihnyauntuk acara farewell party kecil-kecilan milih Annalise, menatap Nata yang mengenakan kemeja kotak-kotak senada. Hitam. “Kok, kita seperti mau menghadiri pemakaman ya?” Niki mengeluh, membiarkan Nata membawakan hadian yang nantinya akan diserahkan kepada Annalise. Minggu depan sahabat mereka itu akan bertolak ke Milan. Barang-barang di rumahnya sudah dipak, surat transfer sekolah sudah diurus dan tiket sudah dibeli, difinalisasikan oleh sebuah acara untuk mengucapkan selamat tinggal yang dihadiri oleh teman-teman sekelas mereka dan beberapa teman Annalise dari klub fotografi. “Orang dewasa itu egois ya, Nat?” Niki berkata, memeluk pinggang Nata selagi pemuda itu memboncengnya dengan sepeda. “Mereka selalu bebas ngelakuin apa aja yang mereka suka, tanpa mikirin perasaan orang lain.” “Nggak semua orang dewasa kayak begitu,” tegur Nata. Niki terdiam. “Menurut kamu, Anna bener-bener mau pindah ke Milan atau Cuma karena terpaksa, ya?” “Terpaksa? Bukannya Anna sendiri yang milih untuk ikut ke sana?” Niki menggeleng, napasnya hangat di tengkuk Nata. “Aku selalu ngerasa Anna sebenernya enggak mau pergi dari ini. Tapi, karena satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang Cuma mamanya, Anna berusaha mempertahankan hubungan itu sebisa mungkin. Masuk akal, nggak?” “Tumben omongan lo tepat sasaran.” “Hehehe.” Niki terSarah ketika dipuji, tapi segera berubah serius lagi. “Kesimpulannya, Anna mungkin „terpaksa‟ setuju untuk ikut ke Milan supaya dia nggak kehilangan mamanya.”
“Mungkin juga.” Nata berkomentar. “Kalau ternyata emang begitu, kita harus gimana dong?” Niki dengan panik mencengkeram ujung kaus Nata. “Apanya yang gimana? Anna udah akan berangkat minggu depan, dan tugas kita itu mengantar dan ngucapin selamat tinggal, supaya dia nggak merasa terbebani dan malah tambah sedih.” “Nata gimana sih?! Kita harusnya ngebantuin dia supaya nggak nyesel!” Nata memperlambat kayuhan sepedanya dan berusaha menjelaskan sesabar mungkin. Dia tahu sulit mengubah apa-apa jika Niki sedang keras kepala mempertahankan pendapatnya seperti ini. “Anna pasti punya alasan sendiri buat pergi dari sini. Mendingan kita dukung aja apa yang dia pilih bukannya bikin kacau. Lagian....” “Kamu pasti mau bilang lebih baik jangan ikut campur masalah orang lain, kan?” Niki menyela.”Kita mungkin nggak akan bisa ketemu Anna lagi, lho. Gimana kalau setelah tiba di sana, ternyata Anna nggak bahagia? Dia pasti akan terus pindah-indah tempat tinggal kayak dulu, sendirian di rumah tanpa orang tua, dan kita nggak bisa ada di sana buat nemenin dia.” Nata menggeleng dan berhenti untuk menjitak ringan pelipis gadis itu. “Dasar keras kepala.” “Kamu mau Anna begitu?” desak Niki sekali lagi. “Enggak!” Nata akhirnya menjawab. “Iya, iya, gue ngerti maksud lo.” Raut Niki semakin muram. “Sekarang, kita Cuma butuh cara supaya Anna nggak jadi pergi.”
*** Pesta kecil itu berlangsung di patio samping kolam renang, sebuah pesta barbecue sederhana yang dihadiri oleh beberapa teman dekat Annalise dan mamanya di Jakarta. Aroma daging bakar menyulut selera Niki, tapi dia bergegas untuk menemukan Annalise sebelum perutnya memberontak dan menggodanya untuk mencicipi sepotong scampi. Mereka menemukan Annalise di salah satu kursi panjang di tepi kolam, mengenakan pakaian hitam seperti Nata dan Niki. Niki tersenyum geli melihatnya, hal ini membuatnya merasa seakan-akan mereka punya kemampuan telepati. “Ini buat kamu.” Disodorkannya sebuah korak yang sudah dibungkus kertas kado pink. “Hasilnya jelek, tapi kuharap kamu suka.” Isinya adalah sebuah album foto dengan hasil jepretan Niki selama belajar memotret. Dia sama sekali tidak punya bakat di bidang itu; hampir seluruh hasil fotonya terpotong, entah objeknya tanpa kepala atau anggota tubuh, dan beberapa buram karena dia tidak mampu menahan napas ketika memencet shutter. Annalise tertawa melihat foto-foto mereka bertiga diambil secara ngawur dengan kemampuan memotret yang pas-pasan. “Kalau nggak bisa jadi kenangan yang mengharukan, lumayanlah bisa bikin kamu ketawa.” Niki melanjutkan, dan Annalise berhenti tertawa. “Ann, kita Cuma pengen tau satu hal. Kamu bener-bener mau pergi?” “Maksudnya?” Annalise terlihat bingung. “Apa kamu bener-bener yakin mau pergi dari sini, atau kamu memutuskannya karena hal yang lain?”
Annalise terlihat serbasalah. Tante Nadja pernah menanyakannya, dan saat itu ia tidak mampu menjawab. Kini, ketika disudutkan oleh pertanyaan sederhana yang sama, dia kembali tidak dapat menemukan jawabannya. “Gue dan Niki ngedukung lo. Tapi, kita nggak bisa diem aja kalu nantinya lo akan menyesal.” Annalise mendongak untuk menatap Nata. Air mata memenuhi pelupuk matanya, dan ia mengangguk. Niki menggenggam kedua tangannya yang bergetar, lalu berujar dalam suara pelan. “Kita ngerti, kok, kenapa kamu ngerasa harus pergi. Tapi Anna, kamu kan nggak bisa terus diam.... Kamu harus ngomong apa yang sejujurnya kamu rasain, walaupun itu mungkin menyakitkan.” Annalise merasa air matanya mulai mengaliri wajahnya, terharu mendengar Niki berkata begitu. Belum sempat dia berkata apa-apa, mereka berdua mendengar bunyi gelas champagne diketuk dengan sendok perak, tanda tamu harus berkumpul. Vidia Rossa berdiri di hadapan para tamu, terlihat anggun dan mewah dengan gaun selutut bertali spageti, warna kuning gadingnya terlihat begitu serasi dengan kulitnya yang putih. Rambut kecokelatannya yang diberi sentuhan burgundy ditata dalam bentuk French braid yang membesona. “I thank everyone for coming today. It will be a great loss leaDhang such good friends. But rest assured, good friends remain forever. We wiil always have you in our hearts.” Seluruh tamu mengangkat gelas mereka untuk toast, tetapi Nata, Niki, dan Annalise tetap berada dalam posisi yang sama, duduk berdampingan dengan tangan mereka saling bertaut erat. ***
Nata dan Niki tetap tinggal hingga pesta selesai. Tamu-tamu sudah beranjak pulang, pelayang dari perusahaan catering sedang mengangkat piring dan gelas kotor, dan musik sudah berhenti bermain. Niki baru saja keluar dari kamar kecil ketika ia menemukan Vidia Rossa sedang berdiri di salah satu balkon yang menghadap kolam renang, tampak sedang mengamati kekosongan di tempat pesta barusan. Dari belakang, entah mengapa Niki merasa perempuan itu terlihat kesepian, dengan bahu yang terlihat ringkih, ikal rambut yang terlepas dari tatanannya terurai lembut di leher. Dan, Niki merasa sedih, mengetahui bahwa Annalise tetap memutuskan untuk pergi, untuk melindungi perempuan ini. Demi keluarga kecilnya. Ketika Vidia Rossa berbalik, ia sedikit terkesiap melihat Niki sedang berdiri di belakangnya. Seketika, Niki kehilangan kemampuan berbicara. Setiap kali melihat idolanya live seperti ini, dia akan berubahspeechless dan otaknya kosong. Vidia Rossa memang sangat cantik, bulu matanya lentik, kulitnya sempurna... tapi apakah dia juga merasa kesepian? “You’re on of Anna’s friends, right? Oki?” Niki tergagap ketika ditodong begitu. Ia hanya dapat mengangguk kaku. Setelah menelan ludah dengan susah payah, ia menemukan kembali suaranya. “Maaf, Tante..” Seulas senyum kembali merekah di wajah Vidia Rossa. “I told you to just call me Vidia, didn’t I?” Sangat janggal memanggil ibu temannya dengan nama depan saja. Sesaat, Niki merasa blank lagi, tapi sebelum Vidia Rossa beranjak pergi, ia segera menyambung, “Ummm.... apakah Tante tahu Anna sangat suka memotret?” Vidia Rossa tampak bingung. Niki merasa seperti orang bodoh yang mengoceh tak jelas. “Tante tahu karyanya dipajang di galeri sekolah waktu pentas seni? Salah satu fotonya adalah foto Tante saat melukis, itu foto favoritnya. Dan, apa Tante tahu, Anna paling
suka memotret objek yang bergerak? Kata guru seni, karyanya pantas dimasukkan dalam sayembara.” Niki mengumpulkan keberaniannya dan melanjutkan, “Waktu pertama kali kami ketemu, Anna sama-sekali nggak pernah bicara mengenai Tante. Teman-teman nganggep dia sombong karena kami nggak pernah diajak ke rumahnya. Dia nggak punya teman dan nggak terbuka walau kami coba berteman dengannya. Di ulang tahun Anna yang ketujuh belas, kami nunggu Tante di bandara sampai malam. Anna memang nggak pernah bilang apa-apa, tapi kami tahu... dia sebenarnya kesepian.” Vidia Rossa tercengang, dan seketika Niki berhenti, takut kata-katanya terlalu lancang. “Maaf.” Ia segera meminta maaf, tapi tiba-tiba saja Nata muncul di sisinya, lalu menggenggam sebelah tangannya dan meremasnya lembut. “Maaf, kami memang nggak pantas bicara begini,” ia menggantikan Niki bicara, “tapi Anna sahabat kami, dan kami Cuma ingin yang terbaik buat dia. Anna selalu membanggakan Tante, dan berusaha bikin Tante senang, sampai kadang-kadang menyembunyikan perasaannya sendiri. Begitu juga mengenai kepindahannya ke Milan.” Mereka terdiam, melihat Vidia Rossa memandang mereka dengan asing, seakan kata-kata mereka barusan tidak terdengar. Lalu, beliau meletakkan gelas wine kosong di atas meja, meninggalkan balkon itu hingga hanhya suara hak sepatunya yang terdengar, suara paling sepi yang pernah mereka dengar. *** Vidia Rossa mendorong pintu kamar anaknya hingga terbuka, lalu melepaskan kedua sepatu pestanya dan berjalan masuk, merasakan sejuk karpet di bawah telapak kakinya. Cahaya bulan sangat terang, merambah masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Dia tidak ingin menyalakan lampu. Perlahan, ia memandang seisi kamar itu. Kepalanya terasa kosong, tetapi hatinya berat. Suara anak-anak yang barusan mendatanginya untuk berbicara mengenai Annalise mengganggu pikirannya.
Dia tidak mengenali isi kamar ini. Dia jarang berada di dalamnya, juga tidak mengenali barang-barang yang ada di sana dengan baik. Apakah itu berarti ia juga tidak mengenal pemiliknya—anaknya sendiri, dengan baik? Foto-foto bertebaran di mana-mana. Dia tahu Annalise suka memotret, tapi dia tidak pernah benar-benar memperhatikan hasilnya. Dia tidak tahu Annalise mengikuti sayembara, mengikuti pameran sekolah, memasang potretnya di penjuru kamarnya—di dalam bingkai di atas meja belajar, tergantung di dinding, ditempel di papan kecil dekat tempat tidurnya, bersama dengan foto-foto masa kecilnya bersama mantan suaminya, juga foto-foto sahabatnya. Ia tersandung sebuah album foto besar di kaki tempat tidur. Vidia Rossa berjongkok untuk mengambilnya dan meletakkannya di atas meja belajar Annalise, tetapi berhenti. Cover depan album tersebut bertuliskan namanya, juga tahun-tahun yang menandakan usia kariernya. Halaman pertama berisi potongan kliping wawancaranya. Halaman-halaman selanjutnya berisi fotonya di media. Beberapa berupa print out dari internet. Vidia Rossa tidak mampu melihat dengan jelas dalam kegelapan, tapi dia tahu isi album tersebut adalah esensi dirinya—pekerjaan yang selama ini menjadi hidupnya. Tagline majalah dicetak besar-besar di setiap halaman. The next Cindy Crawford. Life begins at forty: model Vidia Rossa starts her new fashion line. Vidia Rossa will stop at nothing. Dan, di halaman terarkhir, Vidia Rossa is moDhang to Milan! Majalah tersebut memberitakan kepindahannya ke Milan, serta butik dan pagelaran busana baru yang sedang dipersiapkan untuk launching di sana. Ia tersadar, ia sama sekali tidak pernah menanyakan pendapat Annalise mengenai kepindahan mereka ke Milan, juga sebelum-sebelumnya ketika mereka harus pindah karena tuntutan pekerjaan.
“Mama?” Lampu kamar dinyalakan dan segalanya bagaikan hitam putih—terang dan gelap bersatu dalam sepersekian detik, dan Vidia Rossa mengerti sesuatu. Secara tidak sadar, dia sudah berhenti menjadi seorang ibu lagi bagi Annalise, dan tidak pernah seharusnya membiarkannya terjadi. *** Annalise keheranan menemukan Mama di kamarnya, dalam kegelapan. Pesta telah usai dan ia lelah. Sebenarnya, ia membenci pesta semacam ini,ini membuat segalanya terasa lebih final. Tapi, ia ingin benar-benar mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal kepada teman-temannya sebelum ia pergi. Wajah mamanya pias, Annalise melihat kliping yang selalu dibuatnya di tangan Mama, dan ia mengerti. Seperti katat Tante Nadja, dia harus berani membuat pilihan. Seperti kata Niki, dia harus berani mengungkapkan perasaannya. Ia menggeleng, perlahan mengambil satu langkah ke belakang dan berbalik. Menghindar, bersembunyi, menurut, seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Tapi, ia melihat tantenya berdiri di ambang pintu, tersenyum untuk memberikan kekuatan sebelum beranjak pergi untuk meninggalkan mereka berdua. “Do you hate me?” Pertanyaan Mama membuat Annalise sedih. Terkadang, ia ingin menanyakan hal yang sama pada Mama—apakah Mama tidak lagi menyukainya, apakah Mama membencinya sehingga lebih sering meninggalkannya. “No.” Jawabannya lembut, hampir tidak terdengar. “Kadang, aku cukup egois untuk berharap... Mama bisa seperti ibu-ibu lainnya, yang hadir untuk mengambil rapor, datang ke acara-acara sekolah... and just be here. Aku ngerti, punya orangtua yang terkenal berarti harus kompromi dengan jadwal yang ketat, dan aku bangga karena Mama adalah seorang ibu yang patut dibanggakan. It’s just that....” Annalise tahu
kalimat selanjutnya akan menyakiti hati Mama, tapi dia harus mengatakannya. “sometimes I really wish, I can see more of my mother in person than in those magazines covers.” Sudah. Annalise sudah mengatakan apa yang sebenarnya, perasaan yang selama ini ditutupinya karena tidak ingin melukai dan bertengkar dengan Mama. Dia tidak ingin menjadi seperti Papa yang menceraikan Mama karena tidak bisa menerima kesibukannya. Dia tidak ingin mengulang kembali pertengkaran otangtuanya yang mempertahankan iVanyalisme dan keinginan masing-masing. Dia tidak ingin ditinggalkan Mama karena tidak bisa menerima Mama apa adanya. Dan, Annalise sangat ingin melindungi Mama, karena dia tahu hanya dirinya yang Mama miliki sekarang. Pandangan mata Mama yang basah membuatnya tercekat. Apakah Mama marah? Kecewa padanya? Sedih? Tapi, Mama justru bergerak untuk merengkuhnya lalu menangis di pelukannya. *** Tiga hari kemudian, Annalise masuk sekolah seperti biasa. Niki dan Nata mendongak kaget ketika melihatnya di ambang pintu kelas, tertawa ceria sambil menenteng dua kotak Grodiva truffles sisa pesta kemarin sore. Ini hanya berarti satu hal... “Aku nggak jadi pindah.” Niki bersorak heboh, tetapi Nata lebih waspada. “Terus, Mama kamu tetap akan pergi?” “Ya, tapi hanya untuk serah-terima pengurusan butik ke asistennya di sana.” Pada malam seusai pesta, dia dam Mama menghabiskan semalaman mengobrol dan menonton Breakfast on Tiffany’s, kebiasaan yang sudah lama sekali tidak mereka lakukan. Padahal dulu, ketika Annalise masih SMP, mereka berbagi tempat tidur yang sama,
menonton film klasik dan mengobrol hingga larut malam. Mama bercerita mengenai kisah-kisah masa mudanya, sesuatu yang paling suka didengarkannya. Cerita mengenai Mama dan Papa adalah salah satu hal yang paling sering Annalise tanyakan pada orangtuanya. Mendengar kisah tentang pertemuan mereka dua puluh tahun yang lalu—di sebuah lokasi pemotretan di Bali, sangatlah romantis bagi Annalise. Dulu papanya juga seorang fotografer paruh waktu, yang kebetulan mendapat kesempatan memotret mamanya untuk halaman depan sebuah majalah bertaraf internasional. Mereka jatuh cinta dan menikah setahun kemudian, walaupun ditentang oleh keluarga kedua belah pihak. Annalise masih menyimpan foto pernikahan mereka—Papa dalam setelan adat jawa dan Mama dalam kebaya ketat berwarna kuning keemasan, sebuah kombinasi yang kontras melihat garis wajahnya yang asing. Sewaktu Annalise masih belita, kedua orantuanya mulai sering bertengkar seiring dengan karier Mama yang mulai menanjak. Ketika mereka bercerai, Mama memboyong Annalise ke London untuk tinggal di sana selama beberapa tahun. Selepas itu, dimulailah kehidupan mereka yang berpindah-pindah. “Keluarga Mama menentang keputusan Mama untuk jadi model. Juga ketika menikah dengan Papa dan melahirkan kamu. But you know, life’s all about choices. Kita tidak akan tahu jika kita tidak berani menuruti kata hati.” “Mama pernah menyesal?” Mama menggeleng. “Mama akan lebih menyesal kalau menuruti mereka untuk studi hukum dan menjadi pengacara.” “Maksudku, Mama pernah menyesal udah menikah dan melahirkan aku?” Saat itu, Mama terdengar sangat shocked. “Tanpa kamu, Mama akan sendirian menghadapi semuanya, Anna. If there should be one decision I regret, it’s definitely not about you.” Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat saling mendengarkan ritme pernapasan masing-masing. “I’ve always thought I should work my hardest for both of us... I realize too late that it’s actually hurting you. Maaf ya, Sayang.”
Annalise mencaari-cari dalam gelap, meraba wajah Mama dan merasakan kerutan lembut di sudut lengkungan matanya yang terpejam. Perlahan diusapnya air mata tersebut, lalu berkata, “It’s not too late, Ma.” Dirasakannya Mama tersenyum. “Kedua teman kamu, Nata dan Niki... They are remarkable friends.” Annalise turut tersenyum. “Yes. They are remarkable friends.” ** FUTURE Apa artinya sebuah mimpi? Sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang harus dicapai, atau hanya satu fragmen harapan? Apakah semua orang harus memiliki mimpi? Bagaimana jika kita tidak memiliknya? Menjelang kelulusan SMU, Niki semakin bingung. Setiap orang di sekelilingnya seakan memiliki mimpi yang solid; Nata dengan musiknya, Annalise dengan fotografi, Helena dengan fashion designer, Oliver dengan prestasi basketnya, belum lagi teman-temannya yang berusaha menggapai cita-cita setinggi langit—menjadi dokter, penulis, arsitek.... Sementara, dia sendiri bagaikan terperangkap di tengah-tengah. Teman-teman sekelasnya sudah mulai mendaftar ke berbagai universitas ternama, beberapa bahkan sudah diterima dan bisa menjalani sisa semester dengan tenang. Mereka sepertinya sangat yakin dengan masa depan mereka. Niki merasa menjadi satu-satunya orang yang tidak punya cita-cita. “Cita-cita itu apa sih?” Dia sempat bertanya kepada Nata suatu sore, ketika cowok itu sedang asyik memetik gitar. Nata hanya menepuk ringan badan gitarnya, lalu berujar. “Ini cita-cita gue.”
“Mimpi? Keinginan?” Nata memikirkannya sejenak, lalu mengangguk. “Obsesi. Sesuatu yang menjadi penuntun hidup.” “Sejak kapan kamu yakin kalau musik akan jadi cita-cita kamu?” Seulas senyum tipis menghiasi wajah Nata, sesuatu yang hanya terjadi jika Nata membicarakan hal-hal yang disukainya. “Sejak gue pegang gitar.” Niki tahu Nata pertama kali menyentuh gitar saat berumur sepuluh tahun. Gitar akustik miliknya adalah pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun. Sejak saat itu, Nata tidak pernah berhenti memainkannya, mulai dari gerakan kaku bernada sumbang yang berkembang menjadi petikan mantap yang diselingi dengan senandung. “Ada nggak ya, orang yang nggak tahu cita-citanya apa?” Nata berhenti bermain. “Kayak lo, maksudnya?” Niki melayangkan cubitan ringan di pinggang sahabatnya. “Ngeliat kalian begitu bersemangat mengejar mimpi, ngedaftar sana-sini untuk mengamankan posisi di jurusan favorit... semuanya bikin aku semakin gamang, Nat. Aku nggak tahu mau jadi apa.” “Itu tandanya lo udah beranjak dewasa, udah mulai mikirin masa depan.” “Bukannya orang dewasa tahu jelas mereka mau jadi apa?”
Nata melengos. “Nggak banyak orang yang seratus persen yakin sama diri mereka sendiri. Justru orang-orang yang serius mikirin itulah yang benar-benar dewasa.” Dipandangnya Niki yang masih tampak bingung, lalu dicubitnya pipi gadis itu dengan gemas. “Mimpi itu bukan Vanyadline, Ki. Bukan sesuatu yang nggak bisa berubah. Bukan sesuatu yang datang dan pergi begitu aja. Nggak usah terlalu stres mikirinnya.” “Tapi, kalau nggak ada cita-cita yang jelas, bukannya kita bakal ngerasa hampa ya?” Nata berpikir sejenak lalu mengangguk. Diulurkannya sebelah tangan untuk mengacak rambut Niki, lalu kembali memainkan gitarnya. Apa itu mimpi? Apakah semua orang harus memiliki mimpi? *** CONFESSION Wish #36: persahabatan yang tidak pernah berubah (Niki) Niki meniti tangga dan mendorong pintu kamar Nata hingga terbuka. Ia menemukan kamar tersebut kosong, lalu duduk di tepi tempat tidur untuk menunggu cowok itu pulang. Seperti biasa, kamar Nata sangat rapi untuk ukuran cowok, bahkan lebih bersih dari kamarnya sendiri. Kamar itu tidak terlalu besar, didominasi oleh warna tanah—mulai dari lemari pakaiannya. Beberapa poster band indie yang disukai Nata ditempel di dinding, sedangkan koleksi CD dan kaset kesayangannya diletakkan di pojokkan khusus tempatnya menulis lagu. Nata sering kali menggubah lagu. Walaupun dia enggan mempertontonkannya kepada orang lain, dari beberapa lagu ciptaannya yang sering disenandungkannya, Niki tahu sahabatnya itu sangat berbakat. Setelah beberapa saat menunggu dalam diam, Niki mulai tidak sabaran. Ia bangkit menuju meja belajar Nata, melarikan jemarinya pada koleksi miniatur gitar dan buku-buku yang berjejer rapi di sana. Sebuah buku bersampul kulit berwarna cokelat yang
menyembul dari deretan kamus menarik perhatiannya. Niki mengenalinya sebagai buku lirik Nata. Dia membolak-balik halamannya, menemukan goresan lirik dalam tulisan tangan Nata di bawah partitur lagu. Sepertinya lagu-lagu ini sudah dibuat sejak lama, dilihat dari begitu banyaknya coretan di sana-sini, serta guratan pensilk yang memburam dan mengotori halaman. Setiap lirik memiliki catatan pendek, seolah menguraikan apa pun inspirasi Nata saat menulis lagu-lagu tersebut. Kelulusan SMP—sebelas tahun kami sekelas dan duduk sebelahan. Niki tersenyum mengingat masa kecil mereka. Dari tahun ke tahun, dia dan Nata memang selalu berbagi kelas dan tempat duduk. Ternyata Nata sempat menuliskan sebuah lagu berdasarkan persahabatan mereka. Gitar listrik pertama—hadiah kelulusan. Niki ingat saat duduk di kelas tiga SMP, yang Nata inginkan hanya sebuah gitar listrik baru. Sebagai hadiah dari orang tuanya atas nilai yang hampir sempurna, Nata akhirnya mendapatkannya pada hari kelulusan. Rembulan, angin, hujan, dan kamu. Niki terkikik geli saat membaca beberapa bait yang rasanya terlalu sendu untik diciptakan oleh seorang Nata. Padahal biasanya cowok itu hanya suka pada lagu-lagu yang berlirik tegas yang tidak terkesan cengeng. Hari pertama masuk SMU. Pertama kalinya gue sadar ada yang berubah di antara kita. Senyum Niki membeku pada wajahnya ketika dia membaca semakin jauh, tidak mengira namanya akan memenuhi sebagian besar halaman buku tersebut, juga tidak
menyangka akan menemukan sesuatu mengenai Nata yang tidak seharusnya diketahuinya. Anna bilang, Niki spesial untuk gue. Dia benar. Cowok itu mungkin nggak kenal Niki sebaik gue kenal dia. Niki merasa lututnya lemas. Apakah Nata menulis hal ini mengenai dirinya? Ia terus membaca, perasaannya campur aduk. The day I kissed her. It was sunset 14 Februari—untuk segala sesuatu yang sudah terlambat. Lo nggak tahu... it’s always been you. Tiba-tiba, Nata masuk ke kamar. Dia terhenyak ketika melihat apa yang ada di tangan Niki, wajahnya memerah saat menarik buku itu dengan satu gerakan kasar. “Ngapain berantakin barang-barang gue?” Pertanyaan itu terdengar seperti bentakan. Pandangan Niki tetap pada buku yang kini disorokkan dalam saku celana Nata. Dia tidak tahu harus berkata apa. “Yang kamu tulis itu....” Nata menunggu beberapa saat sebelum menjawab, “Yang sebenarnya.”
Keheningan di ruangan itu mulai menyesakkan. Niki menggeleng, mengambil beberapa langkah untuk meninggalkan kamar itu, tapi gerakannya ditahan oleh Nata yang meraih tangannya dan berkata dalam suara rendah yang menyerupai bisikan. “Gue sayang lo, Ki.” *** Waktu seakan berhenti. Satu detik, dua detik. Nata tidak sadar ia telah menahan napas. Detak jantungnya terasa lebih kencang dari biasanya, satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu. Dalam hati, Nata tidak henti-hentinya merutuk diri atas kebodohannya meninggalkan barang-barangnya berserakan di tempat terbuka, melupakan kebiasaan Niki yang suka mengobrak-abrik kamarnya. Dan, kini, dia telah mengucapkannya begitu saja—gue sayang lo, Ki, seakan-akan kata-kata itu adalah penjelasan atas apa yang ditemukan Niki dalam bukunya. Tapi, apa yang harus dikatakannya? Kebohongan lain untuk menutupi perasaannya sendiri? Niki tidak bergerak sejengkal pun. Nata tidak bisa melihat ekspresi pada wajahnya karena gadis itu memunggunginya. Cengkeramannya pada pergelangan tangan Niki mengerat hingga ia bisa merasakan detak jantung Niki, tidak beraturan seperti miliknya. “Gue tau ini kedengerannya konyol dan nggak masuk akal, tapi gue serius.” Masih tidak ada jawaban. Perlahan, pegangannya mengendur putus asa, dan dengan cepat Niki mengibaskan tangannya, lalu menghilang di balik pintu, menuruni tangga dan meninggalkannya sendirian di sana. Entah mengapa, saat itu Nata merasa dia sudah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya.
*** Nata menyayanginya? Nata menyayanginya—lebih dari sekedar teman? Niki tidak bisa menghapus pikiran itu dari benaknya. Dia berlari meninggalkan rumah Nata tanpa memedulikan pintu yang berdebam tertutup di belakangnya, menyeberangi jalan dan menyusuri pekarangannya rumahnya, lalu bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. “Kak?” Pintu kamarnya diketuk beberapa kali, ketukan khas Acha. Niki terlonjak sedikit mendengarnya, tapi merasa lega adik perempuannya ada di sana. Dibukakannya pintu untuk Acha. “Kenapa, Kak? Kakak nggak apa-apa?” Niki menggeleng, masih berusaha mengatur napasnya. “Kak Nata ada di bawah tuh, lagi nungguin Kakak.” Mata Niki membulat. “Suruh dia pulang!” Kening Acha berkerut. “Kakak kenapa, sih? Lagi berantem ya sama Kak Nata?” “Achaaaa... please jangan bayak tanya. Tolong suruh Nata pulang, ya?” Sambil menghela napas, Acha menuruni tangga dan kembali lagi dalam hitungan detik. “Sekarang kakak harus cerita ada apa,” tagihnya sambil menghempaskan tubuh di atas tempat tidur Niki. Niki menggigit bibir dengan rasa bersalah. Diceritakannya kejadian barusan secara singkat. “Terus... aku pergi begitu aja tanpa bilang apa-apa.”
Giliran Acha yang melotot tidak setuju. “Kakak gimana, sih?” “Jadi aku harus bilang apa? Terima kasih, tapi aku hanya anggap kamu sahabat? Maaf, tapi tolong jangan bercanda lagi?” Dengan frustasi Niki menarik ujung-ujung kepangannya. “Ugh! Aku jadi sarkastis kayak Nata!” “Perasaan Kakak ke Kak Nata gimana?” Niki terdiam dan memandang Acha, sungguh-sungguh mempertimbangkan jawabannya. Sejujurnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Niki sama-sekali belum pernah menolak cowok, apalagi cowok itu adalah sahabatnya sendiri. Barusan Nata terlihat... sungguh-sungguh. Niki tidak tahu jawaban macam apa yang diinginkan Nata darinya. “Aku, kan, udah punya Oliver, Cha,” akhirnya ia menjawab, “aku dan Nata murni hanya sahabat.” “Mungkin saja selama ini Kakak yang nggak pernah sadar kalau Kak Nata punya perasaan khusus untuk Kakak.” Niki terhenyak. “Jadi aku harus gimana?” Acha tersenyum sambil memperbaiki tatanan rambut kakaknya yang acak-acakan. “Kurasa Kak Nata pasti mengharapkan Kakak untuk jujur, apa pun jawabannya.” *** Niki tidak menjawab teleponnya, juga tidak mau menemuinya. Nata menunggu semalaman di trampolin mereka, tapi Niki tidak datang. SMS-nya tidak dibalas, dan
ketika dia datang mencari Niki di rumahnya, Acha berkata (berbohong tepatnya), bahwa Niki sudah tidur. Nata tahu Niki tidak pernah tidur sebelum pukul sebelas malam. Akhirnya, ia menelepon Annalise dan mencurahkan penyeselannya pada gadis itu. Dia menyesal telah kelepasan mengatakan kata-kata yang kini memperkeruh hubungannya dengan Niki. Dia benci telah mengacaukan suasana dengan membiarkan perasaannya meluap—padahal biasanya dia selalu bertindak dengan logika, bukan emosi. Annalise mendengarkannya selama satu jam di telepon, padahal Nata belum pernah mengobrol dengan siapa pun di telepon selama itu. Ketika menutup telepon, dia merasa lebih baik tapi tetap tidak bisa tidur sampai subuh menjelang. Pagi ini, dia menyeret langkah dan menunggu Niki di depan pagar walaupun dia tahu Niki akan berangkat ke sekolah bersama Oliver, seperti biasa. Tidak lama kemudian, gadis itu melangkah ke luar dan melihatnya di sana. Nata merasa hatinya perih ketika Niki berhenti dan terlihat salah tingkah. “Kita perlu bicara, Ki.” “Tapi, sebentar lagi Oliver ngejemput.” Niki mencengkeram tali ranselnya erat-erat, seolah ingin kabur kapan saja. Nata benci melihatnya seperti itu. “Lima menit aja. Gue bener-bener butuh ngomong sama lo.” Niki akhirnya mengalah. Dia bergerak-gerak dengan tak nyaman, ekspresinya kaku dan tidak tersenyum. “Gue nggak akan bilang kalau kemarin gue Cuma becanda, lalu narik kembali kata-kata gue. Gue sendiri nggak sadar kapan perasaan gue ke lo berubah, dan gue nggak bermaksud ngerusak persahabatan kita atau hubungan lo sama Oliver. Gue hanya capek berpura-pura, Ki. Gue pengen jujur tanpa lo harus menjauh darai gue. Bisa, kan?”
Niki akhirnya berhenti bergerak-gerak. Suaranya bergetar dan kalimanya kaku, seperti sudah dilatih berkali-kali. “Aku tetap menganggap kamu sebagai sahabatku. Maaf kalau aku nggak bisa terima perasaan kamu.” Nata menggeleng melihat gerak-gerik Niki yang terlampau dibuat-buat seperti itu. “Lo jangan ketakutan gitu di depan gue dong,” ujarnya lembut, dan dengan satu tangan disentuhnya dagu Niki yang bergetar. Secepat kilat, Niki merespons terhadap sentuhannya dan bergerak mundur seakan terkena arus listrik. “Aku pergi dulu, ya. Bye.” Nata tidak tahu apa yang sepatutnya dirasakannya, semua bercampur menjadi satu; sedih, marah, kesal, sesal. Ujung jarinya masih hangat setelah menyentuh Niki barusan. Dia baru sadar, sedari tadi Niki sama sekali tidak berani memandang langsung ke arah matanya. ** Wish #37: kata-kata yang tidak terucapkan (Nata) Annalise melambaikan tangan ketika melihat Niki menyeberangi kantin dengan sepiring gado-gado di tangannya. Niki tersenyum kecut, lalu bergegas untuk bergabung dengan Helena dan kawan-kawannya. Sejak tadi, Niki menghindari tempat di mana Nata berada. Nata sendiri menangkap pandangan mata Annalise dan menggeleng lesu, tanda pembicaraannya bersama Niki tidak berhasil seperti yang direncanakan. “Niki itu orangnya nggak bisa pura-pura.” Nata mengeluh, masih dengan intonasi lesu yang sama. “Apa yang dirasakannya pasti muncul dengan jelas di wajahnya.” Annalise menepuk pundak Nata untuk menyemangatinya. “Kasih dia sedikit waktu, Nat. Mungkin Niki hanya nggak tahu gimana harus bersikap di depan kamu.”
“Tapi gue nggak mau dia nganggep gue sebagai orang asing. Kita kan udah temenan terlalu lama untuk saling canggung seperti ini.” Nata menggelengkan kepala dengan kesal. “Gue bener-bener nggak ngerti jalan pikiran cewek.” Annalise hanya separuh mendengarkan gerutuan Nata. Tidak jauh dari mereka, Niki sedang bercanda dengan Helena, matanya merah karena kurang tidur, tawanya dipaksakan. Mereka bertiga seperti terpisahkan jadi dua kubu yang berlawanan—sahabat yang tidak lagi mengenal satu sama lain. Ia tidak menyukai perasaan itu. *** Sepulang sekolah, Oliver mengantar Niki pulang seperti biasa. Ia membuka percakapan mengenai permainan basket hari ini, tapi Niki tidak terlalu mendengarkan, bahkan tidak sadar ketika mobil sudah berhenti di depan rumahnya. “Ki?” Oliver memperhatikan raut wajah Niki yang pucat. “Kita udah sampai. Ngantuk ya, sampai bengong begitu?” Niki menggeleng dengan seulas senyum yang sedikit dipaksakan. “Bye, Oliver.” Oliver hanya tersenyum, lalu mengucapkan selamat tinggal. Niki baru saja menginjakkan kaki di beranda ketika sebuah bungkusan yang diletakkan di atas meja menangkap perhatiannya. Namanya tercetak besar-besar di permukaan kertas dengan tinta hitam—dalam tulisan tangan Nata. Niki menghela napas, lalu menyelipkan bungkusan itu dalam tasnya. *** TTRAMPOLIN
Ujian akhir sudah dekat. Belakangan, Niki banyak menghabiskan waktu luang untuk mengejar ketinggalannya dalam pelajaran, terutama mata pelajaran eksak seperti Matematika, Kimia, dan Fisika. Kini, dia semakin sering belajar bersama dengan Helena dan gengnya, berkumpul setiap sore di rumah Helena untuk mengulang kembali pelajaran hari itu dengan bantuan guru les privat temannya itu. Kadang, Niki merasa mereka semua lebih banyak mengobrol dari pada belajar. Televisi besar berlayar flat di ruang tengah hampir selalu dinyalakan, biasanya berhenti di MTV atau Channel V. Makanan ringan tersebar di atas meja, di samping majalah impor edisi terbaru. Jika salah satu dari mereka mengangkat topik obrolan atau mulai bergosip, buku-buku pelajaran akan terlupakan dan akhirnya mereka tidak jadi belajar sama sekali. Bukannya Niki tidak menyukainya; dia senang menjadi bagian dari grup Helena. Dia juga suka hangout di rumah berlantai tiga dan tanning di kolam renang outdoor sambil menyesap jus segar, dikelilingi oleh teman-teman yang sama-sama menyukai fashion dan cheerleading. Tapi, kadang dia merindukan Nata dan Annalise, sesi studi mereka di perpustakaan sambil berkutat dengan bergelas-gelas teh herbal dingin dan omelan Nata ketika mengajarinya rumus Fisika sampai bisa. Atau bermain di rumah Annalise dan berlanjut dengan mengerjakan PR setelah makan malam, ditemani sekotak pizza vegetarian. Pada awalnya, Niki tetap bergabung dengan mereka, tetapi dia merasa tidak nyaman. Sesekali, dia akan mendongak dan menangkap basah Nata sedang diam-diam memperhatikannya, atau Annalise yang memandangnya dengan raut khawatir. Mereka bertiga tidak lagi bisa mengobrol seperti dulu, tertawa lepas dan bergerak bebas. Kini, Niki merasa tidak bebas menyentuh Nata, meras telah menyakiti perasaan Nata, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya. Dia tidak bisa merasa nyaman setelah mengetahui orang yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat ternyata mengharapkan lebih. Karena itu, lama-lama Niki memilih untuk menjauh sementara. Dia tidak bisa terus-menerus berada dalam ruangan yang sama dengan Nata tanpa merasa bersalah dan canggung. Nata pun sudah berhenti berusaha menjelaskan posisinya padanya. “Niki, prom nanti lo mau pake baju apa?”
Konsenterasi Niki dalam memecahkan rumus Kimia terganggu kala Vanya menyela dan mengencangkan voluma televisi. Prom? Niki menyelipkan pensilnya di balik telinga dan terdiam. Beberapa minggu lalu Oliver sempat mengatakan bahwa sekolah mereka akan mengadakan pesta prom untuk senior yang akan lulus tahun ini, dan dia mengajak Niki untuk datang sebagai pasangannya. Saat itu Niki menyambutnya dengan antusias, tapi gagasan itu sedikit terlupakan seiring dengan peristiwa Nata dan persiapan untuk ujian akhir. Begitu melihat antusiasme teman-temannya yang menggebu-gebu, Niki teringat bahwa dia sama sekali belum menyiapkan apa-apa. “Masih belum tahu,” dia mengaku lirih. “Masih belum?” Mata Vanya membelalak. “Prom night SMU Pelita selalu jadi acara paling bergengsi setiap tahunnya, lho. Dayat aja udah booking limousine untuk malam itu, dan gue juga udah reservasi make up di salon dari jauh-jauh hari.” Limousine? Salon? Niki berusaha sebisa mungkin menutupi ekspresi clueless-nya. “Gue udah ada beberapa pilihan baju, kok, hanya belum nentuin yang mana yang lebih bagus.” Akhirnya, ia terpaksa berbohong. Niki semakin panik memikirkannya. Gadis-gadis SMU Pelita dan teman-temannya yang glamor pasti akan menyiapkan setelan gaun pesta bermerek yang mewah. Sedangkan isi lemarinya sama sekali tidak bisa dimanfaatkan untuk acara kali ini. Bagaimana jika pakaiannya ternyata tidak pantas untuk pesta itu? Bagaimana kalau dia mempermalukan Oliver dan dirinya sendiri? Ini keteledorannya karena tidak memikirkan masalah ini dari jauh-jauh hari. Pikiran-pikiran paranoid mulai bermunculan. Dasar bodoh. Tenang dulu. Suara Helena sayup-sayup didengarnya. “Oliver bilang MC dan band-band terkenal khusus diundang untuk ngeramein prom tahun ini. Temanya red carpet, seperti acara penganugerahan Oscar.” “Oliver?” Niki bertanya.
“Oh, kemarin gue hangout bareng temen-temennya di SMU Pelita. Kebetulan Oliver juga ikut.” Helena tersenyum. “Dia nggak cerita?” Niki menggeleng lemas. Belakangan ini, Oliver terlihat banyak pikiran dan agak pendiam, dan setiap kali Niki menanyakannya, Oliver selalu bilang dia baik-baik saja. Hal ini sedikit membuatnya cemas. “Gosipnya lagi, Zahra bakal hadir buat ngeramein pesta itu, sebagai alumni.” “Zahra? Gila, acaranya pasti top punya dong.” Niki hanya samar-samar mendengarkan. Zahra? “Zahra siapa?” Dengan cepat Vanya menjawab pertanyaan itu. “Lo nggak kenal Zahra, ya? Zahra itu kakak kelasnya Oliver, sekarang udah lulus dan kuliah di Melbourne. Denger-denger, sejak kelas satu Oliver kepincut sama cewek itu.” “Ah, masa, sih,” Niki merespons dengan tawa kecil. “Gue juga pernah denger gosipnya, lho,” timpal Linny menimpali, “katanya Zahra ini adalah cinta pertamanya Oliver. Sejak cewek itu lulus, Oliver selalu gonta-ganti cewek supaya bisa ngelupain dia.” Sara turut mengiyakan. “Itu cerita sebelum dia pacaran sama lo, Ki. Dia nggak pernah sebut nama Zahra sekali pun?” Niki menggeleng. “Gosip itu juga belum tentu benar, kan?” Vanya, Linny, dan Sara terdiam sedangkan Helena mengangkat bahu tanda dia tidak ingin menjawab. Niki tidak menyukai ekspresi di wajah mereka.
*** “Tadaaahhh!” Niki berteriak sambil merentangkan tangan lebar-lebar. Beberapa anak bersembunyi di balik punggungnya, tersenyum lebar dengan gigi ompong. Oliver berdiri dengan bingung, tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Niki padanya. Tadi gadis itu bilang, dia ingin memperkenalkan beberapa orang penting kepadanya. Kini, dia dihadapkan dengan anak-anak berpenampilan kucel dengan rambut dan muka kotor. “Ini temen-temen kecilku. Hari ini kita akan bermain basket bersama Kakak Oliver. Kak Oliver ini juara basket paling jago se-Jakarta lho.” Niki memperkenalkannya pada anak-anak kecil di sekelilingnya. Dengan enggan, Oliver menyalami mereka satu-per-satu. “Ini anak-anak dari panti asuhan?” Niki menggeleng, untuk sesaat terlihat muram. “Mereka nggak punya orangtua dan tempat tinggal. Kadang-kadang mereka makan dan belajar di rumahku.” “Oh.” Setiap bulan keluarga Oliver menyumbangkan sesuatu untuk panti asuhan, tapi dia tidak pernah berhubungan langsung dengan penghuni-penghuninya. “Ayo!” Niki menarik tangannya ke arah lapangan di kompleks perumahannya, membawa sebuah bola basket di tangan kirinya. “Anak-anak ini paling suka main bola. Kami juga suka main sepak bola di tanah kosong sana.” “Kami?” “Iya. Annalise, aku, dan Nata.” Niki cepat-cepat berlari ke ujung lapangan, tidak berkata apa-apa lagi.
Oliver mengikuti dengan setengah hati, kecewa karena kencan hari ini ternyata dibaginya dengan anak-anak jalanan yang kumuh. Terkadang, dia sungguh tidak bisa mengerti Niki. Gadis itu melambaikan tangan, dalam posisi bebas untuk menerima bola. Rambutnya tergerai bebas dengan helaian rambut membingkai wajahnya. Oliver terdiam lama. Terik matahari menyengat kulitnya, dan bola itu tidak pernah meninggalkan tangannya. *** Wish #38: mengobrol panjang dengan Oliver(Niki) Niki mengambil beberapa botol air mineral dingin dan menempelkan satu di lengan Oliver. Laki-laki itu terlonjak sedikit, lalu menerimanya dengan tawa kecil. “Maaf.” Niki berujar. Oliver menoleh ke arahnya. “Maaf? Kenapa?” “Sepertinya kamu nggak suka berda di sini.” “Bukan begitu. Aku hanya kecapekan, akhir-akhir ini begadang buat ujian.” “Maaf.” Padahal, Niki sengaja merencanakan hari ini untuk menghibur Oliver. Oliver mengusap rambutnya ringan. “Nggak apa-apa.”
Niki mengharapkannya berbicara mengenai ujiannya, keluarganya, juga apa yang selama ini mengganggu pikirannya. Niki juga ingin mendengar mengenai Zahra, juga cerita mengenai gadis-gadis lain yang pernah dekat dengannya. Tapi selama ini Oliver selalu bungkam. Niki merasa mereka menjadi seperti dua orang asing yang tidak benar-benar saling mengenal. “Oliver, kemarin...” Niki tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Pandangan Oliver tampak kosong, melihat jauh ke depan seperti sedang memikirkan sesuatu yang penting. Oliver sepertinya tidak menangkap rautnya yang serbasalah. Ia bangkit dan mengecup pipi Niki. “Aku pulang dulu ya. Sori, hari ini aku ada acara.” Niki menatapnya berjalan menjauh dan masuk ke dalam mobil, lalu meninggalkannya di lapangan bersama anak-anak yang masih berteriak dan memperebutkan bola. “Kita pulang yuk,” sahutnya dengan kurang bersemangat. Anak-anak itu menjatuhkan bola dengan kecewa. “Kak, hari ini kami akan difoto sama Kak Anna,” Ajeng, salah satu murid Niki, berkata lugas. Dia menoleh kepada teman-temannya. “Jadi.... apa namanya ya?” “Model!” Raka, seorang anak laki-laki bertubuh besar menyahut lantang. “Iya! Model! Model!” Mereka mulai ribut sendiri. “Kakak ikut kan?” Model. Pasti untuk lomba foto yang akan diikuti Annalise, dengan topik lokalitas itu. Ah, dia ingin ikut. Tapi Nata pasti akan ada di sana. Niki terduduk lesu di tepi lapangan. ***
Ketika kembali ke rumah, langit sudah gelap. Niki belum makan apa-apa sejak siang, tapi perutnya tidak lapar. Dia merasa lemas dan tidak bersemangat. Sayup-sayup trdengar suara ribut di luar. Niki bangkit dengan malas dan mengintip melalui jendela kamarnya. Nata sedang berbaring di atas trampolin mereka, tubuhnya berguncang dengan tawa. Gitarnya terbaring di sisinya, tidak jauh dari tempat Annalise duduk. Annalise pun sedang menutupi tawanya dengan sebelah tangan, sesekali memukul Nata dengan tangan kirinya. Mereka berdua tampak sangat nyaman bersama, seolah-olah sudah lama berteman. Mereka mengingatkannya akan... Nata dan dirinya, sebelum mereka berdua saling menjauh. Niki menatap pemandangan itu dengan tidak senang. Tiba-tiba saja, dia merasa sedih sekaligus marah. Trampolin itu adalah tempat khususnya dengan Nata, tempat yang sejak kecil menjadi milik mereka. Baik dia maupun Nata tidak pernah mengajak orang lain untuk duduk di sana—hal itu menjadi seperti sebuah peraturan tak tertulis dalam hubungan pertemanan mereka. Dan kini Annalise ada di sana, menggantikan tempat yang selama ini menjadi milik Niki. Saat itu, Niki tidak bisa membedakan apakah perasaan marahnya ini ditujukan pada siapa, Annalise, Nata, atau dirinya sendiri. *** Annalise menakn perutnya yang sakit karena tawa, tetapi tidak mampu menghentikan tawa yang dari tadi menggelitik tenggotokannya. Nata pun berguling di atas trampolin sambil tertawa keras-keras, membuat tubuh mereka berdua terguncang. Foto-foto yang tadi sore diambil dan dicetak untuk kompetisi dotografi tersebar di sekeliling mereka, alasan mereka tertawa begitu hebohnya. Beberapa foto memang cukup mengundang tawa akibat kekonyolan anak-anak yang diundangnya menjadi model. Pada akhirnya, Annalise memilih tema Pramuka untuk kompetisi itu. Anak-anak itu didandaninya dalam seragam Pramuka, lalu dipotret saat sedang bermain dan memanjat sebuah tugu lama di daerah Jakarta Pusat. Tugu itu selalu dilewatinya setiap pulang sekolah, dan menarik perhatian dengan cat yang sudah mengelupas dan coretan grafiti di sana-sini. Tugu itu terlihat tua, namun gagah walaupun usia sudah menggerogoti pondasinya. “Stop, stop.” Annalise menyusut air mata yang menggumpal di sudut matanya. “Perutku sakit nih.”
Belum pernah dilihatnya Nata tertawa selepas itu dalam beberapa minggu belakangan ini. Nata mengambil napas dan mengembuskannya pelan-pelan, lalu menelan kembali tawa yang masih tersisa. “Pilihan gue foto yang ini, dan ini.” Nata menunjuk dua foto dan menyingkirkan yang lain. “Hmmm. Yang ini bagus.” Annalise menjentikkan jari di atas permukaan foto yang dipilih Nata. Foto itu adalah foto terakhir yang diambilnya sesaat sebelum mereka semua pulang, ketika anak-anak itu memanjat tugu dengan latar matahari terbenam. Warna langit belum berubah, hanya tercoreng beberpa sabetan oranye. Dia mengangkat kamera dan menjepret momen tersebut dengan klise terakhirnya pada saat yang tepat. Mereka mendiskusikan foto tersebut sampai Annalise bangkit dan membereskan barang-barangnya. “Yuk, aku harus pulang. Mau belajar untuk ujian bahasa Inggris besok.” Nata mencibir. “Lo masih perlu belajar bahasa Inggris? Kalau gue dan Niki, sih, mungkin masih perlu ngafalin struktur grammar.” Mereka berdua terdiam ketika nama Niki disebut. Annalise mendongakkan kepala untuk melihat ke arah kamar Niki. Gelap. “Niki apa kabarnya ya?” Nata ikut melirik ke arah yang sama. “Nggak tau.” Berdua tidak sama rasanya dengan bertiga. Annalise memang merasa lebih dekat dengan Nata, tapi hubungan mereka terasa terlalu... tenang. Tidak ada spontanitas dan celetukan asal khas Niki, juga komentar polos yang menghibur. Annalise pernah berbicara dua mata dengan Niki beberapa waktu lalu. Dia ingin menjelaskan bahwa Niki tidak perlu canggung di hadapan dia maupun Nata, dan tidak ada yang harus berubah dalam persahabatan mereka. Saat itu, Niki memandangnya lama dan berkata,
“Semuanya nggak bisa kembali seperti dulu begitu aja, Ann. Setiap kali ngeliat Nata, aku ngerasa bersalah karena Cuma bisa jadi seorang sahabat buat dia. Setiap kali ngeliat kamu, aku ngerasa udah ngecewain kamu karena aku udah ngambil orang yang kamu sayang. Aku nggak bisa cerita mengenai Oliver di depan Nata, nggak bisa curhat mengenai Nata di depan kamu. Kita bertiga jadi penuh dengan kepura-puraan, dan aku nggak bisa terus begitu.” Annalise tidak bisa menjawabnya, dan sekarang ia menyesal telah membiarkan Niki berjalan pergi begitu saja. Sebelum menaiki mobil, Annalise berhenti dan memandangi garasi mungil tempat mereka berkumpul untuk mengajar setiap Selasa. Dia menarik lembaran-lembaran foto yang ada di dalam tasnya, mencoretkan sesuatu di balik salah satunya, lalu menyelipkannya di dalam kotak pos keluarga Niki. *** Acha berbaring dengan sepiring stroberi segar di atas tempat tidur Niki, mengolesinya dengan sendok berlumuran selai cokelat dan menelannya dengan nikmat. Sesekali, Niki meraih beberapa butir dan mengikuti gerakannya. Acha akan memperhatikannya dengan heran. Pasti ada sesuatu yang salah jika kakaknya yang health freak itu sudah mulai makan begitu banyak cokelat. “Aku ini bodoh banget.” Niki memasukkan sebutir stroberi ke dalam mulutnya tanpa nafsu. “Aku nggak tau apa yang sedang aku lakukan.” Acha menunggu tanpa menginterupsi. Biasanya, cerita demi cerita akan keluar tanpa perlu ditanya. Dan benar, Niki memuntahkan segalanya tanpa disensor, kebiasaan sepasang kakak beradik yang sudah terbiasa berbagi rahasia sejak kecil. Niki mendesah panjang untuk mengakhiri curhatannya. “Aku sendiri yang ngejauhin mereka, tapi aku juga yang kesal melihat mereka bersenang-senang tanpa aku.”
Acha menatap Niki dengan prihatin. “Itu artinya... Kakak cemburu, kan?” “Cemburu?” “Iya, cemburu, menyesal, gengsi. Perasaan-perasaan itu ngebuktiin kalau mereka masih punya makna yang penting untuk Kakak.” Niki merengut. Acha selalu menawarkan logika di setiap analisisnya, sesuatu yang dibencinya karena biasanya tepat sasaran. “Aku jahat, ya?” “Bukan jahat, tapi nggak siap.” Melihat ekspresi Niki yang meminta penjelasan lebih lanjut, cha meneruskan, “Saatnya nggak tepat. Kak Nata memilih waktu yang nggak tepat untuk jujur, yaitu ketika Kakak masih belum siap mendengarkan. Dan, reaksi Kakak juga nggak membuat keadaan lebih baik, malah semakin kacau.” Niki manggut-manggut, menyadari kebenaran dalam observasi itu dan terdiam cukup lama. Sebelum adiknya meninggalkan ruangan dan mematikan lampu, Niki separuh mendengar ucapannya yang lirih, “Gak ada persahabatan yang sempurna di dunia ini,Kak. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankannya.” *** Wish #39: bertemu dengan Nata dan Anna (Niki) Niki tidak bisa tidur. Jam weker di meja samping tempat tidurnya menunjukkan angka satu lewat lima belas menit. Dalam beberapa jam, dia harus menghadiri sesi ujian
bahasa Inggris, ujian pertama dalam semester ini, yang belum siap dihadapinya sama sekali. Kemudian, minggu-minggu liburan yang menyenangkan akan dimulai, diikuti dengan hari pertama mereka menjadi mahasiswa. Dengan langkah terseok, Niki meraih ranselnya dan meraba-raba isinya dalam kegelapan, mencoba menemukan sesuatu yang sudah lama tersimpan di sana. Nah, ini dia. Ia mengeluarkan kotak kertas yang sudah sedikit penyok itu, menyisihkan pembungkusnya yang koyak. Di dalamnya, ia menemukan sebentuk kaset, dan tanpa banyak pikir, Niki memasukannya ke dalam tape miliknya. Statis. Lalu terdengar suara deheman yang tidak asing, sekali, dia kali. Tidak lama kemudian, bunyi petikan gitar yang lembut dimulai. Terdengar agak samar, lama-kelamaan semakin jelas. Setelah beberapa kali mengulang nada yang sama, suara Nata mengisi hening ruangan. Niki duduk di tepi tempat tidurnya sambi memeluk bantal, memejamkan mata dan mendengarkan lagu-lagu gubahan Nata yang perlahan-lahan membuatnya tenng. Entah sudah berapa lama dia tidak mendengarkan suara ini, suara berat yang familier, petikan gitar yang tangkas, tarikan napas di antara nyanyian. Dia bisa merasakan goncangan trampolin mereka pada tubuhnya, seperti saat Nata bergerak untuk menyesuaikan nada dan mulai bermain, seperti saat Niki bersorak dan bertepuk tangan setiap kali sebait lagu selesai dimainkan, seperti saat Nata menjulurkan sebelah tangan untuk menyentil dahinya karena telah membuat komentar konyol. Dia sangat merindukan Nata. Lagu demi lagu yang dimainkan secara akustik dan direkam dalam sebuah kaset hitam, diletakkan di atas meja beranda rumah dan tertindih barang-barang lain dalam ransel Niki, kini bermain bebas. Inilah perasaan Nata selama ini, Niki tahu. Dia akhirnya mengerti. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Niki dapat tertidur pulas, dengan seulas senyum di wajahnya. ** PROM Wish #40: prom dress (Niki)
Mencari prom dress yang tepat adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Niki sudah menghabiskan seluruh akhir pekan memutari hampir seluruh butik di mal dekat rumahnya bersama Acha dan Mama, mencari sehelai gaun yang sempurna untuk acaranya akhir pekan ini. Namun, mereka tidak menemukannya—jika gaun itu tidak jatuh pas di tubuh Niki, pasti karena harganya yang terlalu mahal. Akhirnya, Mama menghela napas dan menawarkan sebuah solusi. Mama berjanji akan mengeluarkan koleksi gaun-gaun lamanya dari lemari dan mencoba menemukan sesuatu yang cocok untuknya. Niki menyetujuinya tanpa banyak argumen, karena dia sudah putus asa. Helena dan Vanya sudah meneleponnya untuk menjelaskan detail gaun mereka, juga jenis sepatu yang akan dikenakan bersama gaun tersebut. Tepat sebelum Niki memutuskan untuk menlepon Helena untuk meminjam baju, Mama berseru memanggil namanya berulang-ulang, diikuti oleh Acha yang sama hebohnya. Gaun di tangan Mama bukanlah gaun paling indah yang pernah dilihat Niki—masih ada deretan gaun-gaun malam idamannya yang tidak mampu dibelinya—tetapi saat melihatnya, Niki tahu bahwa gaun itu akan sangat cantik jika dikenakan. Kainnya sangat halus ketika disentuh, dibentuk mengikuti model gaun-gaun zaman dulu yang menyempit di pinggang dan mengembang di bagian roknya, dengan warna broken white yang terlihat klasik. Bagian atasnya dilapisi oleh brokat jahitan tangan dengan detail yang sangat teliti, menukik beberapa sentimeter di atas belahan dada. Beberapa bagian sedikit kotor oleh debu, tapi Mama berjanji akan membersihkannya dan memodifikasinya sedikit. Setelah semalaman bekerja dengan mesin jahitnya, Mama menggantung gaun itu di kamar Niki supaya ia bisa melihatnya ketika bangun pagi nanti. Ketika Niki mengenakannya, ia merasakan gaun itu mengambang lembut di atas tubuhnya, ringan seperti sutra. Mama telah memangkas bagian lengannya sehingga kini gaun itu tidak berlengan, memberikan kesan modern pada pakaian Dhantage tersebut. Mama juga telah memendekkannya, sehingga roknya yang berlapis renda kini jatuh di atas lutut. Elegan, tapi tidak berlebihan. Niki berlari menuruni tangga masih berbalut dalam pakaian itu dan memeluk Mama dengan penuh rasa terima kasih. Mereka menghabiskan beberapa jam menata rambut dan dandanan Niki, dengan Acha yang sesekali menawarkan opini dari tepi tempat tidur. Rambut Niki dibiarkan tergerai supaya tidak terlihat terlampau dewasa, dan dandanannya dibuat senatural mungkin.
Niki mengulaskan sentuhan terakhir berupa lipstik nude merah muda pada bibir bawahnya, lalu menatap refleksi dirinya sendiri pada cermin. Dia memiringkan kepala dan tersenyum, melihat gadis dalam cermin membalas senyumnya. *** Niki baru saja menyemprotkan sedikit parfum beraroma jasmin di pergelangan tangannya ketika telepon berbunyi. Sambil memasang sebelah sepatu, ia menyambar telepon yang tergeletak di atas tempat tidurnya. “Niki?” Suara Oliver terdengar lemas dan parau. “Kamu kenapa?” Niki bertanya dengan agak panik. “Sepertinya aku nggak enak badan. Kepalaku pusing banget.” “Kamu nggak apa-apa? Udah makan obat, belum?” “Udah, tapi rasanya masih lemas. Tunggu sebentar lagi, ya? Kalau udah baikan, aku bakal segera jemput kamu.” “Lebih baik kamu istirahat aja deh, daripada nanti tambah parah.” “Tapi kamu pasti udah siap, kan? Nggak apa-apa, kayaknya aku masih bisa tahan.”
Suara Oliver sudah sangat lemah. Niki menggeleng. “Nggak pergi juga nggak apa-apa, kok.” Oliver terdiam. “Tapi prom night kan Cuma sekali seumur hidup.” Niki tidak langsung menjawab, tapi dia tersenyum saat mengatakan, “Yang penting bukan prom, tapi kamu.” “Maaf ya.” Niki berusaha mengabaikan perasaan kecewa yang menggerogoti hatinya. Sesungguhnya, dia sangat menantikan malam ini; merayakan akhir dari masa SMU, mengenakan pakaian cantik dan bersama dengan orang-orang yang disayanginya. Tapi dia lebih tidak ingin Oliver datang dalam keadaan sakit. Dia tidak boleh egois. Lagi pula, bukankah Oliver pasti lebih kecewa? Ini adalah pesta prom sekolahnya, sesuatu yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Pandangan Niki jatuh pada papan Monopoli yang menyembul dari tumpukan majalahnya. Tiba-tiba saja, dia mendapat ide brilian. Dengan semangat empat lima, dia segera bergegas untuk berangkat. *** Sambil mengepit sebuah thermos berisi teh hangat dan beberapa jenis permainan yang biasa dimainkannya bersama Nata ketika sedang sakit, Niki berdiri di depan pagar rumah Oliver. Ia merasa sedikit gugup. Rumah itu besar, dilengkapi dengan taman yang luas dan pos satpam kecil di bagian depan. Dari luar, rumah berlantai tiga itu terlihat seperti kastil, dengan jendela besar dan tangga yang meliuk. Selama mereka berpacaran, Niki tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana sebelumnya. Helena yang menunjukkan posisi rumah itu kepadanya ketika mereka melewati jalan besar ini. Ditekannya bel dengan waswas. Setelah menunggu sekian detik, seorang laki-laki paruh baya dalam seragam, satpam muncul dengan tergopoh-gopoh.
“Cari siapa, Non?” “Saya datang menjenguk Oliver, Pak.” Satpam itu tampak bingung. “Tuan barusan saja pergi.” “Pergi?” Niki menatapnya dengan tidak percaya. “Oliver kan lagi sakit?” “Ndak, Non, Tuan Oliver ndak sakit. Baru saja pergi, kok.” Setelah menghabiskan beberapa menit sia-sia berdebat dengan satpam tersebut, Niki menyerah dan berdiri di depan pagar dengan perasaan tidak enak. Jelas-jelas tadi dia tidak salah dengar. Seandainya mereka jadi pergi pun, Oliver pasti akan meneleponnya dulu. Niki berkali-kali menekan speed dial dan menghubungi nomor handphone Oliver, tapi tidak ada jawaban. Dia baru saja ingin memutar arah dan kembali ke rumah, namun entah apa yang membuat Niki berubah pikiran ketika ia memberitahukan destinasi selanjutnya kepada pengemudi taksi. “SMU Pelita, Pak.” *** Pekarangan SMU Pelita dihias apik dengan dekorasi bunga segar. Mobil-mobil mewah bergantian berhenti untuk menurunkan para senior yang malam ini akan menghabiskan hari terakhir mereka di sekolah tersebut. Niki adalah satu-satunya yang keluar dari sebuah taksi, berusaha untuk tidak merasa minder saat ia melintasi lapangan ke arah hall tempat pesta prom dilangsungkan.
Muda-mudi berpakaian indah berseliweran, tangan kanan para gadis tersemat corsage cantik dan tangan kiri mereka menggandeng pasangan masing-masing. Niki merasa self conscious berjalan sendirian di tempat asing tersebut, tiba-tiba saja merasan underdressed dalam balutan gaun turunan ibunya dua dekade lalu, di antara gadis-gadis bergaun malam model terbaru. Ia tersenyum tipis saat berpapasan dengan teman-teman basket Oliver yang sempat dikenalkan kepadanya beberapa saat yang lalu, namun mereka hanya melewatinya tanpa menyapa. Niki menunduk, mukanya hangat. Ia harus segera menemukan Oliver, jika cowok itu memang ada di sini. “Niki!” Ia menoleh, menarik napas lega saat melihat Vanya melambai dari sisi meja penerima tamu, menggandeng Dayat, pacarnya yang juga senior SMU Pelita. Vanya mengenakan terusan panjang warna hitam dengan potongan kerah halter yang sangat chic. Niki merasa pernah melihat gaun serupa di Fashion TV beberapa waktu yang lalu. Niki menghampiri mereka, masih celingukan mencari Oliver. “Hai. Kalian liat Oliver nggak?” Mendadak wajah Vanya dan Dayat sedikit memucat. Mereka saling berpandangan. “Lo... belum tahu?” “Tahu apa?” Iy mengerutkan alis dengan bingung. “Oliver ada di dalam. Dia datang sama....”
Vanya tidk perlu menyelesaikan kalimatnya. Niki sudah melihat Oliver di antara kerumunan teman-teman tim basketnya, tampak gagah mengenakan setelan tuksedo yang sangat pas di tubuhnya. Di sampingnya, berdiri seorang gadis dalam balutan trapeze dress berwarna midnight blue yang serasi dengan pakaian Oliver. Gadis itu mengenakan tiara prom queen di kepalanya. Lalu, ia mendongak, menangkap pandangan mata Niki dan bibirnya perlahan menarik seulas senyum yang menandakan ia mengerti segalanya. Gadis itu adalah Helena. *** Niki tidak dapat memercayai pengelihatannya. Ia tidak lagi memperhatikan ketika Vanya dan Dayat bergegas permisi dengan tak nyaman, juga keramaian yang mulai menyesakkan di sekelilingnya. Ia tidak bisa berhenti memperhatikan Oliver dan Helena, dua orang yang paling tidak pernah disangkanya akan hadir bersama di pesta ini. Lalu akhirnya, ia menyadari satu hal. Untuk sesaat, Oliver mengangkat wajah dan menghindari pandangannya. Niki ingin menyerukan namanya dan meminta penjelasan, tapi lidahnya kelu. Helena menggandeng laki-laki itu untuk menghampiri Niki yang masih terpaku di pintu masuk dengan tubuh gemetar. “Hai, Niki. Kok sendirian?” Niki ingin melenyapkan senyum puas dari wajah cantik itu, tapi kedua tangannya yang bergetar terdiam bagai lumpuh di kedua sisi tubuhnya. “Kalian....” Oliver berjalan menjauh dari sana untuk menerima telepon yang mendadak berdering, meninggalkan Niki dan Helena yang saling memandang. “Gue nggak nyangka lo akan tetap punya nyali untuk datang,” Helena berkata dengan tenang, senyum itu tidak pernah meninggalkan wajahnya. “Tapi harus gue akui, lebih
menyenangkan ngeliat lo di sini daripada membayangkan lo meratap di rumah karena Oliver meninggalkan lo.” “Ini semua rencana kamu?” Suara Niki bergetar, dan ia benci mendengar nadanya yang melengking. “Ini bukan apa-apa dibanding dengan apa yang lo ambil dari gue. Gue mau lo tau rasanya kehilangan, ketika apa yang berarti bagi lo dirampas begitu saja.” “Aku nggak ngerti.” Helena mendengus, untuk pertama kalinya memperlihatkan rasa benci dalam ekspresinya. “Jangan pura-pura bodoh. Sejak lo gabung sama tim cheers kita, gue bagaikan nggak punya gigi. Bahkan beberapa orang sempet mempertimbangkan lo untuk jadi kandidat pengganti ketua tim... dan memang itu tujuan lo, kan?” Hal itu adalah hal terkonyol yang pernah didengar Niki. Dia, ketua cheers? hanya karena dia aktif menyumbangkan koreografi baru dan menawarkan diri untuk membuat mix tape lagu untuk latihan mereka? Dia tidak pernah berpikir untuk menggusur posisi Helena yang sudah bertahun-tahun memimpin tim itu menuju juara satu. “Semua orang suka lo; temen-temen gue, guru-guru, Nata, Anna... Gue nggak ngerti apa yang menarik dari lo. Lo kan biasa aja, tapi lo malah ngambil semua yang harusnya jadi milik gue. Sampai Oliver juga, padahal gue yang duluan kenal dia.” Helena ingin berteman dengan Nata dan Annalise? Helena menyukai Oliver? Niki mengerjapkan mata. Sudah berapa lama Helena menyimpan perasaan ini dan membencinya diam-diam, sedangkan dia tidak tahu apa-apa mengenainya? “Tapi, kan kita teman....”
“Teman, lo bilang?” Helena tertawa kecil. “Di dunia ini nggak ada yang namanya teman sejati, Ki. Lo yang terlalu naif. Teman-teman Cuma ada kalau mereka butuh pertolongan kita, kalau kita punya sesuatu yang bisa jadi alasan mereka untuk tetap tinggal.” Helena mengibaskan tangan dan melayangkan pandangan pada Oliver. “Lo inget Zahra? Cewek yang nggak bisa dilupain Oliver? Zahra itu sepupu gue. Oliver rela melakukan apa aja demi ketemu lagi sama dia, termasuk mutusin lo dan muncul di pesta ini sebagai pasangan gue.” Tatapan Helena saat itu sangat dingin. Niki tidak lagi merasa marah, tapi sedih. Ternyata, selama ini dia tidak cukup mengenal Helena maupun Oliver dengan baik. Mereka pun tidak mengenal dirinya, tidak menerima dirinya apa adanya. Dia tidak diinginkan di sini. Oliver berbalik dan menghampiri mereka. Dia terlihat serbasalah. “Ki, gue....” Niki memberanikan diri menatap langsung ke arah mata cowok itu, mencoba mencari sisa-sisa perlakuan gentleman yang selama ini lekat pada diri Oliver, juga permintaan maaf yang tidak kunjung keluar. Entah mendapat keberanian dari mana, ia mengangkat sebelah tangan dan melayangkan tamparan keras pada pipi kanan Oliver. Niki tidak memperhatikan seruan kaget—entah siapa yang berteriak barusan, tidak juga menyadari betapa keras hak sepatunya berdentum di lantai marmer ketika ia berlari keluar, keluar sekarang juga. Dan ketika ia berhenti dan terengah-engah di depan pagar sekolah yang kini sepi, ia berjongkok, menyembunyikan wajah dengan kedua tangan, dan menangis sejadi-jadinya. *** BIKE Wish #41: menemukan Niki (Nata)
Kring kring! Niki tidak sadar sudah berapa lama bunyi yang tidak asing itu terdengar. Ketika mendongak, dia melihat sosok seseorang dengan senyum pengertian yang membuatnya ingin menangis lagi. Nata. “Pulang yuk.” Cowok itu menepuk-nepuk bagian belakang sepedanya dengan raut jenaka. Ia bangkit dari sepedanya dan berjalan ke arah Niki, lalu mengulurkan sebelah tangan untuk membantunya berdiri. “Ayo.” Niki menatapnya dengan mata basah. Mengapa Nata ada di sini? Bagaimana Nata bisa tahu? Tapi, dia merasa begitu lega melihatnya. Melihat sahabatnya datang untuk menyelamatkannya. *** Tadinya, Nata mengayuh sepedanya menuju SMU Pelita sekuat mungkin, berdoa dalam hati supaya dia belum terlambat. Ketika dilihatnya gadis itu terduduk di luar pagar, sendirian dengan bahu mungil yang berguncang oleh tangis, Nata merasa hatinya terenyuh. Ia ingin memeluknya dan melindunginya sepenuh hati, tapi untuk sesaat dia hanya bisa memandang dan menunggu. Kenangan perlahan-lahan muncul di benaknya seperti rekaman video. Tangan kecil yang menarik ujung bajunya, sosok yang mengikutinya ke mana pun dia pergi. Wajah anak perempuan yang tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang ompong. Ucapan menghibur yang keluar dari mulutnya setiap kali Nata sedang menghadapi
masalah—dan ia selalu bisa mengetahuinya bahkan sebelum Nata berkata apa-apa. Belaian lembut di pundaknya ketika anak itu menemukan Nata bersembunyi di balik lemari, malu ketahuan sedang menangis. Sejak kecil, Niki selalu bisa menemukannya. Kali ini, adalah gilirannya menemukan dan melindungi Niki. Niki menatapnya dengan air mata masih mengaliri kedua sisi wajahnya, bibirnya bergetar dan matanya sembab. Nata tersenyum, lalu menarik gadis itu berdiri. Awalnya tangan Niki masih dengan tentatif berpegangan pada tempat duduknya, lalu lama-kelamaan, melingkari pinggang Nata seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Tidak ada yang berusaha memulai percakapan, hanya keheningan yang mengisi perjalanan pulang mereka. Nata mengayuh lambat-lambat, angin menerpa wajahnya dan temaram lampu menerangi jalannya. Ia merasakan punggungnya basah, dan pelukan pada pinggangnya mengerat. Nata mencengkeram setang sepedanya erat-erat, mencoba menahan gejolak emosi yang meluap dan membuatnya ingin melampiaskannya kepada siapa pun yang sudah melukai Niki. Lo aman di sini Ki, bersama gue. Entah sudah berapa lama Nata mengayuh, sampai ia berhenti di depan rumahnya. Niki bergerak turun dari sepeda, buru-buru mengeringkan air mata dengan kedua tangannya. Nata tahu apa yang akan dilakukannya—mengucapkan terima kasih sambil memaksakan senyum. Keesokan harinya, mereka akan kembali menjadi dua orang asing yang berpura-pura seakan kejadian malam ini tidak pernah ada. “Boleh duduk di trampolin?” Pertanyaan itu mengejutkan Nata. Niki sedang menatapnya penuh harap, menawarkan sesuatu yang tidak berani ditanyakannya sejak mereka berhenti berteman. Nata mengangguk. Kain elastis trampolin itu berguncang mengikuti berat badan mereka. Rasanya, sudah lama sekali sejak mereka berdua duduk di sini, sekedar ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja, sembari memainkan musik.
“Aku dengerin tape kamu, beberapa hari yang lalu.” Nata mendongak, wajahnya memerah. “Isi kaset itu semua lagu yang pernah gue buat.” Untuk lo. Niki mengangguk samar. “Lagu-lagu itu bagus sekali. Kamu memang berbakat.” Nata memandang Niki tepat di kedua manik matanya, sudah letih berpura-pura. “Sejak kapan kita secanggung ini, Ki? Kenapa kita harus berbasa-basi, nggak bisa lagi ngomong jujur apa yang ada di pikiran kita?” Niki yang pertama kali mengalihkan pandangan. Mereka berdua sama-sama tahu jawabannya. “Gue nggak minta apa-apa dari lo. Gue nggak merasa sakit hati karena lo nggak bisa terima perasaan gue, gue justru lebih sakit hati karena lo menghindari gue. Gue kecewa lo nganggep gue sepicik itu, bahwa gue akan menjadi orang yang berbeda hanya karena perasaan gue berubah. Gue nggak mau kita berhenti berteman gara-gara masalah seperti ini.” “Semua orang selalu bilang, cewek dan cowok nggak pernah bisa jadi sekedar sahabat. Pada akhirnya, itu bener kan, Nat?” Nata tersenyum pahit. “Yang gue tau, persahabatan itu nggak memilih. Persahabatan bukan didasari oleh gender, usia, motif, atau apa pun itu. Persahabatan yang tulus gak harus punya alasan.” Senyum Niki berubah sendu. “Kamu benar. Sejak dulu, aku selalu mengharapkan bentuk cinta yang sempurna. Kukira kalau aku berteman dengan murid-murid yang populer dan pacaran dengan cowok yang istimewa, hidupku juga akan sempurna. Aku baru sadar, nggak ada yang sempurna di dunia ini. Teman sejati adalah orang-orang yang bisa nerima aku apa adanya, seperti kamu dan Anna. Aku yang udah ngecewain kalian, maaf ya.”
Nata memotong permintaan maaf itu dengan meletakkan kedua tangannya di atas bahu Niki, merasakan kulit mereka hangat oleh sentuhan itu. “Gue maafin, asal mulai sekarang, lo nggak pura-pura nggak kenal sama gue di sekolah.” Niki tertawa kecil di balik air matanya. Nata berusaha tampak tak acuh, tapi dia tahu dia tidak bisa menghentikan senyum yang kini bermain bebas di wajahnya. “Apa pun yang terjadi, jangan pernah memperlakukan kami seperti orang asing lagi.” Niki mengangguk mantap. Untuk pertama kalinya malam ini, Nata memperhatikan Niki dalam balutan gaun yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya—berbahan halus, sebatas lutut, dipenuhi dengan potongn renda-renda. Jalinan rambutnya sudah terlepas, riasan ringan di wajahnya berantakan dan ada bekas-bekas air mata di sana, namun di matanya, Niki terlihat sangat cantik. “Hari ini lo cantik banget.” Niki belum pernah mendengar Nata berkata seperti itu. Nata tidak pernah memuji penampilannya, tidak pernah memperhatikan gaya berpakaian perempuan apalagi berkomentar mengenainya. Wajah Nata merah padam selagi mengatakannya, dan Niki merasakan senyumnya mengembang, perasaannya jauh lebih ringan, seolah-olah beban berat telah terangkat. “Thanks, Nata.” Mereka berbaring menatap kerlip bintang yang bertebaran di langit-langit—seperti butiran gula-gula. Nata mengalas kepalanya dengan sebelah lengan, dan Niki mengandarkan kepalanya pada bahu pemuda itu, mengenakan sweatshirt sahabatnya yang kebesaran. Hanya mereka berdua, dan itu saja sudah lebih dari cukup. ** FORGIVE Wish #42: tertawa keras. Benar-benar tertawa. (Niki)
Niki tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Oliver lagi. Setidaknya, jika dia bersua dengan pemuda itu secara tidak sengaja, dia yakin dia akan segera berjalan menjauh ke arah yang berlawanan, sebisa mungkin menghindari kontak apa pun. Hubungan mereka sudah selesai, diputuskan sebelah pihak. Namun, sampai sekarang, Niki masih belum bisa melupakan kejadian malam itu. Karena itulah, ketika Niki menemukan pemuda itu berdiri di depan pintu rumahnya, dia ingin segera membanting pintu dan berlari ke kamarnya. Tapi bersembunyi, menghindar, dan berlari adalah hal-hal yang sudah terlalu sering dilakukannya; terhadap Nata, terhadap Annalise, terhadap dirinya sendiri. Dia tidak ingin mengakhirinya seperti ini, membiarkan kata-kata belum selesai terucapkan, lalu menyesalinya kemudian. Jadi Niki memaksakan diri untuk memandangnya dan bertanya apa yang dia inginkan. “Aku mau bicara.” Mereka mencari privasi di sebuah lapangan basket kosong tidak jauh dari sana. Niki merasakan hatinya berdegup kencang, seperti yang selalu dirasakannya saat berada di dekat Oliver. Diam-diam, dia membenci dirinya sendiri karena masih merasa seperti itu. “Aku datang untuk minta maaf.” Niki sudah menduga perkataan itu akan keluar dari mulut Oliver. Dia pun sudah tahu mengapa. Tapi, ternyata lebih sulit—lebih menyakitkan, untuk mendengarnya langsung. “Helena memintaku supaya tetap membawa kamu ke pesta itu, lalu ninggalin kamu di sana. Tapi, aku nggak bisa....” Hati Niki melunak. “Kalau kamu nggak melakukannya, Helena nggak akan mempertemukan kamu dengan Zahra, kan?”
Oliver tampak terkejut mendengarnya. “Kamu tahu tentang Zahra?” “Sedikit.” Hanya tahu dengan jelas kalau kamu begitu mencintainya sehingga memilih dia dibanding aku. “Kenapa akhirnya kamu nggak membawaku ke prom?” Oliver menggeleng. “Aku nggak bisa mempermalukan kamu di depan mereka semua, Niki. Akhirnya, Helena pun bohong mengenai kepulangan Zahra. Dia merencanakan semua ini untuk membodohi kita.” “Terima kasih.” Oliver mendongak lagi, kali ini benar-benar menatap Niki sejak malam itu. “Terima kasih? Buat apa?” “Karena kamu masih punya hati. Karena kamu memilih untuk jujur sama aku.” Niki tersenyum samar. Bahasa tubuh Oliver berubah rileks ketika melihat Niki menerima permintaan maafnya. Mereka duduk di kursi tembaga yang diletakkan di sudut lapangan, tidak jauh dari padang ilalang kecil tempat Nata dan Niki dulu sering mencari jangkrik dan kunang-kunang. “Zahra itu kakak kelasku, dua tahun lebih tua. Dia atlet renang sekolah, juga juara lomba Matematika. Dia murid kesayangan guru-guru, disukai semua orang, dan banyak cowok yang tergila-gila sama dia. Waktu orientasi, dia jadi mentorku, dan sejak saat itu kami sering ngobrol. Waktu aku kelas satu SMU, Zahra pacaran dengan salah satu guru sekolah kami. Aku selalu bilang kalau mereka nggak akan bisa sembunyi-sembunyi seperti itu, tapi Zahra nggak peduli. Beberapa kali aku mengungkapkan perasaanku sama dia, tapi Zahra bilang aku hanya seperti adik baginya. Sampai suatu hari, hubungan mereka ketahuan. Mereka putus, guru itu dipecat, dan Zahra dikirim untuk sekolah ke luar negeri oleh orangtuanya.”
Oliver menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Wajahnya terlihat lelah dan sedih—ekspresi yang berbeda dari yang selama ini diperlihatkannya kepada semua orang, Niki baru menyadarinya. “Aku yang melaporkan hubungan mereka ke kepala sekolah. Sejak saat itu, Zahra nggak mau lagi menemui aku. Dia nggak mau membalas e-mail dan teleponku. Kami nggak pernah ketemu lagi, tapi aku nggak bisa ngelupain dia.” Oliver memandang Niki lekat-lekat. “Kamu orang yang baik, Ki. Aku bener-bener senang setiap kali menghabiskan waktu bersama kamu, dan kukira aku bisa menyayangi kamu... tapi aku nggak mau melukai kamu lebih dari ini. Kuharap kamu nggak menganggap aku orang yang jahat.” Niki mengangguk kebas, tidak lagi mendengarkan permintaan maaf Oliver. Selama ini, Oliver memang tidak pernah menyayanginya, tidak menganggapnya sebagai bentuk cinta pertama yang sempurna. Hanya dirinya yang sudah bodoh dan berharap lebih. Oliver tersenyum sedih. “Aku akan kuliah di Melbourne, berangkat bulan depan. Aku mau menyusul Zahra ke sana, mencoba memulai dari awal.” Niki menyapukan pandangan pada Oliver sekali lagi, melihat sisi dewasa pemuda itu, sosok yang tidak pernah benar-benar dikenalnya. “Good luck.” Hanya itu yang bisa dikatakannya. Oliver mengangguk, dan mereka berpisah di sana. “Good bye.” Niki secepat mungkin melangkah pergi, supaya Oliver tidak melihat air mata yang mengalir deras di wajahnya. *** Nata baru saja kembali dari swalayan kecil di kompleks perumahannya untuk membeli sekotak susu ketika ia melewati lapangan basket. Niki dan Oliver sedang berada di sana,
berdiri berhadapan dengan bahasa tubuh yang kaku. Ekspresi Oliver penuh penyesalan, sedangkan Niki tampak tidak nyaman. Nata menghentikan sepedanya tanpa suara dan memperhatikan mereka dari kejauhan. Tidak lama kemudian, Niki setengah berlari meninggalkan Oliver, dan Nata tahu dia sedang menangis. Niki selalu membuat ekspresi dan gestur seperti itu jika dia menangis. Tak dapat menahan Sarasalannya, Nata meninggalkan sepeda dan barang belanjaannya di tepi jalan, lalu berlari mengejar Oliver yang kini sedang berjalan ke arah mobilnya. “Tunggu!” Oliver berhenti dan berbalik, hanya untuk mendapati Nata sudah mencengkeram kerah kemejanya dan mengayunkan sebelah tinjunya di udara. Untuk sesaat, dia memejamkan mata, menunggu kepalan tangan itu mendarat di sisi wajahnya, tetapi dirasakannya tekanan pada cekalan tangan Nata meringan dan akhirnya melonggar. Nata sedang menatapnya dengan marah—itu satu-satunya adjektif yang tepat untuk menjelaskannya. “Gue udah bilang lo nggak boleh bikin dia nangis lagi,” desisnya. “Gue dateng untuk minta maaf, dan mengucapkan selamat tinggal.” Oliver menjawab dengan tenang. “Itu aja.” Mereka berdua saling berhadapan, menjaga privasi jarak masing-masing. “Lo itu pengecut.” “Definisi pengecut adalah orang yang nggak punya cukup keberanian untuk mengakui yang sebenarnya.” Cih. Nata mengusap keringat dengan sebelah tangan, matanya tidak meninggalkan Oliver. Dia ingin sekali menghajar cowok ini, satu hantaman kuat saja sudah cukup, tapi
dia tidak melakukannya. Sedetik sebelum kepalan tangannya menyentuh rahang Oliver, Nata teringat pada Niki, dan dia tidak bisa melakukannya. “Gue nggak pernah bermaksud nyakitin Niki. Karena itu gue datang ke sini untuk menjelaskan semuanya.” “Tapi, justru itu yang lo lakukan, nyakitin dia.” Oliver menggeleng. “Kalau gue pergi begitu saja tanpa penjelasan apa-apa, selamanya gue akan merasa bersalah sama dia.” Nata memaki dalam suara rendah. “Kalau lo nggak mau nyakitin dia, lo nggak akan bohong sama dia di pesta itu. Lo nggak akan seperti pengecut ngikutin semua omongan Helena dan ninggalin Niki sendirian di sana.” Oliver terdiam lama dan suaranya merendah. “Karena itu gue nelepon lo. Karena Cuma lo yang bisa menyelamatkan Niki, saat gue nggak bisa.” Itu adalah penjelasan paling pengecut yang pernah Nata dengar. “Jangan pernah muncul lagi untuk nyakitin Niki. Gue nggak akan maafin lo untuk kedua kalinya.” Dia berbalik dan meninggalkan Oliver, tapi dapat dengan jelas mendengar seruannya di kejauhan. “Gue bukan orang yang tepat untuk Niki. Gue dan lo sama-sama tahu itu.” Nata terus berjalan. ***
Niki berhenti di depan trampolin, terengah-engah setengah berlari dari lapangan ke rumah Nata. Air mata masih mengaliri wajahnya, tidak bisa berhenti walaupun dia berusaha sebisa mungkin untuk menghentikannya. Dia tidak ingin menangisi berakhirnya hubungannya dengan Oliver, tidak ingin menunjukkan betapa lemah dan terluka hatinya. Dia menerima alasan Oliver, mengerti sakit hatinya. Tapi bagaimana dengan sakit hatinya sendiri? “Niki?” Suara itu mengejutknnya. Niki mengangkat kepala dan melihat Annalise sedang berdiri di sana, memegang kameranya dan segulung rol film. Sudah lama sekali Niki tidak melihat Annalise, raut wajahnya yang khawatir jika salah satu di antara dirinya atau Nata sedang dilanda masalah. “Are you alright?” Dengan satu pertanyaan itu, Niki kembali terisak. Annalise beranjak maju, dan tanpa ragu, melingkarkan kedua tangannya pada bahu Niki serta menariknya dalam pelukan. Niki tersedu-sedu di sana, dan Anna memeluknya dalam diam, tidak memerlukan jawaban, penjelasan, apa pun, hanya ada di sana untuknya. Tidak lama kemudian, dirasakannya kehangatan tubuh Nata turut mengelilingi mereka. Nata beraroma susu dan keringat, bau yang sangat menenangkan. Perlahan, air mata Niki mengering dan dia merasa jauh lebih tenang. “Barusan gue ketemu Oliver. Hampir aja gue tonjok dia sampai bonyok.” Nata berkata sambil mengepalkan kedua tangannya. Niki ternganga kaget.
“Tapi, nggak jadi.” Nata tersenyum. “Karena gue tau lo nggak akan mau gue berbuat begitu.” Niki tertawa di antara tangisnya, diikuti dengan Annalise yang terSarah lembut di sebelahnya. “Aku punya sahabat seperti kalian, tapi aku malah menjauh.” Niki mengusap air matanya cepat-cepat, lalu menggenggam tangan kedua sahabatnya, Nata dengan tangan kiri, Annalise dengan tangan kanan. “Maaf ya.” “Apologies accepted.” Annalise menyeringai. “Setuju.” Nata mengangkat tangannya yang masih berbalut tangan Niki. Mereka tertwa bersama, tangan saling terpaut. *** HELENA Menjelang ujian akhir semester, tidak banyak pertandingan basket antarsekolah yang diadakan. Hal ini membuat jadwal latihan cheers semakin berkurang, dan Niki bersyukur untuk itu. Kini, dia tidak lagi bertegursapa dengan Helena. Di kelas, mereka terpisah dalam sudut yang berlawanan, Niki dengan Nata dan Annalise, Helena dengan teman-temannya. Terkadang, jika berpapasan dengan sesama cheerleader, mereka akan tersenyum sekilas pada Niki, tetapi tidak pernah benar-benar memulai percakapan seperti yang dulu mereka lakukan. Awalnya Niki merasa tidak nyaman, seperti kehilangan teman dekat, tapi dia akhirnya sadar, bahwa sebenarnya teman-teman itu tidak pernah menjadi miliknya. Bukankah lucu jika persahabatan harus memiliki sebuah alasan? Lebih lucu lagi karena sebuah hubungan pertemanan bisa putus begitu saja hanya karena alasan itu sudah tidak lagi eksis. Niki merasa sedih jika memandang murid-murid perempuan berseragam cheers
sedang berkumpul di sudut ruangan, tertawa-tawa tanpa dirinya. Dulu dia sempat menjadi bagian dari mereka. Dia pun tahu Helena mengharapkan dirinya berhenti dari tim. Keluar begitu saja, dengan alasan tidak tahan diperlakukan seperti orang asing, dan merasa tidak lagi diterima di sana. Tapi, Niki tidak ingin berbuat begitu untuk melayani ego mereka. Jika dia sudah kehilangan teman-temannya, dia tidak ingin kehilangan cheers juga. Hari ini pertandingan basket tahunan antara SMU Pelita dan SMU Harapan dilaksanakan lagi. Tepat setahun yang lalu, acara inilah yang mempertemukan Niki dengan Oliver. Kapten basket yang kini menggantikan posisi Oliver berdiri di tengah lapangan sambil men-dribble bola. Niki masih ingat dulu Oliver melakukan hal yang sama, memicingkan mata untuk mencari anggota timnya yang sedang berda dalam posisi bebas. Pandangan mereka sempat bertemu untuk sepersekian detik, lalu pecah oleh gerakan lawan yang mencoba merebut bola itu dari tangan Oliver. Sudah lama sekali, tapi masih segar dalam ingatan seakan baru terjadi kemarin. Niki melakukan gerakan rutin yang sudah dilatihnya tanpa semangat. Kenangan-kenangan itu terasa masih mentah dalam benaknya. Oliver, Helena, Nata, malam itu. Dia bahkan tidak sepenuhnya sadar bahwa gerakannya sudah melencong jauh dari anggota cheers yang lain. *** Helena membiarkan air dari keran shower menitik turun dan membasahi tubuhnya seperti gerimis. Dia selalu menyukai perasaan setelah memenangkan sebuah pertandingan, merasa menjadi bagian dari kemenangan itu, walau hanya berada di samping untuk menyemangati. Hanya saja, hari ini dia tidak merasa menang. Entah karena alasan apa, adrenalin yang sama tidak dirasakannya, hanya kehampaan yang amat sangat.
Dia mengingat wajah Niki ketika melihat Oliver dalam gandengan tangannya. Wajah Oliver ketika mengetahui bagian dari rencananya, dan tatapan mata pemuda itu ketika berbalik untuk meninggalkannya. Pandangan itu lebih menyakitkan daripada kata-kata penuh amarah dan kesedihan yang dia harapkan dari Oliver. Air mata kini berbaur dengan air dingin, mengguyur wajahnya yang kotor oleh keringat dan debu. Helena memutar keran, berharap dentuman air menyembunyikan isakannya supaya tidak terdengar oleh siapa pun. *** Niki meletakkan peralatan mandinya di sisi wastafel, membersihkan wajahnya dengan sepotong kapas. Dia selalu menunggu hingga anggota cheers lain sudah pulang sebelum menyelinap ke dalam ruang ganti untuk membersihkan diri,karena dia merasa tidak nyaman bertukar pakaian di tengah orang-orang yang tidak bersahabat dengannya. Samar-samar, didengarnya suara tangisan dari salah satu ruang mandi yang sedang digunakan. Niki tidak tahu masih ada orang di sana, karena tadi dilihatnya sekelompok murid perempuan berjalan keluar dari ruangan itu sambil tertawa-tawa. Dengan tentatif, ia menghampiri kubikel yang tertutup oleh tirai plastik, mengulurkan tangan untuk menyibakkannya, tapi lalu berubah pikiran dan memutuskan untuk menunggu, menemani siapa pun yang ada di sana hingga tangisannya mereda. *** Baik Niki maupun Helena sama-sama terkejut ketika mendapati satu sama lain di ruangan itu. Helena keluar dengan rambut basah, tetapi yang mengejutkan Niki adalah betapa pias wajahnya, bibirnya pucat dan kedua matanya merah. Dia belum pernah melihat Helena terlihat rapuh—sama sekali. Helena selalu terlihat composed, percaya diri, penuh otoritas.
“Helen?” Helena mengangkat dagu dengan angkuh dan mengubah ekspresinya, tapi Niki tidak tertipu. “Kamu... nggak apa-apa?” Mereka saling menatap, memikirkan seribu satu makna yang terkandung dalam satu pertanyaan sederhana itu. Mereka sama-sama tidak pernah menanyakannya kepada satu-sama lain, mungkin karena mereka tidak pernah menjadi seakrab itu untuk saling memperlihatkan sisi rapuh masing-masing. “Lo masih peduli?” Mata Niki menyipit mendengarnya. “Kita pernah berteman, Helen. Aku masih nganggep kamu salah satu teman dekatku.” Helena terSarah hambar. “Bahkan, setelah hal-hal jahat yang gue perbuat?” “Hal-hal yang kamu lakukan itu beralasan, bukan?” Niki sering kali memikirkan kejadian malam itu, perkataan Helena yang menusuk, pengakuan Oliver yang membuatnya kecewa, dering lonceng sepeda Nata. Dan, yang paling tidak bisa dilupakannya adalah sorot mata mereka, terutama Helena. Saat itu, dia mengartikannya sebagai perasaan menang telah menyakiti Niki, bangga telah membawa Oliver ke sisinya, tapi kini Niki menyadari, pandangan mata itu penuh kesedihan. Sudah berapa kali dia melewatkan ekspresi yang sama? Ketika dia bercerita penuh semangat mengenai perkembangan hubungannya dengan Oliver, dia hanya memikirkan kesenangannya sendiri, tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Helena. Niki lupa betapa sering Helena menyebut nama Oliver sebelum pertandingan basket antarsekolah
itu dimulai, melupakan pandangan memuja yang disapukan Helena pada pemuda itu saat mereka berkumpul di lapangan, dan senyumnya ketika membicarakan Oliver. Niki terlambat menyadari bahwa dialah yang sudah melukai Helena. “Maaf.” Helena mendongak cepat, mengira dirinya salah dengar. “Maaf?” ulangnya ragu. Niki mengangguk. “Maaf, karena aku juga nggak pernah menjadi teman yang baik untuk kamu. Aku nggak pernah sadar kalau kamu sangat menyayangi Oliver.” Helena menggeleng, ekspresi wajahnya letih. “Lo pasti senang udah menemukan kelemahan gue, tapi gue nggak butuh dikasihani.” “Bukankah kita berdua sama-sama terluka oleh hal yang sama?” Helena tersenyum pahit, menyadari kebenaran di balik pertanyaan itu. “Dia pernah suka sama lo, sedangkan dia sama-sekali nggak punya perasaan apa-apa buat gue. Benci, mungkin.” Niki tahu alasan sebenarnya Helena melakukan hal itu bukan sekedar untuk melukainya, tapi untuk membuktikan sesuatu—perasaan Oliver yang sesungguhnya. Dia juga paham bagaimana rasanya mengetahui bahwa cinta yang kita miliki selama ini bertepuk sebelah tangan, dan kita tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengubahnya. “Oliver bilang dia akan pergi ke Australia untuk nyusul Zahra. Dia nggak nyalahin kamu untuk sesuatu yang udah seharusnya dia lakukan sejak dulu.”
Helena menggeleng. “Lo nggak tahu, gue udah memperhatikan Oliver selama bertahun-tahun, sejak kami bertemu di pesta ulang tahun Zahra. Dia nggak ingat gue sama sekali, karena pandangannya selalu mengikuti gerak-gerik Zahra. Lagi pula, siapa yang nggak jatuh cinta sama Zahra? Dia sempurna, punya segalanya. Tapi dia nggak bisa menerima Oliver, malah berhubungan dengan seorang guru yang udah menikah. Gue invisible di hadapan Oliver. Dia nggak pernah ngeliat gue, padahal gue selalu berusaha sebisa mungkin untuk terlihat. Dia banyak pacaran dengan cewek-cewek lain setelah ditinggal Zahra, sampai akhirnya dia ketemu lo. Kenapa harus lo? Kenapa dia bisa ngeliat lo dan cewek-cewek itu, dan bukan gue?” Niki tidak berusaha menjawab pertanyaan itu. Perlahan, dia mendekat dan menyentuh lengan Helena dengan gestur bersahabat. “Kita nggak bisa memaksakan perasaan seseorang untuk menyukai kita. Yang bisa kita lakukan Cuma merelakan, berharap supaya dia bahagia.” Niki tidak dapat menahan diri untuk menyelipkan sebuah canda. “Walau yang jelas dia rugi besar karena udah ngelewatin cewek-cewek hebat seperti kita, ya, kan?” Helena mengangguk, diwajahnya tersungging seulas senyum tulus yang pertama kali Niki lihat, walau kedua matanya berkaca-kaca. Mereka mungkin tidak lagi bersahabat, tapi Niki senang dapat memulai halaman baru dengan seseorang yang bisa disebutnya teman. *** SURAT UNTUK NATA Nata melongok ke dalam kotak pos, menemukan beberapa amplop di dalamnya. Tagihan kartu kredit milik Dhanny, katalog, undangan untuk kedua orangtuanya, lalu sepucuk surat beramplop putih yang ditujukan untuknya. Nama sekolah yang tertera di sudut amplop membuat hatinya bergejolak. Beberapa bulan yang lalu, dia pernah mengirimkan aplikasi dan tape audisi atas rekomendasi guru musiknya, lalu melupakannya segera setelah mengeposkannya. Sekolah itu adalah salah satu sekolah musik terbaik di Amerika, dan dia tidak terlalu berharap dapat diterima, karena banyak sekali anak-anak berbakat yang gagal masuk ke sana.
Disobeknya ujung amplop dengan perasaan tidak enak. Kata-kata yang tercetak pada lembaran suratnya membuat Nata gelisah. Nata mengumpulkan surat itu dan menyelipkannya ke dalam saku, mencoba melupakan. *** “Nat.” Sebuah tangan mungil dikibaskan di hadapan wajahnya, membuatnya tersadar dari lamunan. “Nat!” Suara itu kian tak sabaran. Nata mengerjapkan mata dan memfokuskan pandangan pada Niki yang sedang menatapnya dengan aneh. “Kenapa sih, dari tadi bengong melulu.” Nata baru menyadari bahwa sedari tadi suaranya menggema di ruangan. Niki sedang memasang tape berisi lagu-lagu yang direkamnya. Suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. Dengan satu gerakan, dimatikannya tape, menghentikan lagu yang baru memasuki reff. Niki merengut. “Kenapa dimatiin?” “Jelek.”
“Bagus. Kalo jelek kenapa sering kuputar, coba?” “Jelek.” “Bagus.” “Jelek.” Niki mengembuskan napas kesal. “Kamu selalu pesimis, padahal lagu-lagu ini bagus sekali, lho. Nggak kalah sama lagu-lagu yang sering diputer di radio.” “Kalo lo ngedengerin suara lo sendiri menyanyikan lagu-lagu ini, lo akan ngerti kenapa gue ngerasa risih.” Niki mengangkat bahu, lalu menarik kaset itu dari tape dan memasukannya ke dalam walkman miliknya. “Kalau kamu nggak mau dengerin, biar aku aja.” Sejak memiliki kaset itu, Niki semakin sering mendorongnya untuk menulis lebih banyak lagu, juga mengambil kesempatan untuk manggung di kafe-kafe kecil. Dia selalu berkata bahwa lagu-lagu Nata harus didengarkan oleh semua orang, ada dalam setiap CD player dan dikumandangkan di stasiun radio terkenal. Hiperbola, Nata tahu, karena lagunya tidak sebagus itu. Masih perlu banyak perbaikan di sana-sini, dan permainan gitarnya tidak sempurna. Lagi pula, dia benci mempertunjukkan lagunya di depan khalayak ramai, dan ini sudah menjadi rahasia umum. Nata ingin belajar musik lebih banyak lagi, di sebuah lingkungan yang profesional. Itulah satu-satunya alasannya mengirimkan aplikasi ke sekolah itu. Dan, kini begitu surat penerimaannya tiba, dia malah tidak tahu harus berbuat apa.
Dhanny yang menemukan gumpalan surat itu di tepi tong sampah ketika sedang berkunjung ke kamarnya. Rasa penasaran membuatnya meraih lembaran lecek itu dan meluruskannya untuk membaca isinya. “Kamu daftar ke universitas musik di luar negeri?” Nata tertegun. “Disuruh sama guru musik di sekolah,” dia berusaha menjawab senetral mungkin. “Dan kamu diterima untuk audisi kedua. Lalu, kenapa surat ini mau dibuang?” Nata menyambar surat itu. “Bukan dibuang, tapi tercecer.” Abangnya tidak percaya, dia tahu itu. “Kamu mau pergi?” “Masih belum tahu.” “Ini kesempatan yang jarang datang, lho.” Nata juga tahu itu. Gurunya sudah menceritakannya berulang-ulang, bahwa sekolah musik itu menetapkan standar yang tinggi dengan acceptance rate hanya tujuh persen. “Aku masih belum bisa memutuskan.” “Karena Niki?” Sebagian besar, ya. Dia tidak ingin meninggalkan Niki, Annalise, sekolah, rumahnya. Niki, terutama. Siapa yang akan menjaga gadis manja itu jika dia tidak ada? Lagi pula, bukankah banyak sekolah musik yang bagus di Jakarta?
“Dia udah dewasa, Nat.” Dhanny melanjutkan seakan-akan dia bisa membaca penjelasan dalam kepala Nata dengan gamblang. “Membuat pilihan bukan berarti harus meninggalkan salah satu. Kamu masih bisa memiliki keduanya—persahabatan dan cita-cita.” Nata menatap abangnya datar. Tidak semudah itu. Baginya, pilihan adalah menentukan mana yang lebih penting bagi dirinya. Bagaimana jika dia kembali dan Niki sudah berubah? Atau, justru dia yang berubah? *** “Pergilah, Nat, it’d be silly to waste such a big opportunity.” Nata sudah mengira Annalise akan berkata begitu, dengan nada yang sama seperti abangnya. Sebenarnya, dalam hati dia pun tahu itu adalah jawaban yang benar, tapi dia masih menyimpan secercah keraguan. Surat itu masih saru di antara sampah yang tidak lagi diinginkannya. “Kalau memang nggak kepengen pergi, kenapa harus ragu?” Nata ingin pergi. Nata ingin belajar. Nata ingin menjadi seseorang. Tapi, mengapa sulit untuk menjelaskan? “Jangan bilang-bilang ke Niki dulu sebelum gue memutuskan ya, Ann?” pintanya pada Annalise. “Gue butuh waktu.” Annalise hanya menggeleng-geleng dengan pasrah, lalu menyipitkan mata untuk mengamati Nata. Ia mengambil gumpalan surat penerimn itu dari tempat sampah dan meletakannya di meja Nata, sebuah pesan agar ia memikirkannya baik-baik.
*** Akhir-akhir ini, Niki merasa Nata terlihat kurang bersemangat. Dia sering bengong kalau diajak bicara tentang ujian akhir. Gitarnya diletakkan jauh-jauh di sudut lemari, lagu-lagu yang dulu sering disenandungkannya hampir tidak pernah terdengar lagi. Setiap kali Niki memutar tape pemberian Nata keras-keras, cowok itu pasti segera mematikannya. Terkadang, dia memandang Niki lama, seakan sedang berusaha menemukan sebuah jawaban. Akhir-akhir ini, Niki tidak bisa mengerti Nata. “Ada apa, sih?” Begitu dia selalu bertanya. “Nggak ada apa-apa.” Begitu juga jawaban otomatis itu selalu terdengar. Nata juga enggan membicarakan pilihan kampusnya. Ketika Niki membicarakan kehidupan kampus yang tampaknya menyenangkan, Nata terlihat masa bodoh dengan semuanya. “Kalau udah jadi mahasiswa nanti, kita masih tetap bisa hangout bareng, Nat. Kalo jam kuliahnya pas, kita bisa janjian makan siang juga, sama Anna. Seru banget, bisa belajar pake baju bebas, nggak terikat peraturan macam-macam dan nggak ada hukuman kalo membolos. Rasanya jadi kayak orang dewasa, iya nggak?” Nata hanya mengangguk tanpa banyak komentar. Niki tidak jadi meneruskan ocehannya. Ia terdiam menatap Nata lama, menunggu hingga sahabatnya jengah dan mendelik ke arahnya. “Ada apa sih!” cetus Nata dengan tidak senang. “Kenapa gue diperhatiin kayak objek penelitian begitu?”
“Justru aku yang harusnya nanya gitu, Nat. Kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini selalu begitu, menghindari pembicaraan. Bete tau, dicuekin kayak gitu.” “Jadi gue harus gimana?” “Cerita dong, kalau ada yang ganggu pikiran.” Nata menghela napas. Dia tahu pada akhirnya dia harus memberi tahu Niki yang sebenarnya. Dalam beberapa hari ini, dia sudah membicarakan kepergiannya ke Amerika dengan guru musiknya, juga keluarganya dan Annalise. Mereka semua sangat mendukung, apalagi kesempatan semacam ini jarang datang dua kali. Kini yang belum dilakukan Nata adalah memberitahu Niki, dan ini adalah bagian yang tersulit untuknya. Bagaimana caranya, jika setiap hari yang bisa dibicarakan Niki adalah betapa senangnya jika mereka bisa kuliah di tempat yang sama? Setiap kali ingin buka mulut, Nata berhenti dan menyimpan kembali kata-katanya. Dia tidak ingin ada ekspresi kecewa di wajah mungil itu. Namun, ketika memandang wajah Niki yang bahagia, Nata sadar akan sangat tidak adil jika tidak segera memberi tahunya. Sekarang, Niki memandanginya dengan intens, menunggu apa pun jawaban Nata yang bisa menjelaskan perilaku anehnya belakangan ini. Nata menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah meja belajarnya, membuka laci paling atas tempat surat-surat mengenai kepergiannya ke Amerika tersimpan. Lembaran surat penerimaan masih terletak paling atas, lecek karena Nata pernah berusaha melenyapkannya. Diambilnya kertas itu dan diberikannya tanpa kata-kata kepada Niki. Niki menerimanya dengan ekspresi bingung. Diluruskannya lembaran tersebut dan dibacanya sekilas. Nata menunggu perubahan raut wajah Niki, seperti yang telah diduganya. Perubahan itu datang. Terkejut, pada awalnya, lalu gembira, lalu sedih. Berubah kecewa. “Ini surat apa?” Dia bertanya walaupun isinya sudah jelas.
“Surat yang menyatakan gue diterima di sekolah musik, di New york.” Nata berusaha menjelaskannya sedatar mungkin, tetapi tidak dapat menghentikan gejolak aneh dalam suaranya. “Aku nggak tahu kamu apply ke sekolah di luar negeri.” Nata mengangguk. “Gue apply beberapa bulan yang lalu atas rekomendasi Pak Gunawan, yang juga alumni sekolah itu. Gue nggak nyangkan akan diterima, makanya gue nggak pernah bilang sama siapa-siapa.” “Kamu udah mutusin untuk pergi ke sana?” Pertanyaan itu bernada menuduh. “Gue nggak tahu.” Nata meringis dalam hati. Dia tidak ingin berbohong pada Niki, bahwa ada sebagian besar dari dirinya yang sudah memutuskan bahwa dia ingin mengambil kesempatan langka ini. “Semua orang udah tau? Orangtua kamu, Kak Dhanny, Anna?” Nata menunduk, tidak dapat menjawab. Dia tidak menemukan jawaban untuk berkata-kata, kata-kata yang akan memperbaiki kesalahannya dan mengobati Sarasalan Niki. Niki tersedak dengan tawanya sendiri, tetapi kedua matanya berlinang air mata. “Selamat ya, Nat. Kamu memang hebat.” Nata merasa hatinya kecut ketika air mata pertama meluncur di pipi Niki. Dia telah membuat Niki menangis. Selama ini, dia berjanji akan menghajar jahanam mana pun yang membuat Niki menangis, tapi ternyata dialah si berengsek itu. Dipandangnya gadis itu meremukkan surat penerimaannya sekali lagi, lalu beranjak keluar dari kamarnya tanpa sepatah kata pun.
*** Niki meremas erat-erat surat di kepalan tangannya dengan gemas, lalu melemparkannya ke ujung ruangan. Bola kertas itu memantul sedikit di ujung tempat sampah lalu berguling ke lantai. Patutkah ia kesal? Bukankah seharusnya dia gembira karena Nata berada satu langkah lebih dekat menuju mimpinya? Dia tidak menghiraukan ketukan samar pada pintu kamarnya. Didengarnya pintu berderit terbuka, juga langkah kaki yang berjalan mendekat. Annalise. Niki menoleh, bekas air mata masih menodai wajahnya, Annalise mengulurkan sebelah tangan untuk menghapusnya. Dibelainya helaian anak rambut Niki yang menempel di sisi wajahnya yang basah, lalu menyelipkannya di balik telinga. “Kamu marah karena Nata akan pergi atau karena dia memutuskan tanpa memberi tahu kamu?” tanyanya lembut. “Aku marah karena aku jadi orang terakhir yang tahu.” Niki menatap Annalise. “Aku marah sama diri sendiri karena aku egois. Lebih egois lagi karena aku nggak mau dia pergi.” Raut Annalise berubah muram. “Kita semua nggak mau dia pergi, Ki. Nata nggak berani memutuskan kepergiannya karena mikirin kita, terutama kamu. Tapi terkadang, kita harus membiarkan dia membuat pilihan yang terbaik.” Pertanyaannya adalah, yang terbaik untuk siapa? *** Wish #43: saling memiliki, apa pun yang terjadi (Nata, Niki, dan Annalise)
Sudah tengah malam. Nata bolak-balik berjalan mengelilingi kamarnya, menghempaskan tubuh di atas tempat tidur, melongok ke luar jendela, bahkan mencoba untuk tidur, tapi tidak berhasil. Akhirnya ia menyerah dan menyambar gagang telepon, hmpir saja menekan digit-digit angka yang dihafalnya di luar kepala, jika tidak menyadari bahwa sudah terlalu malam baginya untuk menelepon. Oh ya, Niki juga sedang marah padanya. Frustasi karena insomnia dan rasa tidak nyaman yang menyesakkan dada, Nata bangkit lalu berjalan ke luar melalui pintu belakang di dapur. Tiba-tiba saja ia ingin melompat-lompat di atas trampolin, sekedar untuk melampiaskan Sarasalannya. Nata tidak menyangka akan menemukan Niki di sana, mengenakan setelan piyama putih dengan corak kelinci, berbalut selimut perca yang selalu dipakainya setiap malam. Niki tampak terkejut juga ketika melihatnya tapi tidak ingin berkata-kata, hanya menatapnya dingin. “Ngapain lo malam-malam di sini sendirian?” Pertanyaan itu terdengar kasar, padahal Nata tidak bermaksud begitu. “Mau ngerasain gimana rasanya duduk sendirian di sini, setelah kamu pergi nanti.” Entah mengapa jawaban itu justru membuat Nata sedih. “Ki, gue minta maaf. Karena gue egois, dan gue berengsek. Untuk pertama kalinya gue akuin hal itu.” Sudut-sudut bibir Niki terangkat, hampir membentuk seulas senyum, dan Nata merasa sangat lega melihatnya. “Gue tau seharusnya gue langsung ngasih tahu lo saat daftar ke sekolah itu, juga waktu gue diterima. Tapi sebelumnya gue mau mikirin keputusan gue matang-matang, supaya
nggak ada penyesalan di kemudian hari. Gue nggak bisa bilang, karena gue tahu lo pasti kecewa.” “Kamu kepingin banget masuk sekolah itu kan, Nat?” Ketika Nata tidak menjawab, Niki menatapnya sendu. “Aku ngerti, kok. Maaf, karena aku jadi alasan yang ngebebanin kamu dalam ngambil keputusan.” Nata tercekat saat mendengar permintaan maaf itu. “Jangan bilang begitu.” Niki tersenyum, walau masih dengan air mata di pelupuk matanya. “Bodoh. Aku akan selalu ngedukung kamu, apa pun yang kamu pilih. Selama itu adalah impian kamu.” Nata tidak dapat menahan diri untuk beranjak mendekat dan menarik tubuh mungil itu dalam pelukannya, tidak lagi berpikir apa yang seharusnya dia lakukan dan tidak lakukan. Gadis dalam pelukannya tidak meronta, justru mengulurkan kedua lengan untuk balas melingkari pinggangnya. Mereka berpelukan dalam diam, dua sahabat yang saling mengerti dan menerima bahwa mimpi yang berubah menjadi kenyataan adalah hal terbaik yang dapat terjadi pada seseorang. Walaupun salah satu dari mereka harus berkorban untuk itu. *** DEPARTURE Hari ini, Nata dan Niki berjanji untuk menghabiskan hari terakhir Nata di Jakarta bedua saja. Niki berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menangis, apa pun yang terjadi, tapi janji itu sepertinya lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Menjelang kepergian Nata, ia berusaha keras untuk tampak gembira, memasang ekspresi bangga walaupun sejujurnya ia masih menyimpan sedikit luka di hati. Puncaknya adalah ketika dia dan Annalise membantu mengepak barang-barang Nata. Melihat separuh isi kamar Nata yang kini berpindah ke dalam koper, entah mengapa Niki merasa tertekan. Dia tidak menyadari bahwa dia sedang menangis hingga Annalise menegurnya lembut.
Buru-buru, Niki menyusut air matanya, berharap teman-temannya tidak akan mempermasalahkannya lebih lanjut. Tapi, Nata meletakkan tumpukan pakaian yang telah dilipat rapi, berjongkok di hadapannya dan berkata dalam nada lembut yang jarang digunakannya. “Lo nggak perlu ngerasa harus pura-pura senang di depan gue, Ki. Gue juga ngerasain hal yang sama dengan lo.” Niki mengangguk, mati-matian berusaha menghapus air matanya yang kini mengucur deras dan tidak bisa dihentikan. Annalise merasakan matanya sendiri basah dan ia menyelinap keluar, meninggalkan dua sahabatnya sendirian. Dia juga butuh waktu untuk menata perasaannya. Selagi bergerak ke arah dapur untuk membuat secangkir teh hangat, ia berpapasan dengan Dhanny yang memegang sekantung besar keripik kentang pedas di tangannya. “Hai.” “Hei.” Mereka berdua berdiri di dipan, memandang ke luar jendela. Matahari bersinar cerah, kebun kecil keluarga Nata tampak terawat dengan bugenvil warna-warni yang mekar pada saat yang tepat, tapi Annalise merasa mendung dan kelam. Dia tidak pernah mengungkapkannya, tapi mengetahui bahwa keputusan Nata akan pergi sudah final juga membuatnya merasa sedih. “Besok Nata akan pergi.” Annalise mengangguk kaku. “Kamu juga nggak mau dia pergi, kan?”
AAnn mendekatkan cangkir ke bibir, sesekali meniup minuman di dalamnya supaya cepat dingin, sengaja mengulur waktu untuk menjawab. “Semua orang nggak mau Nata pergi.” Dia berusaha menjawab dengan netral. “Tapi, kamu masih sayang sama dia.” Itu bukan pertanyaan. Hanya pernyataan yang membuat hatinya lebih miris lagi. “Gimana perasaan Kakak waktu Sivia pergi?” Dhanny tidak berusaha menghindari pembicaraan ketika mendengar pertanyaan tersebut, tidak juga memasang ekspresi sedih. Dia hanya tersenyum, senyum seseorang yang sedang mengenang masa lalu tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang harus disesali. “Sivia orang yang tegas. Dia bilang ada tiga jenis orang di dunia ini; orang yang memiliki mimpi lalu memilih untuk mengejarnya sampai dapat, orang yang memiliki mimpi, tapi tidak melakukan apa-apa untuk menjadikannya nyata, dan orang yang sama sekali tidak mempunyai mimpi. Sejak kecil, dia tahu kalau dia akan pergi jauh dari sini, dan aku nggak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya pergi.” “Kakak pernah memintanya untuk tinggal?” “Ya. Tapi, dia bilang aku egois kalau memaksanya tinggal, bodoh kalau mengorbankan diri sendiri untuk mengikutinya ke sana. Karena kami punya mimpi yang berbeda. Dia ingin jadi penari, sedangkan saat itu aku masih nggak tahu apa yang kuinginkan. Kalau mengikutinya, aku tahu aku hanya jadi beban buat dia, begitu juga sebaliknya. Perasaan kami saat itu tidak cukup kuat untuk mempertahankan apa yang kami punya.” Mengapa sangat mudah bagi seseorang untuk mengorbankan cinta demi cita-cita? Annalise ingin tahu.
Dhanny menatapnya tenang, dan saat itu juga Annalise mengetahui jawabannya. Karena cinta tidak ingin bertahan dalam hati dua orang yang tidak menginginkan hal yang sama. Karena jika salah satunya tidak memiliki ruang yang cukup untuk cinta, maka cinta itu akan beranjak pergi. *** Wish #44: menjadi anak-anak lagi, yang tidak pernah memusingkan banyak hal rumit (Nata) Niki menyiapkan berbagai kudapan di basecamp mereka. Marshmallows bakar berbalut selai cokelat. Nachos saus keju kesukaan Nata. Gelato matcha dan yogurt rasa blueberry. Soda dingin dan jus jeruk. Mereka duduk bersebelahan, mendengarkan musik sambil memandangi bintang. Hangat kulit Nata bergesekan dengan lengannya, membuatnya merasa aman. Sesekali, Niki melihat kerlip siluet pesawat melintas di kejauhan, dan ia merasakan tendangan kecil dalam hati, teringat bahwa besok pagi sahabatnya juga akan dibawa pergi oleh salah-satu benda tersebut. Sudah belasan tahun mereka melakukan hal ini setiap malam, sebuah rutinitas yang sama kentalnya seperti minum air. Bagaimana dengan esok? Niki memaksa dirinya sendiri untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Apa pun untuk mengalihkan pikirannya. “Inget nggak waktu kamu pertama kali ngajak aku duduk di atas trampolin ini?” Saat itu, mereka berdua berusia tujuh tahun. Trampolin baru itu terlalu besar untuk tubuh mereka yang mungil sehingga Niki selalu merasa dia tenggelam dalam kegelapan hitam pekat kain raksasa itu. Orangtua mereka mewanti-wanti supaya mereka tidak terlalu sering bermain di luar hingga larut malam, tapi baik Niki maupun Nata tidak terlalu memedulikan nasihat itu. Merasakan angin semilir di wajah mereka selagi berada di udara, di bawah langit yang cerah mengikuti terbenamnya matahari adalah salah satu hal terbaik yang pernah mereka rasakan.
“Ingat,” Nata menjawab dengan senyum di nada suaranya, “waktu itu lo jatuh.” Pada hari kedua, Niki mengusulkan mereka berdua melakukan kontes untuk menentukan siapa yang bisa melompat lebih tingga. Niki melepaskan kedua sepatunya, lalu mulai memantulkan tubuh di atas trampolin, merasakan adrenalin yang luar biasa hanya dengan melompat dan melayang di udara selama beberapa detik. Namun saat mendarat, salah satu kakinya menyentuh ujung trampolin dan dia terpantul ke luar, terjerembab ke atas tanah. Niki hanya ingat tangannya terpelintir dalam posisi tak wajar, seluruh tubuhnya sakit bukan main, sedangkan Nata berteriak-teriak histeris seperti kesetanan. “Pertama kali aku masuk ambulans.” Niki mengingat dengan senyum. “Gue juga.” Saat itu, Nata memaksa ikut masuk ke dalam ambulans bersama Niki, tidak pernah melepaskan tangannya sedetik pun. Niki mendapat lima jahitan di dagu, sekujur tubuhnya lebam dan luka-luka, tetapi untungnya tidak ada yang patah. Sejak saat itu, trampolin dilipat dan mereka dilarang menyentuhnya lagi, tapi setiap malam Niki dan Nata mengendap-endap untuk berbaring di atasnya, memandang ke atas dan merasakan guncangan-guncangan kecil hasil gerakan tubuh mereka. Tidak pernah lagi diadakan kontes melompat. “Setiap kali ngambek, pasti lo ngumpet di sini dan nggak mau pulang.” Nata tidak ingat lagi berapa kali dia menemukan Niki yang bersembunyi di kebun ini, entah menangis cengeng sehabis diomeli karena nilainya jeblok, atau merajuk karena tidak diizinkan pulang malam. Tempat ini jadi semacam tempat rahasia mereka. “Aku pernah liat kamu ngajak Anna ke sini.” Niki berkata dalam suara kecil. “Waktu itu aku marah, karena tempat ini adalah tempat kita berdua. Mungkin egois kalau aku ngomong begitu, tapi entah kenapa aku nggak senang kalau ada orang lain yag duduk di sini selain aku.” “Kamu cemburu sama Anna?” Nata memainkan senyum nakal di wajahnya, membuat Niki mencubit pinggangnya keras-keras.
“Kalau kamu nggak ada nanti, aku akan ngajak cowok lain duduk di trampolin ini. Nanti baru kamu tahu gimana rasanya.” Nata berubah cemberut. “Nggak boleh,” tithnya tegas. “Malam ini, kita di sini aja, ya?” Permintaan itu diekspresikan dengan sangat polos dan manja sehingga Nata mengiyakan sambil menyembunyikan senyum di wajahnya. Dia ingin menghabiskan malam-malam berbintang, mengobrol dengan Niki di sampingnya, selamanya. *** Hampir pukul lima pagi. Nata terjaga dari tidurnya, merasakan gelap masih mengelilingi mereka. Semalaman, dia dan Niki mengobrol ngalor-ngidul hingga subuh, hingga mereka berdua akhirnya tertidur. Nata merasakan hangat tangan kecil Niki dalam genggamannya. Entah bagaimana, kedua tangan mereka saling menemukan satu sama lain dan berpegangan erat, seakan tidak ingin terlepas. Di ufuk timur, dua bintang yang sangat terang membentuk dua titik di langit. Tidak, bukan bintang. Nata menyadari bahwa apa yang dilihatnya adalah planet Jupiter dan Venus, dalam sebuah fenomena alam yang dibacanya di halaman Astronomi koran pagi kemarin. Beberapa saat sebelum matahari terbit, kedua planet tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang, berdekatan membentuk segitiga dengan bulan. Nata menggoncang bahu Niki, yang meracau sejenak sebelum membuka mata dengan malas. “Bangun Ki, liat tuh.”
Niki tidak berkata apa-apa, tapi Nata tahu ia sudah sepenuhnya terjaga. Menahan napas, memperhatikan kedua planet bersinar, berdekatan seperti dua sahabat yang saling menjaga. Jari-jari Niki menggenggam tangan Nata dengan lebih erat. Nata melakukan hal yang sama. *** Perjalanan menuju bandara diisi keheningan yang menyesakkan. Nata duduk bersama Niki di kursi belakang, tangan gadis itu erat-erat mencengkeram lengan kemejanya seakan tidak merelakannya pergi. Nata pun tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan, hanya sesekali mengulurkan sebelah tangan untuk menyandarkan kepala Niki di pundaknya. Dhanny yang sedang menyetir dan Annalise yang duduk di sampingnya menangkap gestur itu melalui kaca spion, lalu tersenyum samar. Mereka berempat duduk berdempetan di ruang tunggu bandara yang penuh. Jarum ham merangkak pelan menuju waktu keberangktan Nata. Panggilan yang ditujukan kepada seluruh penumpang pesawat yang akan berangkat ke New York sudah diumumkan dua kali, tetapi Nata tidak kunjung beranjak dari kursinya untuk menuju antrean imigrasi. Tiket di tangannya dicekal hingga lecek, satu-satunya bukti nyata yang mengingatkannya bahwa dia sudah harus pergi. Sampai akhirnya ia menghela napas berat, lalu bangkit dan menatap mereka satu per satu—abangnya, Annalise, lalu Niki. “Gue harus pergi.” Kalau bisa, Nata tidak ingin mengucapkannya, tapi dia tidak punya pilihan. Air mata perlahan-lahan mengalir di kedua sisi wajah Niki, walau wajahnya tersenyum. “Aku akan kuat, Nat. Aku janji.” Dengan satu gerakan cepat, Nata menarik Niki ke dalam pelukannya, tidak memedulikan orang-orang di sekitarnya yang sedang memperhatikan. “Kalau begitu
jangan nangis, dong,” dia berbisik, tapi suaranya sendiri serak. “Gue akan telepon sesering mungkin. Kalau ada perlu, lo juga bisa hubungi gue kapan aja.” Nata merasakan anggukan Niki. Pelukannya mengendur dan dipandangnya wajah Niki dalam-dalam, ingin menghafalkan garis wajah itu baik-baik. Dia menahan diri untuk tidak mengatakan sekali lagi bahwa dia menyayangi Niki, dan akan melakukan apa saja untuknya. Dia bahkan rela untuk tinggal, seandainya saja Niki memintanya sekarang. Nata merasakan matanya mulai berair, tapi berusaha untuk menyembunyikannya. Walaupun membenci kebiasaan yang kekanakan itu, dia mengulurkan jarinya dan mengaitkannya pada kelingking mungil Niki sebagai janji. “Jaga diri baik-baik, ya.” Sekali lagi Niki mengangguk. Annalise dan Dhanny menyentuh lengan Nata, mengucapkan selamat jalan. Mereka saling berpelukan singkat. Panggilan ketiga samar-samar terdengar melalui speaker, dan Nata merunduk untuk mengecup kening Niki, membekaskan seluruh rasa cintanya pada gadis itu di sana. Gue akan segera pulang. Dan, saat itu, gue gak akan melepaskan lo lagi. Dia berbalik dan berjalan menjauh, berusaha untuk tidak menoleh ke belakang lagi, pandangannya kabur oleh air mata yang tidak jadi menetes. *** Wish #45: aku nggak mau Nata pergi (Niki) Siluet tubuh Nata menghilang di balik kerumunan orang yang memadati bandara. Niki tidak terlalu merasakan kehadiran orang lain di sana,hanya kehampaan yang amat sangat. Keningnya masih hangat akibat ciuman singkat barusan. Ketika menyaksikan
Nata menjauh, tiba-tiba saja ia merasakan separuh jiwanya ikut pergi meninggalkan dirinya. Untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang sangat penting. Dia menyayangi Nata—tidak, bukan hanya menyayangi. Dia mencintai sahabatnya itu. Niki tidak dapat lagi membendung air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya. Annalise maju dan merangkulnya erat, mengusap punggungnya dan memisikkan kata-kata lembut untuk menenangkannya. “Aku sayang banget sama Nata, Ann.” Niki berkata lirik di antara isakannya. Gerakan Annalise terhenti ketika mendengar pernyataan yang mendadak itu. “Kenapa kamu nggak bilang sama Nata sebelum dia pergi?” Niki menggeleng. “Karena hanya dengan begini, dia akan tetap pergi untuk mengejar mimpinya.” Annalise terdiam, menemani Niki yang terus menangis di sampingnya, air matanya sendiri meleleh tanpa bisa dihentikan. *** Niki mendorong pintu kamar Nata, lalu perlahan berjalan masuk dan memandang sekeliling. Segalanya terlihat kosong tanpa Nata. Gitar cowok itu tidak ada di sana. Tidak ada tumpukan kertas yang berserakan di atas karpet, kertas-kertas yang berisi partisi lagu dan musik yang baru separuh dibuat. Kamar itu masih kental dengan aroma khas pemiliknya, walau sudah hampir sebulan Nata meninggalkannya. Entah apa yang membuat Niki menyelinap masuk ke sana—untuk mencari sisa-sisa diri Nata, mungkin, karena ia merindukannya.
Pandangan matanya berhenti pada sekotak kaset yang diletakkan di atas meja belajar. Benda tersebut terlihat asing dalam ruangan kosong yang tak berpenghuni. Niki meraih kaset itu, lalu memasukkannya ke dalam tape dan memencet tombol play. Petikan gitar yang lembut mengisi keheningan, mengiringi suara Nata yang menyanyikan sebait lagu pendek. Bulan emas tinggal separuh Bintang-bintang sangat pemalu Kau terduduk di sampingku Aku lantas mencintai bayangmu Kau menoleh untuk tersenyum Hatiku berserakan... lebur dan lepuh Hanya satu lagu itu yang terekam dalam kaset. Niki tercenung. Di mana, ya, dia pernah mendengar kata-kata yang sama? Untaian kalimat itu sepertinya tidak asing. Mungkin lagu yang sempat diputarkan di radio? Atau sajak yang pernah dibacanya dalam sebuah buku sastra? Tunggu sebentar. Puisi. Puisi yang disalin pada selembar kertas polos yang diselipkan ke dalam amplop biru, salah satu surat yang diterimanya pada hari Valentine. Ya, dia ingat sekarang. Ternyata, bukan seorang penggemar rahasia tak bernama yang mengirimkan surat itu untuknya, tapi Nata. Nata yang selalu memperhatikannya, menjaganya, menyayanginya. Niki memejamkan mata dan membiarkan lagu itu bermain berulang-ulang, tersenyum sambil membisikan sutas doa dalam hati. Tersenyum karena mengetahui Nata telah meninggalkan lagu itu untuknya. ***
EPILOG Niki mengunyah cepat sandwich isi telur yang menjadi menu makan siangnya hari ini, lalu buru-buru menyambar telepon genggam yang bergetar di atas meja. Ia tersenyum ketika melihat nama peneleponnya di layar. "Hei, Anna!" "Hei, Ki, lagi ngapain?" Niki mengepit telepon di antara pipi dan bahu sambil terus memeriksa setempuk berkas di hadapannya. "Biasa, nyambi makan sambil menilai hasil ulangan anak-anak. Kamu?" "Baru selesai meeting dengan redaksi, dan sekarang mau nge-drop beberapa foto permintaan klien di kantornya. Oh ya, paket kirimanku udah nyampe belum?" "Mmmm... sebentar." Niki mengobrak-abrik surat-surat yang berserakan di atas mejanya. Sekali lagi ia mengingatkan diri sendiri agar segera membereskan segunung barang yang sudah menumpuk di sana, malu mengingat mejanya memang sudah melewati tahap berantakan yang normal. Beberapa saat kemudian, ia menemukan sebuah paket berbentuk segi empat dengan namanya dalam tulisan tangan Annalise di bagian depan, lalu menyobeknya hingga terbuka. Sebuah bingkai sederhana yang terbuat dari kaca, dengan selembar foto diselipkan di dalamnya. Niki masih ingat foto itu—diambil pada hari kelulusan SMU, yang juga merupakan hari ulang tahun Niki yang kedelapan belas. Niki, Nata, dan Annalise membolos upacara kelulusan dan pergi ke pantai tanpa sepengetahuan guru. Dalam foto itu, mereka bertiga tersenyum lebar, masing-masing saling merangkul, seragam mereka basah kuyup. Niki tersenyum, ujung jemarinya menyentuh permukaan bingkai dengan rindu. "It's my birthday present for you. Happy birthday, Niki."
"Thanks, Ann. Aku suka banget hadiahnya." Tiba-tiba, Niki merasa sentimentil. Tidak terasa, lima tahun telah berlalu menggantikan hari cerah di pantai itu. Dia rela melakukan apa saja untuk kembali ke masa-masa itu, saat mereka hanyalah anak-anak yang polos, saat persahabatan saja sudah cukup. Annalise sepertinya dapat membaca perubahan emosinya, karena ia lalu menyambung dengan suara lembut, "We'll always have each other. Kita bertiga." Niki mengangguk walau Annalise tidak bisa melihatnya. Dia pun percaya pada hal itu. *** Nata berdiri di depan pagar sekolah lamanya dengan kedua tangan dalam saku. Sekolah itu tidak berubah, masih dengan cat biru muda yang sama walau terlihat dimakan usia. Pak Tugiran yang selalu menjaga pagar telah digantikan oleh seorang laki-laki muda berseragam satpam, sedang berusaha menghalau penjual asongan yang berkumpul di depan sekolah. Sebuah gedung baru telah dibangun di sebelah gedung tempatnya bersekolah dulu. Ruang-ruang kelasnya masih tampak sama walau kini terlihat lebih modern. Nata menyusuri satu-per satu, bersyukur telah datang pada sore hari seusai jam pelajaran sehingga dia dapat mengenang kembali masa kecilnya tanpa gangguan. Rasanya sudah lama sekali sejak dia terakhir menginjakkan kaki di sana. Ketika berdiri di bawah naungan pohon besar yang sudah puluhan tahun menjaga sekolah itu, Nata melihat bayangan dirinya sendiri sedang berlari menuju pagar, Niki mengikuti di belakangnya. Mereka berdua terengah-engah, memohon pada Pak Turigan supaya membukakan pintu dan membiarkan mereka masuk, sebelum mereka dihukum karena terlambat. Nata melihat dirinya menyendiri di balik pilar, memandangi Niki yang sedang bersenda-gurau bersama teman-temannya. Dia melihat Niki yang masih kental dalam ingatannya, berbalut seragam cheers, melakukan gerakan dalam formasi piramid yang selalu membuatnya menahan napas, takut gadis itu jatuh. Dia melihat mereka berdua bersepeda pulang, tangan Niki memeluk pinggangnya.
Selama ini, Nata tidak pernah melupakan Niki. Kepergiannya ke Amerika tidak mengubah apa-apa, perasaannya masih sama seperti dulu. Teriakan seseorang membuatnya menoleh mencari asal suara. Suara tawa anak-anak yang mengerjai gurunya dalam sebuah permainan petak umpet tidak jauh dari sana membuat Nata berhenti untuk memperhatikan. Sang guru, seorang perempuan muda, berdiri memutari kebun belakang, mengenakan celana jeans biru tua dan kemeja putih berlengan pendek. Rambutnya yang lurus panjang sepinggang, kulitnya kuning langsat. Ia mengenakan sepatu hak tinggi berujung runcing. Kedua matanya ditutupi oleh saputangan, bibirnya membentuk senyum jenaka sambil memanggil-manggil sekelompok anak kecil berderagam merah putih yang sedang berlarian di sekelilingnya. "Kirana! KeDhan! Kalian di mana?" Hati Nata berdesir. Dia terpaku di sana, tidak mampu bergerak, bahkan ketika perempuan itu berjalan semakin dekat, lalu tersandung supaya tidak jatuh. Nata mengulurkan tangan untuk memegangi kedua bahunya, menahan napas saat perempuan itu melepaskan ikatan di matanya sambil tersengal. Mereka berdua saling berpandangan. Tawa perempuan itu surut, mulutnya menganga seakan tidak memercayai pengelihatannya. Dia sepertinya ingin berseru, tapi justru hanya berbisik dengan suara tercekat. "Nata." *** Niki terpaku lemas, lidahnya berubah kelu begitu mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya. Tubuhnya gemetar saat ia mengambil satu langkah mundur.
Perubahan pertama yang Niki sadari mengani Nata adalah tinggi badannya. Dulu, Nata memang tergolong jangkung, tapi sekarang tingginya jauh melampaui Niki. Tubuhnya kekar, bahunya bidang, dan tangannya besar. Rambutnya dipotong cepak, wajahnya lebih dewasa dan dagunya dipenuhi bintik-bintik halus. Tapi banyak hal mengenai Nata tidak berubah—senyumnya, pandangan matanya, sentuhannya. Mereka berpandangan untuk waktu yang cukup lama, berhadapan tidak hanya sebagai sepasang sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tetapi juga sebagai individu yang memiliki banyak hal yang belum sempat tersampaikan. Ia ingin berkata bahwa dia sudah menemukan mimpinya—menjadi seorang guru. Ia ingin bilang bahwa Annalise kini sudah mendapatkan tambatan hatinya dalam sosok Kak Dhanny. Ia ingin Nata tahu bahwa mereka semua baik-baik saja. Niki selalu menunggu Nata—ingin mengetahui perasaan apa yang akan terefleksikan saat ia menatap langsung pada dua bola mata pemuda itu. Ingin tahu apakah semuanya sudah berubah, sudah terlambat, atau lebih baik tidak terucapkan seperti kalimat yang disimpannya dalam hati pada hari kepergian Nata, lima tahun yang lalu. Tapi, ketika mereka berdiri tidak jauh dari satu sama lain dan saling berusaha menata hati, Niki menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu dikatakan hanya untuk membuatnya nyata. Dia tahu jelas apa yang ingin Nata katakan kepadanya melalui pandangan mata itu, dan dia yakin Nata pun mengerti isi hatinya. Tidak ada yang berubah. Mereka masih saling memiliki; dulu, sekarang, dan selamanya. "Gue udah kembali, Ki." Niki menyambut ucapan itu dengan senyum. "I've missed you." Nata membalas senyumnya, tangan kanannya menyentuh jari-jari Niki dan menggenggamnya erat. "I know."
*** Plain melodies Simple guitar chords Your humming to my song Lyrucs of the heart ...and the rhymes of the moon Make the best night music Night music That belongs to you and I ***

Tidak ada komentar: